EMPAT PULUH SEMBILAN

4.5K 413 26
                                    


"Kita ke mana dulu, Bi?"

Rafabian menunjuk satu toko yang menampilkan banyak sekali pakaian sekolah di balik dinding kacanya. Mereka sudah sampai ke salah satu mall yang tidak jauh dari rumah mereka. "Di sana. Ayok, Bi!" ajak Rafabian pada Bian. Lagi-lagi laki-laki itu hanya menggenggam tangan Bian tanpa berminat menyentuh jemari Rindi. 

Rindi tertegun. Di saat hamil besar seperti ini moodnya lebih mudah berubah. Tapi sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi apapun. 

Rindi akhirnya hanya bisa berjalan pelan di belakang Rafabian dan putera mereka. Begitu sampai di dalam toko, Rindi yang kelelahan memilih beristirahat di kursi depan toko. Biarkan suaminya mengurus semua perlengkapan Bian.

"Daddy! Mommy gak ada!" pekik Bian begitu cukup lama memutar di dalam toko.

Rafabian berbalik, berjalan ke sana kemari hingga memutari toko yang cukup besar.

"Permisi, Pak. Ada yang saya bisa bantu?" Seorang gadis muda dengan rambut kuncir satu berusaha bertanya dengan sangat sopan begitu melihat pelanggannya sudah lebih dari dua kali berjalan di hadapannya.

"Saya mau tanya, apa Anda lihat perempuan hamil lagi cari-cari pakaian?" tanya Rafabian tanpa memandang lawan bicaranya, hanya memandang ke sekitar untuk mencari Rindi.

"Ibu hamil yang pakai abaya biru?"

Rafabian dan Bian spontan mengangguk.

"Ibunya ada di depan dari tadi, Pak."

Rafabian mengucapkan terima kasih dan segera keluar dari toko bersama Bian. Begitu matanya menangkap pemandangan Rindi yang sedang mengelus perut dari dalam kerudung panjangnya membuat Rafabian bernapas lega. Sembari bergandengan tangan dengan Bian, ia berjalan mendekat dan duduk di kursi yang sama. 

"Kenapa gak bilang kalau istirahat di sini? Hm?" tanya Rafabian sangat halus.

Rindi yang semula menatap satu toko bunga dari kejauhan tiba-tiba menoleh. "Ha?" beonya.

"Kenapa masih di sini?" Rafabian bertanya dengan pertanyaan yang berbeda.

Rindi menggeleng, "Aku capek. Kenapa kalian ke sini? Belanjanya sudah?" Pandangan perempuan itu beralih dan melirik ke arah samping Rafabian. Begitu tidak melihat paper bag di sana, ia kembali bertanya, "Kalian gak jadi belanja? Atau Bian gak suka sama baju di sini?"

"Kita dari tadi cariin kamu."

Rindi merasa bersalah, ia menatap Bian. "Maaf, ya, sayang." Tangannya sudah mengelus lembut pucuk kepala bocah yang berdiri di sampingnya itu.

"Mommy capek, ya? Kita pulang aja, yuk. Aku gak mau Mommy jadi sakit."

"Gak, kok. Mommy itu kuat, tau!"

Rindi mencoba berdiri dari duduknya. Tapi karena perutnya yang sudah besar, sedikit kesusahan. 

Tangan Rafabian segera menggenggam satu tangan Rindi dan dengan satu tangan yang lain memeluk bahu perempuannya. "Maaf, aku bantu." Rindi tersenyum. Tapi di balik senyum itu ada rasa sakit yang dirasakan. Bagaimana tidak, jika menyentuh saja Rafabian harus meminta maaf.

Begitu Rindi berhasil berdiri, Rafabian ingin melepaskan genggamannya. Tapi Rindi segera menggenggamnya lebih erat. Keduanya saling melempar pandang. Begitu Rafabian memandangnya, Rindi menggeleng kecil seolah memberi isyarat untuk tidak melepaskan tangannya.

Rafabian membuang pandang, menghindari tatapan teduh perempuan di depannya, tapi tangan kekarnya masih digenggam oleh Rindi. 

"Bian, kita kembali masuk." Satu tangannya menggandeng tangan Bian.

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang