Bab 15 Sampai Rumah

4 1 0
                                    

Kencan pertama itu berlanjut ke beberapa kencan berikutnya. Hingga di suatu senja, diiringi debur ombak dan lampu taman pantai yang mulai dinyalakan menggantikan sang mentari yang mulai tenggelam, Sofia dan Abim menghabiskan waktu duduk berdua di sudut taman.

Abim mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah kotak beludru merah ia sodorkan ke hadapan Sofia.

"Sofia, terimalah ini."

"Apa, Mas Abim?" tanya Sofia heran. Ia belum meraih kotak itu.

"Ada orang yang menyatakan perasaannya dengan kata-kata indah, tetapi aku termasuk orang yang tidak bisa merangkai kata indah itu. Terima ini sebagi ungkapan perasaan cintaku padamu." Abim meraih tangan Sofia dan meletakkan kotak kecil itu di telapak tangan Sofia.

Sofia menatap mata Abim untuk mencari kepastian akan ungkapan yang baru saja dikatakan. Abim tersenyum penuh arti, lesung pipitnya makin kentara yang membuat Sofia ingin berlama-lama menikmati wajah tampan dihadapannya itu. Namun, ia tidak mampu melakukannya. Debaran dalam dadanya seolah berbaur dengan deburan ombak senja itu.

"Apa, Mas Abim, tidak salah pilih?" Pandangan Sofia dialihkan ke kotak yang masih berada di telapak tangannya.

"Bukan sebentar aku mengenalmu, Sofia." Abim mengambil kotak itu dan membukanya. Sebuah bros mawar mungil berlapis emas tampak mengkilap terkena sorot lampu taman. Kemudian Abim menyodorkan kotak terbuka itu lebih dekat dihadapan Sofia.

"Terimalah, kalau kamu belum bisa memberika jawaban saat ini, oke, aku akan menunggu," lanjut Abim.

"Baiklah, aku terima kotak ini, tapi aku belum bisa menjawabnya saat ini." Debaran dada Sofia belum juga surut. Kini pipinya terasa menghangat karena malu dan tersanjung. Ingin rasanya ia menjawab saat itu. Akan tetapi, hati kecilnya melarang. "Walaupun aku juga menyukainya tetapi tidak semudah itu aku menjawabnya," batin Sofia.

"Terima kasih, Sayang, jika kamu memakai bros ini berarti kamu bersedia menjadi belahan jiwaku." Dikecupnya punggung tangan Sofia yang masih berada dalam genggamannya. Dalam hati Abim merasa yakin Sofia akan menerimanya.

Beberapa hari kemudian setelah melakukan perenungan panjang, Sofia mengenakan bros itu saat bekerja. Blazer hitam yang ia kenakan membuat bros mungil itu terlihat mencolok disematkan di dada sebelah kirinya. Kebetulan hari ini jadwal rapat rutin bulanan di perusahaan.

Abim tersenyum penuh arti ketika melihat bros itu sudah dikenakan Sofia.

[Terima kasih, Sayang] Abim mengirimkan pesan pendek ke Sofia, biarpun jarak mereka hanya berselang dua orang. Sofia tersenyum ke arah Abim setelah membaca pesannya.

Hubungan mereka semakin serius dan mereka memeutuskan untuk menghalalkannya, hingga suatu hal tak terduga menimpa mereka.

***

Suara derit roda kereta mengejutkan Sofia, ia tergugah dari lamunannya. Pandangannya melihat papan nama stasiun yang tertempel tembok atas tengah stasiun.

"Setelah ini sampai Semarang," batinnya.

Sofia meneguk kembali tehnya yang sudah dingin. Rasa lapar mulai terasa, ia berencana makan setelah sampai Semarang sebelum melanjutkan perjalanan ke Salatiga menggunakan travel yang sudah ia pesan.

Kurang lebih satu jam kemudian kereta yang ditumpangi Sofia memasuki Stasiun Semarang. Ia menurunkan koper dan tas kainnya. Secara perlahan dirinya mendekati pintu keluar kereta.

Setelah kereta berhenti ratusan penumpang keluar dari beberapa pintu gerbong kereta termasuk Sofia. Begitu turun dari kereta, seorang porter mendekatinya dan menawarkan jasa. Setelah ada kesepakatan harga jasa, laki-laki kurus berseragam porter itu memanggul koper dan membawa tas kain Sofia keluar stasiun.

"Sebentar, Pak, saya telepon sopir travelnya dulu." Sofia berhenti di depan pintu keluar stasiun. Porter itu berdiri di belakang Sofia. Ia mengambil handphone dari tas selempang. Bergegas Sofia menghubungi sopir travel yang sudah ia pesan. Setelah mendapat info posisi mobilnya Sofi berjalan ke tempat parkir diikuti porter.

"Terima kasih, Pak." Sofia memberikan uang dua puluh ribu sebagai ongkos porter.

"Mbak Sofia ya?" tanya laki-laki yang mengenakan baju bertuliskan nama travel yang akan dinaiki Sofia.

"Iya."

"Ada barang lagi?"

"Cuma ini Pak, koper sama tas kain ini masuk bagasi saja." Dengan cekatan lelaki berkulit gelap itu memasukkan koper dan tas Sofia ke bagasi.

"Langsung jalan atau masih ada yang ditunggu, Pak?" tanya Sofia ke kenek yang sedang memasukkan kopernya ke bagasi.

"Lima belas menit lagi, Mbak."

"Saya beli makan dulu ya, tunggu sebentar." Sofia berjalan cepat menuju rumah makan yang berada di sekitar stasiun. Ia membungkus makanannya dan berencana makan di mobil.

Selama perjalanan Sofia menyaksikan pemandangan yang dilewati, tidak ada perubahan yang ia saksikan sekitar delapan bulan yang lalu saat ia pulang. Mobil memasuki Salatiga, rasa rindu terhadap ibu kian terasa. Rasanya ia tak sabar ingin segera sampai, biarpun jaraknya semakin dekat. Travel itu mengantarnya sampai depan rumah.

"Pak, sekalian tolong bawakan koper saya sampai rumah." Kenek itu mengiyakan dan memanggul koper dan membawa tas Sofia sampai teras.

"Terima kasih, Mbak," ucap kenek itu sambil menerima upah dari Sofia.

Pintu rumah terbuka separuh seolah menyambut kedatangannya. Belum juga Sofia mengucapkan salam terdengar suara kaki berjalan mendekati pintu.

"Ibu!" Sofia segera mendekati perempua itu dan menghambur dalam pelukannya. Usapan tangan yang telah merawatnya semasa kecil terasa lembut di kepala Sofia.

"Apa kabar Ibu?" ucapnya sambil mengurai pelukannya.

"Seperti ini sekarang ibumu Sofi, yuk masuk."

Sofia mendorong koper, berjalan membuntuti ibunya menuju kamar semasa ia di rumah. Kamarnya terlihat rapi, sprei batik nuansa biru muda melapisi kasur yang terletak di ranjang. Utari sudah menyiapkan kamar itu begitu mendapat kabar Sofia akan pulang.

"Mbak Sania tidak pulang, Bu?" tanya Sofia memastikan ketika ia tidak menemui orang lain selain ibunya.

"Dua hari yang lalu baru pulang, katanya mau ke Surabaya seminggu. Makan dulu yuk seadanya, ibu tidak sempat masak."

"Aku sudah makan Bu, tadi begitu sampai Semarang saking laparnya."

Akhirnya mereka hanya menikmati teh hangat dan kue yang Sofia bawa untuk oleh-oleh. Pandangan Sofia tak lepas dari wajah Utari. Wajah ayu yang dulu terlihat segar kini tak nampak lagi berganti dengan wajah pucat, kedua tulang pipinya terlihat lebih menonjol. Rambut hitam lebat yang dulu dikagumi Sofia kini terlihat tipis dengan beberapa uban menghiasi di bagian depan. Sesekali terdengar suara batuk Utari menyelingi obrolan meraka.

Dentang jam dinding dari ruang tamu menandakan pukul sembilan malam. Mereka tak menyadari malam kian larut.

"Bu, aku tidur sama Ibu ya," pinta Sofia. Ia ingin berada lebih dekat dengan ibunya, selain itu ia juga merasa tak tega dengan kondisi Utari saat ini.

***

Menepis Nista, Meraih AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang