Bab 16 Kenangan Menyakitkan

4 1 0
                                    


Rasa dingin di kaki membangunkan Sofia, rupanya selimut yang sedari tadi dipakai tersingkap di bagian kaki. Azan subuh terdengar sayup-sayup dari masjid yang terletak agak jauh dari rumahnya. Sofia segera beranjak dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk berwudu. Ia membiarkan ibunya yang masih tidur pulas.

Usai salat subuh Sofia menjerang air untuk membuat teh. Sambil menunggu air mendidih, ia menuju ruang tamu. Ruang itu masih sama seperti bertahun yang lalu saat ia masih tinggal di rumah. Kursi tamu yang terbuat dari kayu jati juga belum diganti, posisinya pun masih sama.

Sofia membuka pintu depan, hawa dingin menerobos masuk rumah. Suara jeritan dari ceret untuk merebus air memanggilnya untuk menuju dapur kembali. Segera ia mematikan kompor dan menyiapkan teko serta teh yang akan direndam. Teh yang ibu pakai masih sama seperti yang dulu. Biarpun saat ini banyak merk teh, tetapi Utari masih setia dengan teh dengan bungkus biru putih itu. Menurut Sofia teh itu memang enak, wangi melati bercampur dengan aroma teh menimbulkan keharuman yang khas.

Sambil menunggu tehnya jadi, Sofia menuju kamar untuk mengambil baju hangat. Baju biru muda lengan panjang berbahan rajut lembut itu terasa nyaman dipakai di pagi yang dingin. Sofia menengok sebentar ke kamar ibunya. Utari masih tertidur.

Ia kembali ke dapur untuk membuat secangkir teh untuk dirinya. Aroma khas teh bercampur dengan wangi melati menguar begitu teh dituang ke cangkir. Sofia sangat menikmati aroma itu. Ia menghirup keharuman teh sambil memejamkan indra penglihatannya. Kenikmatan ia rasakan ketika aroma itu merasuk ke hidung menjalar ke simpul-simpul saraf selanjutnya sampai ke otak hingga menimbulkan ketenangan dalan pikiran. Satu sendok kecil gula pasir ia tambahkan ke cangkir tehnya.

Sofia membawa cangkir teh ke teras. Saat ini ia ingin menikmati pagi sambil melihat halaman rumah yang ditumbuhi berbagai macam bunga. Bunga mawar merah yang berada di sudut kanan halaman sedang berbunga. Beberapa kuntum merekah dan terlihat segar. Aroma mawar segar tercium Sofia begitu ia duduk di kursi teras.

Kabut tipis masih terlihat di sekitar rumah. Beberapa orang terlihat berjalan di jalanan depan rumah menggendong bakul berisi sayuran. Kemungkinan mereka akan ke pasar menjual hasil kebunnya.

Teras yang tak begitu luas itu menyimpan sejuta kenangan bagi Sofia. Dia juga menjadi saksi bisu kemarahan Sofia saat mendengar ucapan ibunya yang menyakitkan. Kursi yang berada di teras masih kursi yang dulu. Dua buah kursi kayu dengan meja kecil berada di tengahnya.

Sofia duduk di kursi yang terletak di dekat pintu. Kepulan asap dari isi cangkir masih terlihat tebal, tetapi ketika ia menyesap isi cangkir itu terasa tidak begitu panas di mulut.

Kursi itu sudah bertahun lamanya tidak merasakan kehangatan tubuh Sofia saat mendudukinya. Dulu hampir setiap pagi Sofia duduk di kursi itu untuk memakai sepatu dan kaus kaki sebelum ia berangkat sekolah. Juga ketika dirinya pulang sekolah, ia kembali menduduki kursi itu untuk melepas sepatu beserta kaus kakinya.

Hingga di suatu pagi ketika Sofia sedang mengenakan sepatu, ia mendengar percakapan anatara ibunya dan Om Hermawan langganan Utari yang kebetulan bermalam di rumahnya. Kala itu Sofia kelas satu SMA. Jendela terbuka yang menghadap langsung ke teras membuat percakapan mereka terdengar jelas.

"Cantik anak keduamu itu," kata Om Hermawan ketika melihat Sofia yang baru saja berpamitan ke Utari. Mereka duduk saling berdekatan bahkan saling menempel.

"Namanya juga anak, tidak jauh dari ibunya," jawab Utari dengan suara manja. Sofia merasa muak dengan ucapan ibunya itu. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Jaga dia seperti Sania, nanti kalau sudah waktunya aku akan menjadikannya foto model terkenal dan tentu saja ...." Laki-laki bermata sipit dengan perut buncit itu tidak melanjutkan kata-katanya.

"Asal Om tepat janji saja," kata Utari.

"Jangan khawatir, lihat saja nanti anak pertamamu, aku jamin ia akan bahagia dan senang hidupnya."

Sofia tahu apa yang dimaksud dengan pembicaraan kedua orang dewasa itu. Pernah suatu pagi ia melihat Mbak Sania bergelanyut manja di lengan laki-laki itu saat ia hendak berangkat sekolah. Saat itu Sania kelas tiga SMA di semester akhir. Laki-laki itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan yang ia benamkan di saku baju atas sebelah kiri Mbak Sania. Melihat itu semua Sofia merasa risih. Ia buru-buru berangkat sekolah tanpa berpamitan dengan ibunya yang juga berada di ruang tamu itu.

Sofia dan Sania beruntung di karuniai wajah cantik seperti ibunya. Keduanya juga memiliki kulit putih bersih. Sania sangat senang dengan keadaan dirinya. Ia senang mengumbar kecantikannya dengan bersolek ataupun mengenakan baju minim dan ketat. Beda dengan Sofia, bagi dirinya kecantikannya membawa petaka.

Hingga Sofia berpikiran untuk membuat dirinya jelek agar tidak menarik perhatian orang lain terutama Om Hermawan. Ia juga belajar keras agar berprestasi di sekolah. Dirinya bercita-cita ingin kuliah bagaimanapun caranya.

Untuk mewujudkan rencananya Sofia sengaja berpanas-panasan agar kulitnya gelap. Ia juga sengaja tidak merawat diri layaknya remaja lain yang senang bersolek. Terkadang ia ikut Ningsih sahabatnya ke kebun sayur untuk memanen sayuran, tidak lain agar kulitnya serta wajahnya cepat berubah warna.

Terlintasnya nama Ningsih membuat lamunannya terhenti. Sofia mengambil cangkir tehnya dan mulai menyesap kembali isinya, kali ini terasa hangat.

"Ningsih, bagaimana kabarmu sekarang?" tanyanya dalam hati.

Ningsih, sahabatnya selama SMA tempatnya bercurah rasa segala sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan ke ibunya.

"Sofia, nanti kamu di marahi ibu ikut berpanas-panasan seperti ini," kata Ningsih waktu itu ketika Sofia memaksa untuk ikut memanen sayuran di kebun orang tua Ningsih.

"Biarlah Ningsih, lebih baik aku dimarahi ibu dari pada nanti aku di jual ke Om Hermawan langganan ibu."

Ningsih terkejut mendengar pengakuan Sofia. Ia sudah tahu pekerjaan ibu Sofia, tetapi ia tidak menyangka kalau ibu Sofia akan tega menjual anaknya.

"Aku sengaja membuat kulitku hitam Ningsih, biar saja aku jadi jelek dan tidak menarik," ucap Sofia sambil terus memetik labu siam.

Ningsih terdiam mendengar pengakuan sahabatnya. Rasa kasihan membuatnya ia menghentikan pekerjaannya dan mendekati Sofia. Dipeluknya sahabatnya itu dengan penuh kasih.

"Yang sabar ya, Sof," bisiknya.

Suara batuk Utari dari dalam rumah membuyarkan lamunan Sofia. Ia buru-buru mengusap air mata yang tiba-tiba menetes.

*bersambung*

Menepis Nista, Meraih AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang