Part 1: Live to smile

8 0 0
                                    

Mara POV

Aku membuka mataku dan melihat sekeliling.

"Ah.. Aku ketiduran di kamar mandi lagi.." kataku dengan posisi memeluk lutut di bath up kering.

Setelah puas mengumpulkan nyawa, aku segera membersihkan diri dan keluar untuk berganti pakaian.

Aku melihat pantulan diriku di cermin. Rambut hitam panjang tanpa poni, cat eye yang tajam, di tambah kulit putih seperti putri salju. "Norak, aku harap putri salju di depanku ini keracunan stroberi busuk hari ini." aku tersenyum simpul, I am tired of my life. Aku terus berusaha menyemangati diri dengan cara yang berbeda, padahal dalam hati berharap kalau dunia ini terbelah menjadi dua.

Aku menuruni tangga coklat menuju dapur, membuat roti isi stroberi dan whipe cream setelah itu makan di meja pantry sambil menatap langit cerah. Tiba-tiba ponselku berdering menandakan ada telepon masuk. Aku memencet tombol hijau dan loud speaker, kemudian lanjut menatap luar jendela yang lebih menarik dari pada nama yang tertera di ponsel.

"Selamat pagi, Mara Nerezza."

"Pagi, pak." jawabku dengan sedikit belepotan whipe cream.

"Kau tidak lupa misi hari ini kan?"

"Saya tidak pernah lupa misi yang anda berikan." aku berjalan menuju westafel untuk membersihkan bibir dan tangan.

"Pakailah sedikit make up dan liptint, kau terlihat pucat." kata pria tersebut disusul suara tawa. Beliau pasti mengingat wajah berantakanku saat bertemu dengannya kemarin.

"Sejak kapan anda peduli?" tanyaku heran sambil mengambil tas di kursi pantry.

"Kau memang yang paling mengerti aku. Okelah, tetap berhati-hati dan laporkan hasil kinerjamu nanti di kantorku." 

"Dimengerti." aku memakai sepatu lalu menutup telepon. Berjalan keluar, tak lupa menutup pintu apartemen penthouse. 

--

"Kita sudah sampai, Nona." Mataku terbuka ketika mendengar perkataan Xander.

Aku meregangkan tangan dan menghela nafas.

"Aku jadi ngantuk kalau dibonceng, sepertinya sudah saatnya punya mobil sendiri." 

"Pak Ares ataupun saya tidak akan luluh dengan bualan nona, kita berdua sepakat memberikan ketika umur 18 tahun." balas Xander. 

Aku berdecih meninggalkan asisten sekaligus teman baikku yang sudah menemani selama 4 tahun terakhir. Aku menatap sekeliling lingkungan sekolah yang berhasil kutempuh selama 3 bulan ini, tidak ada yang berubah, semua damai sentosa, membuat harapanku akan keracunan stroberi semakin tinggi.

Mengutuk sendiri hidupku adalah bentuk pelampiasan dari suatu hal yang tidak aku suka. Contohnya tersenyum.

Minimnya interaksi dengan orang lain saat anak-anak, mengakibatkan luapan ekspresi dan emosi yang buruk. Artinya aku jarang tersenyum, menangis, marah, dan kesal. Akhirnya, seseorang bernama Ares membantuku tersenyum. Karena katanya, hal itu salah satu trik kecil agar orang lain mengakui keberadaan kita. 

Setelah aku coba, ternyata saat memberikan senyuman dan mendapat pengakuan dari orang lain, akan timbul perasaan yang sangat menyenangkan. Mengingatkanku pada wanita cantik yang selalu tersenyum di sampingku dulu, seandainya sebuah senyuman bisa mengubah semuanya menjadi lebih baik, aku pasti akan mencintai hal tersebut.

Menjadi dingin dan antisosial membuatku tidak nyaman sejak SD. Bohong kalau aku bilang ingin berhenti tersenyum, nyatanya, senyuman adalah salah satu cara seseorang di dunia ini menganggapku ada. 

Behind the KnifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang