Senandung kedua

505 74 7
                                    

"Kok, balik lagi? Gak jadi bolos?" tanya Rere, teman sebangkuku saat melihatku datang dengan wajah tertekuk masam.

"Gak jadi! Gue ketahuan Hangga pas mau loncat tembok tadi!" Ucapku kesal.

"Hangga? Cowok galak itu?"

"Hangga yang mana lagi?"

"Kok, bisa ada dia di gang belakang sekolah? Emang dia lagi ngapain?"

"Habis foto copy di tempat Mas Dodit. Mesin foto copyan sekolah rusak!"

Rere tertawa kecil mendengar penjelasanku. "Sial amat lu, Al. Udah, makanya gak usah pake bolos-bolosan segala kenapa. Jadi ke gap deh lu. Untung bukan ke gap guru."

"Gue lagi males sama pelajaran fisika, Re."

"Elu mah aneh. Sebel sama fisika sih masuk kelas IPA. Harusnya masuk IPS!"

"Gue juga males pelajaran hapalan."

"Lah, terus mau lu apa?"

"Bolos!"

"Dih, gak jelas! Lu gak takut Hangga lapor guru karena ngegapin elu bolos?"

"Tadi juga dia ngancem begitu. Kalo gue gak ikut balik dia ke sekolah."

"Bagus deh dia ngancem elu, jadi kan elu gak jadi bolos. Nemenin gue ngadepin fisika," kata Rere yang kusambut cibiran. "Eh, tapi diliat-liat, si Hangga ganteng loh, Al. Kalo gue liat tuh dia mirip sama Takeshi Kaneshiro!"

"Takeshi Kaneshiro? Siapa tuh?"

"Itu..artis Hong kong yang pernah gue tonton filmnya dari dvd bajakan. Seera lah sama Andy Lau, Tony Leung..."

"Bukannya Takeshi Kaneshiro itu orang Jepang? Kenapa lu bilang dia artis Hong kong?"

"Dia berdarah campuran Jepang-Taiwan kalo gak salah. Tapi lebih sering main film Hong kong. Era delapan puluhan gitu deh."

"Dih, kok elu doyannya sama om-om sih? Sorry ya gue penggemar BTS, bukan om-om macam elu."

"Penggemar BTS, kayak ngerti lagu-lagunya aja lu. Ngerti bahasa Korea aja nggak!"

"Biarin! Yang penting kan mereka ganteng-ganteng."

Dan pertengkaran kami harus terhenti karena bel masuk berbunyi. Saat mau bolos tadi, memang saat jam istirahat. Karena gagal bolos, aku mesti bersiap menghadapi pelajaran fisika! Semua gara-gara Hangga!

*********

Kalau kita lagi sebel sama orang, Tuhan pasti bakal terus mempertemukan kita sama dia. Sepertinya hal itu berlaku buatku.

Saat jam istirahat kedua, aku bertemu lagi dengan Hangga. Sialnya sama-sama lagi pesan mie ayam. Ih, gara-gara dia nih aku gagal bolos.

Karena masih menyimpan dendam, begitu pesanan mie ayam kuterima aku berjalan sambil menginjak kakinya. Sengaja, biar tahu rasa! Pikirku waktu melihat dia mengernyit kesakitan.

"Kekanak-kanakan." Desisnya sambil menatapku tajam. Tentu saja bisa kudengar dengan jelas. Tapi aku tidak peduli, berjalan kembali kebangku ku. Di mana Rere sudah duduk dengan pesanan batagornya.

Biarin aja dibilang kekanak-kanakan. Yang penting sudah bisa balas dendam. Meski cuma sekadar injak kaki.

Baru mau menyuap mie ayamku, aku merasakan ada orang yang duduk di sampingku. Saat aku menoleh, ternyata Hangga! Aish, apa aku bakalan terus ketemu dia?

"Ngapain duduk di sini?" tanyaku judes.

"Loh, ini kan area publik. Milik sekolah. Kenapa saya ndak bisa duduk di sini?" tanyanya berlagak pilon. Apa dia tidak melihat wajahku yang sudah mau ngajak perang?

"Karena gue gak suka elu duduk dekat gue."

"Oh, kamu masih marah gara-gara tadi saya mergokin kamu mau bolos?"

"Nah itu tahu."

"Harusnya kamu berterima kasih sama saya, karena sudah menggagalkan rencana kamu buat bolos. Coba kalau tadi saya ndak lewat belakang sekolah buat foto copy. Terus tas kamu yang kamu lempar ndak kena saya, saat ini kamu pasti sudah bolos kan?"

"Kan emang itu rencana gue tadinya, mau bolos. Tapi digagalin sama elu."

"Hei, Alyssa. Tak kandani yo."

"Apa kandangin? Elu pikir gue hewan mau lu kandangin?"

"Kandani bukan kandangin. Saya bilangin sama kamu, biaya sekolah di swasta itu mahal. Dua ratus ribu sebulan. Setahun sudah dua juta empat ratus. Sekolah kita ini kan sekolah swasta, bukan sekolah negeri yang serba gratis. Belum lagi ongkos angkot, uang jajan di kantin. Kalau dihitung-hitung habis berapa sebulan, lalu setahun? Apa kamu ndak merasa rugi bolos sekolah? Itu artinya kamu buang-buang uang. Buang-buang sumber daya.

"Apa kamu ndak kasihan sama orang tua kamu yang mencari uang dengan susah payah? Hanya untuk menyekolahkan kamu di sekolah terbaik yang mereka mampu."

Aku nyaris tersedak mendengar ucapan Hangga. Sedangkan Rere yang duduk di depanku cuma bengong kayak orang bodoh. Mungkin kagum, mungkin takjub atau memang beneran sudah meleleh otaknya.

Mungkin heran, baru kali ini mendapat nasehat yang begitu mendetail dari orang. Pakai perincian biaya sekolah segala. Satu hal yang tidak pernah aku pikirkan selama ini.

Tapi sialnya, apa yang dikatakan Hangga memang benar. Aku jadi teringat Bang Timo, kakak sulungku yang bekerja sebagai security di mall Kramat Jati dekat rumah. Bang Rino, kakak kedua yang kalau pagi jadi ojek online dan malam harinya narik gerobak sayur di pasar Kramat Jati. Juga Bang Syahrul, kakak lelaki nomor tiga yang kerja di konter hp.

Mereka semua kerja keras buat biaya sekolah aku. Bahu membahu mengumpulkan uang untuk sekolahku, biaya makan, listrik, dan kebutuhan sehari-hari kami. Karena semenjak kedua orang tua kami meninggal. Kami hanya hidup berempat.

Menempati sepetak rumah warisan yang terletak di samping mall Kramat Jati. Daerah yang selalu ramai tiap harinya, tidak peduli siang atau malam. Karena dekat dengan pasar induk Kramat Jati, dekat mall juga.

Aku si bungsu terbiasa dilindungi dan dimanja ketiga abangku, hingga menjadi acuh tak acuh dengan sekelilingku. Tapi mendengar ucapan Hangga, aku jadi sadar kalau selama ini aku ternyata egois.

Selalu saja menuruti apa mauku. Kalau mau bolos, langsung bolos. Lebih suka main ponsel ketimbang belajar. Lupa kalau semua yang kudapat ini hasil dari perjuangan keringat ketiga abangku.

Lupa kalau aku bukan orang kaya, lupa kalau semua itu memerlukan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Dan dengan seenaknya, aku mengabaikan begitu saja jerih payah ketiga abangku yang sudah susah payah menyekolahkanku. Yang sudah berusaha memenuhi semua kebutuhanku.

Selama tujuh belas tahun aku hidup, baru kali ini aku merasakan menjadi seorang adik yang tidak tahu diri.

Semua karena ucapan Hangga yang cukup menyentil hatiku.

#Ide ini datang waktu saya sedang berdiri di depan konter Batik. Tiba-tiba saja terlintas ingin membuat kisah tentang cowok peranakan Tionghoa, cucu dari pewaris Pabrik Batik besar di Solo. Dan seorang gadis biasa yang rada tomboy.

Saya tidak berpengalaman membuat cerita bergenre teenlit, tapi semoga tidak mengecewakan kalian semua.

Mohon kritik dan sarannya, kalau ada situasi zaman SMA sekarang yang tidak lagi relevan dengan cerita ini.

Jangan lupa juga kunjungi saya di Fizzo ya. Meski persaingan di sana ketat kayaknya, karena kebanyakan cerita yang mengandung uhuk..uhuk..kalian tahulah😁

Intinya harus bersabar sih.

Terima kasih ya untuk dukungan kalian semua.

Cerita ini mulai ditulis tanggal:

2 januari 2023.

Salam sayang,

Eykabinaya

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang