Hujan

323 31 48
                                    

BoBoiBoy milik Animonsta Studios
.
Sebuah prompt akhir tahun dari PausPink-

yang ditulis oleh sky_liberflux
dan diedit oleh DekaAnderskor
.
.
.
Hujan
.
.
.

Seperti yang kita tahu, memasuki bulan Desember intensitas hujan akan semakin tinggi. Di kota-kota minim resapan air biasanya mulai menerima wahana air gratis musiman. Kalau sudah begitu, alasan-alasan klasik untuk mendukung saat tidak mengerjakan tugas sekolah akan terbit seperti kutu air. Contohnya saja, tidak mengerjakan tugas karena buku catatan basah karena pulang sekolah hujan-hujanan, atau buku hanyut terbawa banjir. Alasan-alasan seperti itu masih bisa ditoleransi, tetapi bagaimana kalau alasannya tak masuk akal, seperti buku tugas digigit kucing gila yang hanyut terbawa banjir?

Namun, pernahkah kamu mendapati alasan paling konyol dan lain daripada yang lain? Tidak pernah? Coba tanya Kaizo, guru Matematika yang satu ini sepertinya pernah.

Sepanjang sepak terjangnya mengajar matematika di SMP Pelita Alam Mandiri, atau sering disingkat SPAM, baru kali ini Kaizo mendapat alasan konyol cenderung nyeleneh dari salah satu muridnya.

Sebut saja namanya Duri. Murid tahun pertama di SPAM. Suka memakai jaket hijau, topi hijau, dan mungkin jika diizinkan, dia pasti akan memakai celana hijau juga. Kalau kata Blaze-salah satu muridnya yang agak-agak-Duri memang seperti jelmaan oyong berjalan.

Suatu siang di kelas, Kaizo mulai menagih tugas Matematika yang dia berikan minggu lalu. Dari tiga puluh muridnya, hanya satu orang yang tak mengumpulkan, yaitu Duri.

Meskipun ibunya sering berkata akhlaknya agak minus karena kurang menonton dan memaknai pesan moral dalam sinetron hidayah, tetapi Kaizo paham agar tidak menegur muridnya secara brutal di muka umum. Maka dari itu, dia meminta Duri menemuinya di ruang guru selepas pulang sekolah, agar dia bisa lebih leluasa membantai setiap argumennya.

Maka disinilah mereka. Kaizo duduk santai sambil mengoreksi tugas murid-muridnya, sedangkan Duri duduk tegang.

"Kenapa enggak mengerjakan PR?" tanya Kaizo sembari memeriksa tumpukan buku tugas di mejanya.

Meskipun tidak mendapat tatapan setajam silet, nyali Duri semakin mengerut seperti kerupuk yang tercebur dalam kuah bakso. Kepalanya tertunduk, dia memainkan kedua jari telunjuknya di depan dada. Haruskah dia mengatakannya?

"Kenapa? Soalnya susah? Atau malas? Kalau malas, nggak perlu sekolah sekalian," ucap Kaizo lagi.

Duri yang semakin tertekan, akhirnya buka suara, "Bukan begitu, Pak. Buku PR saya ... tersambar petir dan terbakar."

Tangan kanan Kaizo yang sedang membubuhkan catatan di buku tugas muridnya mendadak keseleo. Dia langsung menatap murid di depannya dengan kedua alis yang bertaut. Alasan macam apa itu? Apa dia tidak salah dengar?

"Dan saya hampir mati karena mengerjakan PR dari Bapak," lanjutnya.

Seketika Kaizo merasa tersinggung. Dia tahu, beberapa muridnya sering bergosip kalau soal-soal Matematika darinya agak biadab dan disinyalir sebagai salah satu faktor penyebab kebotakan dini, tetapi baru kali ini dia mendengar seseorang terang-terangan berkata hampir mati karena mengerjakan soal Matematika darinya. Memangnya sebegitu mengerikankah sampai hampir menewaskan muridnya sendiri?

Kaizo mengembuskan napasnya. Sabar Kaizo, sabar. Tidak boleh mencela. Kalem. Kamu pasti bisa. "Jangan kasih alasan yang enggak-enggak. Nilai kamu saya kurangi."

"Jangan, Pak. Saya enggak bohong, kok."

Kaizo tetap skeptis, ekspresi wajahnya seolah mengatakan bahwa bocah di depannya ini hanya sedang mengarang sambil mengupil. Berulang kali dipikirkan pun, cerita Duri tidak bisa masuk ke dalam logikanya, masuk ke otak saja tidak. Memangnya berapa probabilitas buku Matematika bisa tersambar petir? Kaizo rasa hampir mustahil.

"Kalau Bapak enggak percaya, saya ada videonya."

"Kamu main-main sama saya?"

"Enggak, Pak. Saya mana berani."

Duri buru-buru mengacak-acak isi tasnya, lalu mengeluarkan ponsel berpelindung ponsel berwarna hijau terang bergambar kodok Zuma.

Kaizo langsung melotot-bukan karena pelindung ponsel Duri bergambar kodok Zuma. Jelas-jelas peraturan sekolah mengatakan agar setiap muridnya tidak boleh membawa ponsel ke sekolah, tetapi anak ini malah menyelundupkan benda itu di tasnya, dan bisa jadi ada anak-anak lain yang melakukan hal yang sama. Ingatkan Kaizo untuk melakukan razia besok.

"Saya tahu saya nggak boleh bawa ponsel, tapi ini darurat. Coba lihat ini, Pak."

Duri menyodorkan ponsel hijau itu padanya. Ponsel itu memutar sebuah video CCTV di rumah Duri. Video itu berlatar di sebuah tempat jemuran, di bawah besi jemuran ada sosok hijau-hijau seperti oyong yang sedang duduk bersila, lalu sosok itu beranjak dari duduknya, tak lama kemudian ada petir yang menyambar besi jemuran itu, terlihat ada percikan api, dan video itu pun berubah gelap.

Sesaat setelah video berakhir, Duri mengambil ponsel itu dan mengembalikannya kepada Kaizo. "Masih ada lagi, Pak. Coba lihat."

Video kali ini terlihat banyak orang-Kaizo asumsikan sebagai keluarga Duri-yang sibuk memadamkan api, ada yang membawa ember air, ada yang membawa kain, ada pula yang terlihat hanya menonton sambil memeluk bantal.

"Di dekat situ ada kabel listrik, jadi langsung ada api, dan mati listrik."

Kaizo terkesima setelah melihat kedua video tersebut. Namun, ada satu yang ganjil. "Kenapa kamu video?"

"Kalau enggak gitu, Bapak enggak akan percaya."

Memang masuk akal, tetapi ini terlalu konyol untuk diterima logika Kaizo. Mungkinkah ini sebuah pertanda, alam ingin mengatakan bahwa petir saja muak melihat soal-soal Matematika dari Kaizo, apa lagi manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.

"Saya suka hujan, Pak. Tapi karena kamar saya lagi di renovasi, saya jadi mengerjakan tugas disitu. Saya enggak menyangka kalau mendung hari itu bakal diiringi hujan petir."

Kaizo memijat kepalanya yang terasa pusing. Mendung memang kadang-kadang diiringi hujan petir, memangnya dia pikir mendung akan diiringi lagu kebangsaan? Tentu saja tidak.

Kaizo sedikit paham kenapa anak itu menyukai hujan. Hanya ketika hujan kota yang dia tinggali bisa terasa sedikit sejuk. Kota ini memang terkenal dengan cuacanya yang panas, seolah setiap embusan anginnya membawa uap neraka. Saking panasnya, orang-orang bergurau dan menjuluki kota ini sebagai planet terdepan sebelum Merkurius.

Namun, siapa pun tolong beritahu anak itu bahwa mengerjakan PR di bawah besi jemuran saat mendung adalah perilaku yang tidak manusiawi. Kaizo sudah lelah.

"Pak, nilai saya enggak dikurangi, kan? Itu kan masuk kategori bencana alam."

Kaizo tak menjawab. Dia lekas menyuruh Duri pergi. Ucapan Duri semakin didengarkan, semakin membuatnya pusing.

Namun, seolah itu semua belum cukup, keesokan paginya, saat Kaizo mengajar di kelas yang berbeda. Dari 31 muridnya, hanya satu yang tidak mengumpulkan tugas, yaitu Solar.

Kaizo mengernyit. Tidak biasanya Solar absen mengumpulkan tugas darinya, padahal biasanya jika diberi satu soal, anak itu sering melunjak, dan minta diberi sepuluh soal lain.

Karena itu, Kaizo menanyai alasannya di muka kelas. Kaizo yakin, Solar pasti punya alasan yang lebih logis dari Duri, tetapi ....

"Buku PR saya dipinjam Duri, lalu tersambar petir dan terbakar."

Kaizo menggebrak meja, membuat seisi kelas terkejut. Hilang sudah kesabarannya. "Cukup!"

Sadar akan tindakannya, Kaizo kembali duduk dengan tenang, lalu memijat kepalanya yang terasa pusing. Seseorang tolong hentikan ini.

Antologi KEB 2022Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang