Chapter 3

689 56 3
                                    

Ternyata memang benar jika Jayendra sekarang kembali ke masa lalu. Setelah semalam kembali tidur, dia terbangun dengan Arsa yang berada di sampingnya. Tentu saja Jayendra merasa senang, dengan begitu ia mungkin saja bisa merubah masa depan.

Sepotong kue ulang tahun Jayendra sudah tersaji di atas meja makan, Ibunya sudah membagi beberapa potongan untuk dirinya dan kedua anaknya. Makanan itu yang akan menjadi menu sarapannya hari ini. Mau mengenyangkan atau tidak tetap harus dimakan. Sebagai pengganjal perut karena Ibunya juga tak sempat memasak atau bahkan membeli sarapan keluar. beliau juga bangun kesiangan.

Jika diingat, perayaan kejutan ulang tahun yang sebelumnya pernah terjadi berjalan sangat lancar, mereka bertiga memakannya langsung diatas tempat tidur dengan penuh kesenangan. Namun sekarang Jayendra memakannya di meja makan dan diisi oleh kesedihan. Apa dengan begitu  ia bisa merubah masa depan?

Jayendra memotong-motong kue coklat itu menjadi beberapa bagian dengan garpunya, di meja makan itu Jayendra masih sendiri karena kedua anggota keluarganya yang lain masih sibuk melakukan sesuatu di dalam kamar masing-masing.

Jayendra memakan kuenya itu sembari memikirkan cara untuk bisa melindungi Arsa di sekolahnya. Sialnya memang sekolah mereka berbeda, Jayendra tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk bisa mengawasi Arsa di sekolahnya. Ia juga tak tahu teman dekat Arsa, sehingga Jayendra juga tak bisa meminta bantuan.

Ketika Jayendra mennyuapkan suapan keduanya, Arsa keluar dari kamar dengan tas dan jaketnya di tangannya, seragamnya sudah terpakai rapi di tubuhnya. Dia mengambil sepatu lalu duduk di kursi yang bersebrangan dengan Jayendra.

"Kenapa hape lo gak aktif sih, Ayah tadi bilang ke gue, hari ini lo harus pulang kerumah. Ayah bakal keluar kota lagi, lo harus jaga rumah." Ujar Arsa sembari memakai kaos kaki putihnya.

Ponsel Jayendra mati karena kehabisan batrai, pikirannya penuh dan kacau sehingga ia bahkan tak menyadari itu. Sampai sekarang Jayendra masih belum mengisi daya ponselnya karena ia bahkan tak mengigatnya.

"Gak mau. Gue mau tinggal disini aja sama lo, sama Ibu."

"Jangan aneh-aneh. Kasian Ayah tinggal sendirian." Setelah selesai dengan sepatunya Arsa mulai memakan kuenya juga.

"Disana gue kesepian, lo tahu kalo ayah suka keluar kota."

Arsa menghentikan aktivitas makannya, menatap kakaknya lekat-lekat. Apa ini juga karena mimpi itu?

"Tapi lo gak pernah kayak gini sebelumnya. Kalo ini karena mimpi buruk lo itu, gak usah berlebihan. Itu cuma mimpi doang Jayendra, gak usah takut." Ucapnya.

"Yaudah gue minta nomor hape temen-teman lo."  Pinta Jayendra yang membuat mata Arsa membelalak.

"Buat apaan?" Arsa merengut tak suka.

"Gue khawatir kalo jauh-jauhan sama lo. Lo juga jarang banget ngasih kabar ke gue. Di chat balasnya lama, jadi kan kalo lo sibuk gue bisa nyari tahu keadaan lo dari temen-temen lo itu." Jelas Jayendra. Tidak bisa dipungkiri jika ia benar-benar ingin menjaga Arsa sekarang.

Ia benar-benar ingin memantau apa yang dilakukan adiknya itu selama dua puluh empat jam jika bisa. Kalaupun bisa, Jayendra
Ingin minta di pindahkan sekolah, ke sekolah Arsa. Namun rasanya permintaan itu akan susah untuk diterima.

Bagaimana overprotectifnya Jayendra malah membuat Arsa merasa kesal. "Gak mau. Gue risih kalo lo udah kayak gini. Gue bisa jaga diri. Mimpi lo itu gak ada artinya, cuma mimpi. Jangan berlebihan deh, jatohnya malah ngeselin."

Arsa bangkit dari duduknya, memakai tas gandongnya. Jayendra mulai merasa emosional lagi.

"Gimana kalo semua itu nyata adanya, hal itu bener-bener terjadi di masa depan lo. Apa lo akan percaya kalo gue ini datang dari masa depan? Lo mati dengan cara mengenaskan tanpa ada yang tahu kebenaran dibalik kematian lo. Gue udah cukup hancur karena gak tahu apa-apa, gak bisa berbuat apa-apa buat nyelamatin lo." Jayendra terlanjur mengungkapkan semuanya, ia tak peduli Arsa percaya atau tidak. Ia hanya ingin Arsa  mengizinkannya untuk lebih memperhatikannya.

Lagi-lagi mata Jayendra berair dan napasnya memburu. Hatinya begitu sakit jika mengingat bagaimana kehidupannya setelah ditinggal pergi Arsa tanpa kata-kata perpisahan. "Gue gak peduli kalau lo mau percaya atau enggak sama cerita gue ini. Tapi gue cuma pengen lo terbuka sama gue, Sa. Ini kesempatan gue buat bisa nyelametin lo. kalau emang gak bisa, setidaknya gue pengen tahu apa yang lo rasain. Bisakan?"

Arsa hanya membalas tatapan Jayendra dengan mata yang terbuka lebar, dipastikan ia juga cukup terkejut dengan apa yang dikatakan sang kakak. Namun Arsa masih tak berkata apa-apa. Meskipun untuk kedua kalinya ia melihat Jayendra yang biasanya selalu terlihat kuat tanpa kesedihan menjadi tampak kacau. Dan itu semua karena rasa takutnya terhadap kehilangan Arsa.

Arsa berjalan mendekat pada Jayendra, terlihat dia mengepalkan tangannya. Tak tahu emosi apa yang sedang ia pendam sekarang. "Lo aneh. Omongan lo ngawur. Emang kita hidup di novel fantasi? Selesain ketakutan lo. Gue bakalan mencoba bertahan hidup kalaupun susah. Jangan khawatirin gue,  cukup percaya sama gue. " Ujar Arsa. Dia menepuk pundak Jayendra dan melangkah pergi keluar rumah.

Namun baru beberapa langkah pemuda itu kembali menghampiri Kakaknya. " Kalo lo sampe nekat dateng kesekolah gue atau pun minta temen sekelas gue buat jadi cctv lo, awas aja. Gue gak akan mau kenal lagi sama lo meskipun kita sodara. " setelahnya Arsa benar-benar pergi keluar rumah dengan berlari.

Ibunya yang baru keluar dari kamar memarahi anak bungsunya itu, beliau juga kesal karena Arsa bahkan tak berpamitan untuk pergi ke sekolah. Ibunya yang sudah berdandan rapi dengan setelan kerjanya, juga masuk ke dalam dapur untuk ikut sarapan. Namun yang ia lihat pertama kali bukan kue dari piring anak-anaknya yang habis. Ia melihat Jayendra berdiri dengan mata merah dan berairnya.

Apa yang dikatakan Arsa tadi malah membuat Jayendra lebih khawatir. Jayendra tahu jika adiknya itu memiliki masalah yang dia tutupi dari siapapun. Arsa bukan marah karena merasa malu jika diperhatikan berlebih tapi dia terlihat seperti takut jika hal yang ia tutupi itu akan diketahui Jayendra.

"Jayendra, Kamu gak pa-pa?" Ibunya yang khawatir dengan keadaan Jayendra sekarang meraih tangan anaknya itu. Membuatnya tersadar dari lamunannya.

"Ibu, apa Arsa suka nyeritain kesehariannya di sekolah ke Ibu?" Tanya Jayendra pada ibunya itu.

"Iya, dia selalu bercerita pada Ibu dari kisah yang menyenangkan sampai sedihnya dia." Jawab Ibunya tanpa ragu.

Jayendra kembali terdiam, mencoba mengingat hal apapun yang orang-orang katakan mengenai Arsa, sebelum adiknya itu terjun dari lantai lima sekolahnya. Jeno memperhatikan Ibunya yang tengah menuangkan air putih untuk dirinya dan anak pertamanya. Lalu duduk di kursi sembari memakan kue yang masih tersisa banyak di piring Arsa.

"Apa dia punya teman deket?" Tanya Jayendra lagi.

"Maksud kamu pacar? Kayaknya belum punya tapi dia suka bawa temen kerumah, namanya Saka. Kenapa?"

"Ibun punya nomor handphonenya?"

"Punya."

Jayendra tersenyum tipis, ia menghela lalu membuang napasnya pelan. Mencoba membuang kegundahan yang sudah lama mengganjal di dadanya. Ini adalah langkah awal untuk Jayendra menyelamatkan adik kesayanganya itu.

"Kakak minta dong, Bu."

"Iya nanti Ibu kirimin nombernya. Tapi bisa ceritain dulu kemarin kamu kenapa?"

Lagi-lagi Jayendra merasa bingung. Haruskah ia bercerita juga soal dirinya yang kembali ke masa lalu? Haruskah ia bilang jika dimasa  depan anak kedua sang Ibu itu meniggal disekolah?

Mau percaya atau tidak. Pasti hal itu akan menghantui pikiran Ibunya. Jadi Jayendra memilih untuk merahasiakannya saja.

"Cuma keinget sama mimpi buruk yang didalemnya ada Arsa, Bu. Bukannya gak mau cerita, tapi 'kan kalo mimpi buruk diceritain ke orang lain bisa  jadi kenyataan."

Ibunya itu mengangguk paham sembari terkekeh pelan, "Iya deh. Tapi kalau ada apa-apa bilang ya."

Tangan halus milik Sang Ibu meraih tangan Jayendra. Mengelusnya pelan dan senyuman tersungging di bibirnya. Membuat Jayendra yang melihatnya merasakan kehangatan di dalam hatinya. Seperti ada sentuhan yang mengatakan jika Jayendra tidak sendiri.

***

Sebenernya aku baru ngedraf dikit banget dan menurut kalian cerita ini gimana? Aku agak setengah hati mau ngelanjutinnya. Kasih tau aku pendapat kalian ya siapa tau jadi semangat nulis cerita ini sampai selesai.

Second chance | Jenric AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang