05. Bung Kecil dan Keponakan

611 94 38
                                    

NOUREEN mengucek-kucek matanya berkali-kali. Di hadapannya tampak Supriyadi tengah membenarkan posisi seragam kebesarannya. Pemuda itu tampak lebih segar. Noureen sontak bangkit dari posisinya.

"Bagaimana aku bisa di sini? Bukannya kemarin aku tidur di lantai?" gumam Noureen, menyadari saat ini ia berada di atas ranjang.

"Kau sudah bangun?" Supriyadi berbalik badan. Noureen mengangguk kecil.

"Bagaimana aku—"

"Nanti akan aku jelaskan. Sekarang, cepatlah. Kau harus membersihkan diri sebelum yang lainnya bangun."

Dahi Noureen mengernyit heran. "Membersihkan diri? Maksudmu ... mandi? "

Supriyadi berdecak. Ia mengangguk. "Cepatlah. Ini masih jam tiga pagi. Kau punya waktu satu jam sebelum mereka bangun."

Netra Noureen membulat sempurna. "WHAT—"

Supriyadi cepat-cepat menempelkan jari telunjuknya di bibir Noureen. "Pelankan suaramu, Nona." Tiga detik kemudian ia menarik tangannya. "Kalau kau tidak mau mandi ya sudah, aku tidak memaksa, tapi aku tidak ingin bertanggung jawab jika badanmu terasa tidak enak nantinya." Ia menatap Noureen yang terdiam.

"Hari ini aku dan rekan-rekan akan berangkat ke Tuban untuk berlatih bersama sepuluh daidan lainnya. Kemungkinan kami akan kembali malam nanti, besok pagi, atau bahkan ...." Supriyadi menjeda perkataannya. Noureen tampak menunggu pemuda itu kembali bersuara.

"Sudahlah. Tidak ada gunanya aku memberitahumu. Intinya kau sekarang ingin mandi atau tidak? Jika tidak aku tinggal. Aku harus—"

"Iya-iya. Aku mandi." Noureen berucap dengan sedikit sebal. Ia beranjak turun dari ranjang.

Supriyadi tersenyum tipis. Saking tipisnya, Noureen sampai tidak mengenali jika pemuda itu tengah tersenyum. "Kau ambil pakaian di lemari. Kemarin adik Bung Muradi sudah memberikan beberapa pakaiannya kepadamu. Bahkan selimut yang kau kenakan tadi, itu dari dia. Kau harus berterima kasih kepadanya," ujarnya tanpa ekspresi.

Noureen terbelalak. "Benarkah?" ujarnya terkejut. Supriyadi mengangguk.

"Pantas saja Mas Murad baik, adiknya juga baik, hehe." Noureen menatap Supriyadi. "Nggak kayak situ. Galak amat jadi pahlawan," imbuhnya melirih.

"Apa kau bilang?" tanya Supriyadi sedikit tidak santai.

"Tidak ada. Sudahlah, di mana kamar mandinya? Kau bilang aku harus bergegas, kan?" Noureen mengalihkan pembicaraan.

Supriyadi menghela napas. "Ayo, aku akan mengantarmu, tapi ingat, jangan berisik."

Noureen mengangguk mengerti. Dengan hati-hati ia mengikuti langkah Supriyadi setelah mengunci pintu kamar. Asrama tentara PETA Blitar cukup luas. Kebetulan letak kamar Supriyadi berada di bagian paling belakang asrama. Artinya, kamar pemuda itu terletak tidak jauh dari kamar mandi asrama berada. Hanya berjarak kurang lebih dua puluh langkah, kini Noureen sudah sampai di depan bilik tempat membersihkan diri itu.

"Kau masuklah. Aku akan menunggu di sini." Supriyadi berucap tegas.

Noureen terbelalak. "Kamu nggak ngintip 'kan?" tanyanya, memasang wajah garang.

Supriyadi memutar bola mata malas. "Kurang pekerjaan sekali aku mengintip kau mandi. Sudahlah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku di sini untuk berjaga-jaga agar tidak ada satu pun tentara PETA atau tentara Nippon itu mengetahui keberadaanmu. Jika kau tidak mau aku di sini ya sudah. Aku akan—"

"Iya-iya. Cerewet banget dah." Noureen kembali memasang ekspresi kesal. Ia beranjak memasuki kamar mandi. "Perasaan di artikel yang sempat aku baca, Shodancho Supriyadi itu pendiam, penyendiri, anteng. Ini mana ada penyendiri, sensi yang ada," sambungnya menggerutu.

KLANDESTIN ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang