Maaf

197 22 6
                                    

BoBoiBoy milik Animonsta Studios
.
Sebuah prompt akhir tahun dari deecarmine
yang ditulis oleh SappireEyes
dan diedit oleh DekaAnderskor
.
.
.
Maaf
.
.
.

Sebuah tangan mungil tampak tengah menggesek-gesekkan roda mobil kecil berwarna biru. Saat merasa sudah cukup, tangan itu segera melepaskan mobilnya dan membiarkan kendaraan kecil itu melaju dengan iringan tawa gembira dari mulut si kecil serta tepuk tangan ketika mobil itu menabrak tumpukan balok warna-warni yang berada pada jalur lajunya. Dengan tawa yang masih setia keluar, anak itu mendadak terangkat akibat tarikan gravitasi yang dilakukan oleh sang Ayah yang muncul di belakangnya.

"Kamu sepertinya sedang sangat senang ya. Ayah boleh ikut main?" tanya sang Ayah yang masih tertawa melihat senyuman lebar anaknya.

"Ayah, Ayah. Main telbang!" jawab si kecil seraya mengibaskan kedua tangan kecilnya.

"Oke bos kecil Ayah. Ayo kita terbang!"

Lelaki yang umurnya sudah menginjak kepala empat itu mulai mengayunkan anaknya layaknya pesawat. Si kecil tampak gembira dengan perlakuan tersebut. Ia semakin tertawa.

Sepiring karikap yang masih hangat terhidang di atas meja tanpa mereka sadari. Pelaku yang menaruh makanan itu tersenyum kecil melihat gelagat suami dan anaknya itu.

"Ayo, mainnya sudah dulu ya. Ini Ibu buatkan karipap."

Tanpa aba-aba untuk kedua kalinya, sebuah bola merah muncul dari bawah meja. Kedua tangan robotnya langsung meraih dua karipap dan melahapnya. Ekspresi robot itu sangat senang. Ia kembali mengambil beberapa karipap seraya menari kecil.

"Hei, Mechabot. Jangan dihabiskan semua. Itu bukan untukmu saja tahu,"

"Tidak apa, Amato. Aku sudah membuat karipap yang banyak cukup untuk kita semua."

Teguran Amato dihentikan oleh ucapan sang istri. Wanita yang merangkap ibu rumah tangga itu hanya tertawa pelan dan diakhiri dengan senyuman kecil. Amato yang melihatnya hanya membalas dengan senyuman kecil. Pandangannya kembali kepada anaknya yang sudah lebih dulu menyusul si robot merah bernama Mechabot itu.

"BoBoiBoy. Sisakan untuk Ayah, Sayang."

*****

Suara ayam menyahut tepat saat sinar mentari mulai merambat di ufuk timur. Suasana pagi tampak masih sepi dan dingin. Di sebuah kamar tidur yang tampak remang-remang, terlihat beberapa barang seperti foto dengan pigura di atas meja belajar serta beberapa kertas kecil yang menempel di sana. Lalu berpindah ke dinding di mana di sana terdapat papan yang berisi beberapa lembar berita serta penghargaan.

Sosok penghuni kamar tampak mulai menggeliat di atas tempat tidur. Ia lekas membangunkan diri. Tubuhnya tidak langsung turun dan masih duduk di sana. Tangan kanannya menggosok matanya. Sesekali terdengar isakan kecil.

Mimpi itu lagi.

Air matanya menetes saat dirinya tidur tadi dan kembali keluar saat ingatan tentang mimpi itu muncul. Kepalanya menunduk dan pandangannya mengarah kosong ke selimut di hadapannya. Semenit setelah itu matanya beralih memandang pigura di atas meja belajarnya.

"Ibu, Ayah."

Diraihnya foto kecil itu dan diusap dengan lembut menggunakan jari jemarinya. Ditatapnya sendu sosok di dalam foto itu.

"Kapan kalian pulang, Yah. Aku kangen."

Lensa mata cokelatnya berkaca. Ia lekas memejamkan kedua matanya untuk mencegah air matanya terus mengalir. Air mata yang selama ini terpendam dan akhirnya keluar saat hati sudah tidak mampu lagi menampung rasa kerinduan dan kesepian yang mendalam.

Berdikarilah nak.

Dirinya tersentak saat suara itu teringang dalam kepalanya. Ia lekas mengembalikan foto itu dan beranjak menuju kamar mandi.

Dalam sekejap saja perasaan itu berubah menjadi rasa marah, kecewa atau rindu. Entahlah dirinya merasa bingung dengan emosi yang tengah menguasai hati saat ini. Tangannya sibuk membasuh wajahnya dengan air wastafel. Ditutuplah keran itu seraya melihat wajahnya di balik cermin. Wajah yang menyedihkan. Sorot mata yang sendu. Ada warna merah sedikit di sana tanda habis menangis.

*****

Sejak dirinya resmi menjadi penduduk tetap Pulau Rintis, dirinya tidak pernah lagi bertatap muka apalagi mendengar suara dari kedua orang tuanya. Tanggal 13 Maret, hari Bumi, maupun hari Raya sekalipun sampai umurnya menginjak empat belas tahun. Kedua sosok itu tidak pernah menampakkan batang hidung mereka. Hanya beberapa post card yang dikirim untuknya.

Dirinya sangat tahu diri bahwa keduanya sangat sibuk dengan pekerjaan. Namun, masa 24 jam dan menyisakan waktu lima menit saja untuk anaknya tidak sempat? Ke mana saja mereka? Apa orang tuanya sudah tidak peduli lagi dengan anak sendiri?

Diembuskannya napas dengan kasar. Ditendangnya kerikil yang kebetulan ada di depan. Dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong jaketnya. Dirinya berjalan pelan seraya menikmati suasana pagi hari itu.

"Ayah, Ayah!"

Pandangannya beralih di mana di seberang jalan ada seorang anak kecil yang merengek seraya menarik tangan kekar lelaki dewasa di sebelahnya.

"Aku mau es krim!"

Pemandangan itu mendadak berganti. Di mana ada dirinya di umur lima tahun bersama sang Ayah.

"Ayah, Ayah. BoBoiBoy mau es klim," rengek si BoBoiBoy kecil. Matanya dibesarkan dan ada air mata di sana.

"Iya, ya. Ayah akan belikan es krim untuk kamu. BoBoiBoy mau rasa apa?"

"Cokelat!" pekiknya riang.

"Baik. Pak, tolong es krim cokelat satu ya."

Terjadilah tukar menukar sebatang es krim cokelat dengan selembar uang pas. Lelaki itu menyodorkan es krim padanya yang langsung disambut sorakan gembira. Tanpa disuruh dua kali, dilahapnya es krim cokelat tersebut.

"Makannya pelan-pelan, BoBoiBoy."

"Dingin. Gigi BoBoiBoy sakit, Yah!" rengek si kecil seraya tangan kiri memegang pipinya.

"Makanya pelan-pelan makannya."

Sang Ayah berjongkok guna menjajarkan tinggi dengan anaknya. Mereka berdua tampak akrab satu sama lain. BoBoiBoy masa sekarang hanya melihat pemandangan itu dari jauh seraya tersenyum kecil. Kakinya kembali melangkah. Terus maju entah kemana dengan wajah yang separuh sembunyi di balik bayang poninya.

****

"BoBoiBoy!"

Terdengar teriakan kekhawatiran di tengah ledakan dan asap yang mengepul. Dirinya sudah tidak sanggup lagi. Pasrah dengan apa yang akan terjadi. Tubuh kecilnya melemah, semua kekuatan sudah dikeluarkan secara maksimal.

"Itu kemampuanmu?!"

Matanya yang sayu berusaha melihat sosok di depannya. Alien berbadan kekar dengan sabit besarnya. Aura alien itu tampak sangat menyeramkan dan kejam. Tubuhnya berusaha bangun dari posisi tengkurapnya, tetapi gagal. Diirinya sudah tidak memiliki sisa tenaga lagi. Alien itu kembali tertawa jahat seraya memanggul sabitnya.

"Sudah selesai? Membosankan. Kata mereka, kau superhero mampu mengalahkan tiga penjahat terkuat. Tapi sekarang? Mari aku antarkan kau menuju  kematian, BoBoiBoy!"

Sabit itu mulai diayunkan membuat teriakan kembali terdengar memanggil namanya. Sang korban hanya memejamkan matanya menanti serangan tersebut.

"Bangunlah BoBoiBoy."

Dirinya tersentak mendengar suara itu. Suara yang membangun perasaan itu kembali meluap.

"Maafkan Ayah, Nak."

Sosok di depannya tengah menahan sabit musuh dengan satu tangan. Warna merah yang familiar dengan jubah hitam.

Antologi KEB 2022Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang