Memory (2)

425 75 11
                                    


"Ka Hali," panggil Taufan masih tersenyum. Bukan sebuah senyuman ceria seperti dulu, melainkan jenis senyuman dingin.

Halilintar terdiam waspada. Rasa sakit di tubuhnya yang terluka perlahan mulai menghilang. Lukanya Seperti menyembuh dengan sendirinya. Lalu ia terperanjat saat merasakan tubuhnya diangkat dari tanah. Taufan menahan tubuhnya dengan salah satu tangan.

"Kau tahu apa kesalahanmu?" tanya Taufan dengan ekspresi datar. Sepasang mata birunya berkilat penuh kebencian.

"Tidak ingat?" Taufan berdecak kesal. Lalu tanpa diduga dia memberikan serangan berupa pukulan yang berhasil melukai pelipis Hali. Kemudian Hali dapat merasakan cairan hangat kental meluncur turun melewati sisi wajahnya.

Taufan pun kembali berceloteh. "Dulu aku memang benci dengan kehadiran bocah itu. Tapi bukan berarti kau harus membunuhnya, kan ka Hali?"

Hali tak membalas apa-apa. Ia terdiam mematung. Membunuh? Sejak kapan ia melakukan perbuatan keji itu?!

Kata-kata membunuh dari Taufan mempengaruhi pikirannya. Halilintar tercenung ketika sebuah memori terngiang dari kepalanya. Sekelebat bayangan berupa tubuh kecil yang penuh darah dan terpotong-potong tak beraturan. Tubuh kecil dari salah satu adiknya. Thorn ....

Yeah, Hali baru mengingatnya. Saat itu ...

..
.

..

Halaman depan tempat penitipan anak atau sebut saja daycare itu tampak luas dan indah.

Halilintar diperintahkan Amato untuk menitipkan Thorn di daycare tersebut karena Hali berniat melanjutkan sekolahnya di sekolah umum. Otomatis ia tidak bisa mengurusi Thorn lagi ketika jam sekolah berlangsung. Tadinya Amato yang berniat menitipkan Thorn, akan tetapi pria itu terlalu sibuk. Jadilah Hali yang melakukannya. Ia juga mengajak Gempa. Sedangkan Taufan sudah sempat diajak juga, namun bocah itu sedang ngambek.

"Tempat ini terlihat menyenangkan. Thorn pasti betah." Gempa memulai pembicaraan. Dilihatnya ekspresi skeptis si lawan bicara yang sedari tadi hanya diam saja. Begitu pun dengan anak kecil yang disebut sebagai Thorn dalam gendongan Halilintar. Anak itu sepertinya sangat lengket dengan Hali. Sedari tadi Thorn hanya memeluk erat leher kakaknya itu seperti seekor koala.

"Apa kau khawatir, ka Hali?" tanya Gempa kemudian.

Hali hanya terdiam untuk beberapa saat. Mengelus surai Thorn digendongan lengan kirinya, sebelum kemudian berkata, "Entahlah, Gem."

"Kurasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Di sini banyak anak-anak lain yang akan menemani Thorn untuk bermain. Juga akan ada seorang pengasuh yang menjaga anak-anak."

Hali terdiam. Melirik Thorn yang tampak tidak nyaman berada di tempat tersebut. Halilintar dapat menangkap banyak keraguan, bingung dan rasa takut yang terpancar dalam bola mata anak itu. Terbukti dengan betapa eratnya Thorn memeluk lehernya.

Semenjak ia mengasuhnya, Thorn jadi tidak mau jauh-jauh darinya.

Meskipun begitu pada akhirnya Thorn tetap dititipkan di tempat tersebut.

...
.

Usai kegiatan sekolah berakhir, Hali langsung tancap gas menuju daycare untuk menjemput si adik yang paling kecil.

"Kakaaak!" Thorn berlari dan menerjangnya segera dengan sebuah pelukan erat. Raut wajahnya begitu berseri-seri melihat kedatangan sang kakak.

Hali pun langsung menggendongnya. Senyuman bahagia Thorn menular padanya.

"Adikmu cepat akrab dengan teman-teman barunya. Meski pada awalnya ia terlihat diam saja, namun pada akhirnya Thorn ikut bermain," ujar salah satu pengasuh di sana.

Awalnya semua tampak baik-baik saja, sebelum kemudian suatu ketika Hali pulang terlalu sore. Dan saat berniat menjemput Thorn, anak itu sudah tak ada di mana pun. Di rumah juga tidak ada.

"Kita harus lapor ke kantor polisi kak!" Gempa memberi sebuah saran yang langsung ditolak oleh Hali.

"Gak bisa. Aku akan mencarinya dulu," kata Hali mulai cemas.

Sedangkan Taufan diam saja. Setengah hatinya merasa lega tak mendapatkan kehadiran anak kecil yang telah mengambil seluruh perhatian kakaknya itu. Namun di lain sisi, Taufan juga merasa khawatir. Setidak sukanya Taufan terhadap Thorn, tetap saja Taufan tak boleh merasa senang di situasi seperti ini.

"Kabari ayah saja, kak," ucap Taufan pada akhirnya.

Dan lagi, Hali malah menggeleng. "Ayah sibuk."

Setelah itu, Hali pun pergi mencari Thorn lagi. Gempa diam-diam menelpon Amato. Hanya saja, benar apa kata Hali. Teleponnya bahkan tidak diangkat. Ponsel ayah mereka sulit sekali tuk dihubungi.

"Gempa, kamu tetap jaga dirumah ya. Aku akan menyusul ka Hali!!" Tak perlu menunggu jawaban Gempa, Taufan langsung berlalu pergi.

Berjam-jam ke sana kemari, Thorn tak kunjung ditemukan. Hingga akhirnya Hali menemukan keberadaan Thorn.

Halilintar terbelalak. Diantara sekumpulan pria-pria pemabuk, Thorn ada di sana. Dalam keadaan yang mengenaskan.

Adik kecilnya itu masih hidup, namun tampak ketakutan. Rupanya Thorn mengalami pelecehan.

Singkat cerita, setelah dibawa pulang, Thorn mengalami gangguan mental. Bocah itu terus saja mengigau ingin mati dan sering melamun, hal itu sukses membuat Hali ikutan frustasi. Di saat seperti ini Ayahnya masih saja tak bisa dihubungi.

"Aku mau mati saja. Aku mau pergi ke tempat ayah dan ibu," gumam Thorn di tengah malam. Halilintar sudah sangat lelah. Dia tak dapat tidur akhir-akhir ini.

Hali menunduk muram. Saat itu ia selesai mengupas kulit apel untuk Thorn.

Sayangnya, Thorn menolak. Menepis piring berisi buah apel yang sudah dikupas dan dipotong-potong kecil. Piringnya sampai pecah, berserakan di sekitar Hali yang tampak tak berniat tuk membereskannya.

"Aku ingin pergi ke tempat ayah dan ibu," gumam Thorn lagi dengan tatapan kosong.

Halilintar masih terdiam. Salah satu tangannya mengepal menggenggam sebuah pisau buah.

Kemudian Hali mendongak. Dengan rasa lelah yang dialaminya selama mengurusi anak itu, pikiran Hali menjadi kacau. Maka semakin dieratkan genggaman pisau ditangannya.

"Thorn ingin pergi?" tanyanya kemudian.

Thorn mengangguk. Setelah itu Hali memberikan seulas senyum tipis yang suram. Pisau di tangannya terangkat. "Baiklah, aku akan mengabulkan keinginanmu."

Dan begitulah..
Hali benar-benar melakukan perbuatan yang salah di malam itu. Tanpa diketahuinya, ada Taufan kecil yang melihat perbuatannya dari sela-sela pintu kamar yang terbuka sedikit.

...
.

..

"Sudah ingat bukan?" Taufan melanjutkan. Seulas seringai sinis tercipta dari sudut bibirnya.

Hali menunduk muram mengingat memori tersebut. Ia baru menyadari kalau dirinya adalah seorang pembunuh.

Kemudian Hali terkekeh. Pancaran sinar matanya menjadi gelap. "Kau benar."

Kemudian Hali mendongak. Memperlihatkan ekspresi datar. Ekspresinya berubah menjadi lebih dingin.

Bagaimana bisa dirinya lupa dengan ingatan tersebut? Ia adalah seorang pembunuh.

Splash!!
Sebuah pedang panjang berbentuk kilatan petir menancap di antara Taufan dan Hali.

Halilintar menoleh. Dari kejauhan sana, Reverse berseringai senang. Tampak puas melihat perubahan Hali. Reverse pun bilang, "Lakukan. Bunuh monster itu seperti kau membunuh adikmu."
















.



.

TBC

Dark DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang