Surat yang Tertinggal dalam Langit Kelam

63 69 13
                                    

Karya : Oktana Tirta Y

Di sebuah kamar kecil yang remang-remang, Tirta duduk di hadapan meja kayu yang usang. Cahaya bulan yang pucat menyoroti wajahnya yang lelah. Di tangannya selembar kertas kosong, dan di sampingnya sebuah pena tua yang pernah dimiliki kakeknya. Angin malam berdesir lembut melalui celah jendela, membawa aroma hujan yang baru saja reda, seolah alam ikut merasakan kesedihannya. Tirta menatap kertas itu dengan mata yang berkabut oleh air mata yang belum tumpah. Ingatannya melayang jauh ke masa lalu, ke saat-saat hidupnya masih sederhana dan penuh dengan tawa.


Ayah dan Ibu selalu ada di sana. Ayah dengan senyum lelahnya setelah seharian bekerja keras di ladang, dan Ibu dengan kehangatan pelukannya yang selalu bisa mengusir segala ketakutan. Tirta menghela napas panjang, merasakan sesak yang menghimpit dadanya. Kini, di usianya yang hampir dewasa, ia merasa begitu jauh dari masa-masa indah itu.


Waktu berjalan begitu cepat, seolah tak memberi jeda. Tirta ingat saat ia pertama kali meninggalkan rumah untuk mengejar pendidikan di kota. Ayah dan Ibunya berdiri di ambang pintu, melambaikan tangan dengan senyum penuh harapan. Tapi di balik senyum itu, Tirta tahu kesedihan yang mereka coba sembunyikan. Mereka tahu bahwa kepergiannya akan membawa perubahan besar, baik bagi Tirta maupun bagi mereka sendiri.


Di kota, Tirta menghadapi berbagai tantangan. Hidup jauh dari keluarga, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan berjuang keras untuk menggapai mimpi-mimpinya. Setiap kali ia merasa lelah dan ingin menyerah, tapi ia selalu ingat pesan Ayah dan Ibu: "Tetaplah kuat, Nak. Kami percaya padamu." Kata-kata itu menjadi penguat bagi Tirta, memberi semangat saat ia hampir kehilangan harapan.


Namun, di balik semua keberhasilan yang ia raih, ada rasa bersalah yang terus menghantui Tirta. Ia merasa telah meninggalkan Ayah dan Ibu di belakang, membiarkan mereka menghadapi kesulitan sendirian. Ia jarang pulang, terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri. Setiap kali ia mengingat wajah Ayah yang semakin tua dan langkah Ibu yang semakin lambat, hatinya terasa tertusuk ribuan duri.
Malam itu, dengan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipinya, Tirta mulai menulis surat. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti mengalir langsung dari hatinya yang terluka.


***

"Dear Ayah dan Ibu,
Aku menulis surat ini dengan hati yang berat, penuh penyesalan dan kerinduan. Bertahun-tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan rumah, dan selama itu pula banyak hal yang berubah. Aku tahu, aku sering mengecewakan kalian. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, terlalu sering melupakan kalian yang selalu ada untukku.


Ayah, Ibu, aku ingin kalian tahu bahwa setiap langkah yang kuambil, setiap pencapaian yang kuraih, selalu ada bayangan kalian di sana. Aku tak akan bisa sampai sejauh ini tanpa doa dan dukungan kalian. Maafkan aku karena jarang pulang, jarang menghubungi. Maafkan aku karena sering membuat kalian khawatir.


Setiap malam, saat aku merasa kesepian di tengah keramaian kota, aku selalu merindukan rumah. Merindukan suara tawa Ayah, merindukan pelukan hangat Ibu. Aku rindu cerita-cerita kalian, rindu saat-saat kita berkumpul di meja makan, membicarakan hal-hal sederhana namun penuh makna.


Aku tahu, tak ada kata-kata yang bisa benar-benar menggantikan semua waktu yang telah hilang. Tapi melalui surat ini, aku ingin kalian tahu betapa aku mencintai kalian. Betapa aku menghargai setiap pengorbanan yang kalian lakukan untukku. Tanpa kalian, aku bukanlah siapa-siapa.


Aku berjanji, mulai sekarang aku akan lebih sering pulang. Aku akan lebih sering menghubungi, lebih sering mendengar cerita kalian. Karena kalian adalah segalanya bagiku. Maafkan aku atas segala kesalahanku, dan terima kasih telah menjadi orang tua yang luar biasa.

Senja di Naungan RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang