kecerobohan yang sangat fatal

2.7K 156 0
                                    

oke, karna gue udah bikin cerita ini adem-anyem melulu, dari mulai part ini bakal gue mulai konfliknya. tapi, masih awal-awal sih. konflik utamanya masih jauh. doain aja semoga gue ga stuck dan bakal rajin update. okay, happy reading!


Keesokan harinya, Revan telah tiba di depan rumah Shania -ehm, rumah Tante Fero- dengan mobil x-trail berwarna hitam. Ya, karna sekarang hari Minggu, dan Revan sudah mendapatkan obat bius yang dia rencanakan -tentu saja dia harus membayar demi mendapatkan obat itu- mereka akan praktek di rumah Revan hari ini.

Shania turun ke bawah dan mengucapkan salam kepada Tante Fero. Om Fauzan dan Devha sedang pergi entah kemana. Setelah berpamittan, Shania keluar dan masuk ke dalam mobil Revan.

Sudah sepuluh menit semenjak Shania masuk kedalam mobil hitam itu, dan masih suara radiolah yang mengisi keheningan diantara mereka berdua. Inilah yang Shania tidak suka jika dia bersama Revan, kesan canggung langsung menyebar.

iPhonenya tiba-tiba bergetar, menunjukan ada telfon. Shania melihat caller IDnya, lalu dia mengangkat telfon itu dengan semangat

"Kenapa lo baru telfon gue?" tanya Shania dengan suara yang dia usahakan terdengar marah, walaupun bibirnya membuat seulas senyum

"Gue tau, lo nungguin telfon gue. Lo pasti kangen 'kan sama gue?" celetuk orang di sebrang sana, membuat Shania terkekeh pelan

"Iya gue kangen sama lo. Banget malahan," jeda dua detik, lalu gadis itu kembali melanjutkan. "Lo ga kangen sama gue?"

"Lo bercanda. Sekolah jadi sepi tanpa pembuat onar kayak lo! Ravenska udah ga banyak berulah karna musuhnya udah pergi jauh. Kayaknya, dia kangen sama lo, Kak!"

Ya, yang menelfon Shania adalah Calvin. Shania tersenyum, membayangkan betapa kasihannya Ravenska di Jakarta

"Dia sama sekali ga berulah? Dia ga ngedeketin lo lagi?" tanya Shania semakin penasaran

Di sebrang sana, Calvin mengangkat kedua bahunya. "Mungkin udah capek? Gue 'kan gapernah nanggepin dia."

Shania terkekeh. "Sok laku banget sih, lo!"

Calvin tertawa dan membuat Shania harus menunggu sampai tawa itu mereda. Setelah tidak ada suara, Shania kembali melanjutkan. "Bokap gimana kabarnya, Vin?"

"Percaya ga percaya, dia makin hari makin baik sama gue. Dan, Papa nyimpen foto lo, ehm, maksudnya foto kita berdua di meja kerjanya. Gue sempet ngeliat waktu dia ga di ruang kerjanya."

Shania tersenyum dalam diam. Shania tau, walau Papanya berperilaku kasar seperti yang selama ini Papanya tunjukan kepada dirinya dan Calvin, jauh di lubuk hati Papanya, dia pasti menyayangi Shania dan Calvin.

"Gue tau, Papa pasti sayang sama gue walaupun gapernah ditunjukin."

"Sama gue juga! Ga cuman sama lo doang!"

Shania tertawa kecil. "Iya deh, semerdeka elo aja!"

Terdengar dehaman dari orang yang berada di sebelahnya, Revan. Cowok itu ternyata telah memberhentikan mobilnya di garasi rumah yang Shania yakin adalah rumah cowok itu. Shania gugup, dan merutuki dirinya dalam hati. Kenapa dia jadi sangat bodoh sampai-sampai tidak menyadari kalau sedang ada Revan di sebelahnya selama Calvin menelfonnya?

"Vin, gue telfon lagi nanti, ya. Gue harus pergi dulu. Bye!" ujar Shania sembari menutup telfonnya tanpa menunggu jawaban Calvin

Shania tersenyum meminta maaf. "Sorry, gue keasyikan nelfon."

Revan hanya menatapnya dengan pandangan datar, lalu membuka pintu di sebelahnya dengan santai dan masuk ke dalam rumahnya tanpa menunggu Shania. Padahal, Revan melakukan hal itu karna dia sudah penasaran setengah mati dengan siapa yang tadi menelfon Shania. Bisa disimpulkan, cowok itu cemburu.

Behind The MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang