Microscopium

191 27 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🌠🌠🌠

Beribu pertanyaan terus terpikirkan. Namun, Luna tidak boleh langsung menarik satu kesimpulan. Karena, setiap akar memiliki cabang. Tidak mungkin akar tak memiliki satupun cabang.

Aroma manis dari permen kapas yang dijual di pinggir jalan menyentak sedikit perhatian Luna. Ada juga pedagang es krim, siomay, sosis bakar, dan lain sebagainya yang bertebaran di sekitar jalan ini.

Memang, sore yang tenang membuat orang-orang banyak berduyun untuk sekedar menikmati udara yang agak lebih segar. Dihujani cahaya jingga, mereka berharap bisa mengobati rasa letih akibat aktivitas monoton yang membosankan. Sekolah atau kerja, lalu pulang. Begitu seterusnya, entah sampai kapan. Tubuh seolah sudah otomatis mengerjakan kegiatan serupa setiap hari.

Bagi yang kurang beruntung, mereka akan melakukan hal yang sama seumur hidup. Bekerja dari pagi hingga sore. Khayalan mereka tidak muluk-muluk. Sudah bisa makan dengan kenyang saja sudah cukup.

"Rigel?"

Justru kata itu yang keluar dari mulut Luna setelah melihat seorang tukang es krim. Niatnya ingin sekedar mendinginkan otak dengan makanan dingin itu, tapi ia malah bertemu dengan adik Orion.

Rigel menoleh setelah menerima dua buah es krim dalam cup. Senyuman manis langsung tersungging. "Eh, Kak Luna? Kok bisa ada di sini?"

Harus Luna akui, Rigel adalah anak termanis yang pernah ia temui. Sifat dan wajahnya sangat cocok. Namun, ia yakin, dalam beberapa tahun ke depan, wajah manis itu akan segera tergantikan.

Rigel akan menjadi bintang yang tak tergapai. Seperti sang kakak. Perempuan sekelas Luna pasti tidak ada apa-apanya jika disandingkan dengan sosok seperti Orion.

"Jalan-jalan sebentar tadi." Luna mengambil tempat di sebelah Rigel. "Es krim strawberry satu, Bang!"

Dengan kesusahan, Rigel mengambil uang kembalian dari penjual es krim.

"Ke sini sama siapa?" tanya Luna basa-basi.

"Itu, Kak Orion," jawab Rigel, menunjuk seorang cowok yang duduk di salah satu bangku taman. Terlihat sibuk bermain ponsel. "Duluan ya, Kak!"

Luna mengangguk. Mengamati bagaimana Rigel menghampiri kakaknya. Lalu, alih-alih duduk di samping Orion, Rigel justru berjongkok di bawah. Rela mendongak, menyerahkan satu es krim vanilla dan berbicara entah apa.

Entah apa yang mereka bicarakan, karena detik berikutnya, Orion menoyor kepala Rigel. Bukannya marah, anak itu justru tertawa kikuk, sepertinya ia memang melakukan sedikit kesalahan. Disusul dengan dua jari Orion yang menarik gemas hidung adiknya.

"Ini, Neng! Es krimnya!"

Luna terkesiap. Buru-buru mengambil uang di dalam dompetnya. Saat ingin segera pergi, ia harus mengecek ponselnya karena benda itu mengeluarkan suara notifikasi.

Semesta Bercerita (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang