Bab 17 Keadaan Ibu

6 2 1
                                    

Bergegas Sofia beranjak dari duduk dan menuju kamar ibunya.


"Kenapa Bu?" Sofia khawatir dengan keadaan Utari yang masih terbatuk-batuk.

"Tidak apa-apa," jawabnya di sela batuk yang muncul kembali.

"Aku buatkan teh hangat, Bu." Tanpa menunggu persetujuan Utari, Sofia beranjak ke dapur. Tak berapa lama ia membawa secangkir teh hangat.

"Minum dulu, Bu." Sofia menyuapi Utari sesendok teh hangat kala batuknya reda.

"Sudah, terima kasih," ucapnya setelah dua sendok teh hangat melegakan tenggorokannya yang gatal.

"Ibu sudah lama batuk?"

"Setahun terakhir ini terutama kalau pagi hari, mungkin karena hawa dingin." Utari merapikan selimut sampai menutupi dada. Sofia memegang kening Utari. Terlihat raut kecemasan dari Sofia, raut wajahnya mengernyit. Ia merasa lega karena ibunya tidak panas badannya.

"Minum lagi tehnya, Bu?"

"Tidak usah."

"Kakinya dioles kayu putih ya, Bu?" Utari mengangguk mengiyakan. Sofia mengambil botol minyak kayu putih yang terletak di nakas sebelah ranjang. Ia mulai mengoles dan memijit lembut telapak kaki ibunya yang terasa dingin.

Sofia menatap wajah pucat ibunya. Gurat kecantikan masih terlihat walaupun sudah ada kerutan halus di kedua sudut matanya yang terpejam. Pipinya terlihat lebih tirus. Ia memperkirakan berat badan ibu turun banyak.

Demi melihat wajah ibu, teguran tentang wajahnya yang kusam dan berjerawat beberapa tahun silam terngiang kembali.

"Jadi anak gadis itu harus rajin merawat diri, jangan sampai kulit kusam dan berjerawat," ucap Utari ke Sofia ketika mereka makan malam bersama.

Sofia diam saja, ia mengunyah makanannya seolah tidak mendengar suara dari ibu. Utari yang duduk di kursi makan seberang Sofia merasa kesal diabaikan oleh Sofia.

"Dibilangin ibunya kok diam saja, lihat tuh Mbak Sania dia lulus sekolah langsung jadi foto model, dia nurut sama ibu, rajin merawat tubuhnya." Utari hilang kesabaran atas sikap Sofia

Wanita berdaster biru muda itu meninggalkan makan malamnya yang belum habis. Hatinya gusar. Seandainya waktunya tiba Sofia masih terlihat jelek seperti itu, Om Hermawan tidak mau menjadikan Sofia foto model seperti Sania. Ada kebanggaan tersendiri bagi Utari melihat anaknya cantik-cantik apalagi menjadi artis foto model, walaupun jalan yang ia berikan salah.

***

Utari terbangun karena batuk. Sofia segera menghentikan pijatannya dan duduk di samping Utari.

"Minum lagi, Bu?"

"Tidak usah, ibu mau bangun, ke kamar mandi." Sofia membantu ibunya bangun dan memegang tangan Utari bermaksud menuntunnya.

"Ibu masih bisa jalan sendiri." Sofia melepaskan pegangan tangan ibunya dan membiarkan Utari jalan sendiri. Ia merapikan tempat tidur kemudian membuka jendela. Udara pagi menerpa wajah Sofia hingga kesejukan ia rasakan. Sesekali suara burung terdengar merdu dari samping kamar Utari yang ditumbuhi pohon mangga.

Selesai merapikan kamar Sofia menuju dapur bermaksud membuat sarapan untuk dirinya dan ibu. Utari sudah keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kursi makan yann terletak berseberangan dengan dapur. Napasnya terlihat sedikit memburu. Akhir-akhir ini, Utari merasa cepat lelah biarpun hanya berjalan sebentar.

"Mau sarapan apa, Bu?"

"Roti bakar saja ya, di lemari masih ada roti tawar dan selai strawberi, sekalian tolong buatkan susu."

Dengan cekatan Sofia menyiapkan sarapan untuk ibunya. Mata Utari berkaca-kaca melihat kesibukan Sofia menyiapkan sarapan. Rasa bersalah terhadap anaknya itu makin menjadi.

"Seandainya ia dulu menurut apa kataku seperti kakaknya, mungkin hari ini dan seterusnya aku akan sendiri menjalani hari tua," batin Utari.

Tak berapa lama roti bakar sudah matang. Sofia membawa dua piring masing-masing berisi sepotong roti bakar dan kembali lagi ke dapur mengambil segelas susu dan secangkir teh. Ia menikmati sarapan pagi ini dengan gembira setelah bertahun lamanya ia sarapan sendiri bahkan sampai terburu-buru karena pekerjaan kantor yang menumpuk.

"Apa rencanamu di sini, Sofia?" tanya Utari usai menyesap susu hangatnya.

"Aku akan membuka agen bus antar kota, Bu, rencananya mau cari tempat di kota, sekalian nanti perlahan membuka agen tur."

Sebuah rencana sudah disusun Sofia ketika ia memutuskan resaign dari pekerjaannya. Jarak anatara kota Salatiga dan rumahnya yang tidak terlalu jauh memungkinkan ia untuk pulang setiap hari hingga bisa merawat Utari.

"Bagaimana dengan sakit Ibu?"

Kurang lebih setahun yang lalu Utari mengabarkan kalau dirinya mengidap gejala tumor rahim. Namun, ia menolak diajak ke Jakarta kala itu agar bisa dirawat Sofia dan menjalani pengobatan.

"Sekarang ibu berobat alternatif, itu obatnya masih banyak." Utari menunjukkan lima botol berisi kapsul yang terletak diatas lemari kecil di sebelah meja makan.

"Kenapa tidak ke dokter saja, Bu, biar lebih jelas pengobatannya dan terkontrol perkembangannya."

"Enam bulan yang lalu saat ibu kontrol, dokter menganjurkan ibu untuk operasi, tapi ibu takut, ibu tidak mau, terus ada teman ibu yang menyarankan untuk berobat alternatif saja, saudara teman ibu itu juga kena tumor dan bisa sembuh."

"Terus sekarang gimana? Ibu pernah kontrol ke dokter lagi?"

"Tidak, ibu takut."

Utari merasa pasrah dengan sakit yang dideritanya. Ia merasa sakitnya saat ini akibat perbuatan di masa lalu. Semakin hari ia merasakan tubuhnya semakin lemah serta cepat capai bila beraktivitas sebentar. Ia juga merasakan sering nyeri di bagian perut. Terkadang gumpalan darah juga keluar dari kemaluannya.

"Besok kita ke dokter lagi ya, Bu, biar tuntas pengobatannya." Sofia meraih tangan Utari berupaya memberikan semangat agar mau berobat kembali. Sofia berharap ibunya bisa sehat seperti sedia kala.

Utari tidak bisa menahan rasa haru. Beberapa butir air mata jatuh menelusuri pipi tirusnya tanpa bisa ditahan.

"Ibu menangis? Tidak usah takut, Bu, Aku dan Mbak Sania akan menemani ibu selama pengobatan. Masalah biaya tidak perlu khawatir. Tabunganku cukup kok untuk berobat ibu."

Tangis Utari bukannya mereda, ia malah sesenggukan mendengar ucapan Sofia.

"Sudahlah, Bu, tidak ada yang perlu ibu takutkan sekarang ini peralatan kedokteran semakin canggih, Aku yakin ibu akan sehat kembali."

Sofia mengira Utari menangis karena takut menjalani operasi jika dokter menganjurkan untuk operasi. Jauh di lubuk hatinya rasa bersalah terhadap anak keduanya itu makin menjadi. Bayangan masa kecil Sofia tanpa kasih sayang seorang ayah serta tidak tahu siapa ayah kandungnya berkelebat dalam angan Utari.

*bersambung*

Menepis Nista, Meraih AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang