Labirin

166 17 18
                                    

BoBoiBoy milik Animonsta Studios
.
Sebuah prompt dari MurasakiDokugi1609
yang ditulis dan diedit oleh DekaAnderskor
.
.
.
Labirin
.
.
.

Napas tersengal-sengal. Aku mendadak jatuh di tengah pelarian kami, sementara Taka menarik pergelanganku, tetapi sungguh, aku lelah. Sahabat sepenanggunganku itu kemudian mengangkatku dari ketiak. Menampar pipi kananku sekali.

"Kau jalan atau mati tenggelam di perut rawa itu. Kau pilih yang mana, Sa." Dagu Taka terangkat, menunjuk sosok besar di belakang kami.

Meringis dengan suara patah-patah. Masih kusempatkan cengar-cengir kuda di hadapan rambut sapunya.

"Pilihkan untukku."

"Berarti mati."

Kendatipun begitu, Taka tetap memapahku tanpa ampun. Rasanya sia-sia, mengingat monster rawa yang entah keluar dari laboratorium mana sudah mulai mendekat. Entah ke mana pula Taka menyeret tubuhku. Diriku hendak mati rasa.

Sedari tadi menunduk, begitu kudongakkan kepalaku, terkejut rasanya. Taka bodoh atau bagaimana? Jelas-jelas di hadapan kami sekarang adalah gedung besar dan tiinggi. Dia benar-benar serius soal membunuhku? Aku menoleh cepat pada Taka yang ternyata sudah menatapku dari ujung mata.

Namun, Taka mengangguk. Baiklah, dia cerdas, dia tahu apa yang dia lakukan.

Kami benar-benar berhenti di dalam gedung tadi. Taka menyandarkan tubuhku pada tembok. Kukira kami sudah sedikit lebih tenang, tetapi ternyata setelah kuperjelas lagi pandanganku, tidak. Taka, kau tidak waras. Namun, aku seperti orang mati bernapas sekarang, saking lelahnya. Atau jangan-jangan aku terluka.

"Hei, kenapa rawa itu perlu menelan peralatan rias wanita?" Taka sungguh memaksaku sadar dengan pertanyaan aneh.

Aku meliriknya sebentar saja sebelum menutup mata lagi. "Agar ia bisa terlihat cantik dari dalam."

Baru setelah itu kurasakan Taka yang menyeret tubuhku lagi. Tepat ke arah labirin bertembok tinggi. Aku tahu itu labirin, kami sudah memutarinya lima menit dan Taka terus saja menemui jalan buntu.

"Jalanlah terus ke kanan, begitu aturannya," usulku asal.

"Kalau idemu berhasil, kau boleh dapat kuda mainan esok senja." Taka mendengarku meringis. "Kasa, kau terluka?"

"Kakiku mati rasa."

Dengan ini resmi sudah perpisahan kami. Taka kupaksa pergi duluan, mencari jalan di labirin tak berujung ini, sementara aku menunggu. Dia lantas menampar pipi kiriku sekarang.

"Kau jalan. Kita tidak berpisah di sini."

"Kenapa?" Kurasa rawa itu punya semacam racun yang dapat membuat tubuh jadi setengah hidup.

"Karena kau sahabatku."

Aku tersenyum. "Kata-kata yang manis sekali. Di waktu yang sangat tidak tepat! Taka!"

Tanganku menunjuk monster rawa yang kini sudah memasuki labirin. Lantas saja Taka membawaku menyusuri labirin. Terus belok kanan, apa pun yang terjadi. Tentunya, usulanku membawa kami ke jalan buntu.

"Kita terjebak!"

"Tunggu, kita coba hancurkan ini." Taka mulai memungut beberapa kerikil.

"Apa?"

"Jantung."

Aku melihat ke sekeliling. Jantung, benar. Ada sesuatu yang berdetak seperti jantung, tertanam di dalam dinding. Aku memandang Taka horor.

"Kita tidak tahu ini apa!"

"Aku juga tidak!"

Namun, monster tadi mendadak meluncur dari lorong labirin. Persis di sebelah kami. Aku dan Taka buru-buru memungut apa saja yang ada di sana. Kami berdua berdiri di tengah-tengah lorong, menunggu si Rawa menampakkan diri dari ujung sana.

Makin ditunggu, makin aku bisa mendengar Taka yang gelisah dalam bernapas. Kami yang berdiri saling membelakangi membuatku sulit melihat apa yang terukir di wajah Taka sekarang.

"Menurutmu kita bisa?"

"Tidak," balas Taka, enggan terdengar.

Akhirnya aku menoleh. "Kenapa kau tiba-tiba pesimis begini?"

"Kita bisa apa?" Dia memutar bola mata. "Kita hanya pemulung cilik di planet super kaya, makan sehari saja belum tentu bisa, apalagi melawan monster setinggi tiga meter itu."

"Kita punya ini, Taka." Aku menepuk dadaku.

"Bulu dada?"

"Bukan!" Bahunya kudorong sedikit. "Keberanian."

"Ya kau terlalu optimi—"

Kalimat Taka terpotong oleh hancurnya dinding labirin, tepat di belakangku. Kami lantas berlari sedikit menjauh dan mulai melempari makhluk itu dengan beragam jenis barang di sana. Kerikil, tanah, air rawa, ayolah, apa saja. Kemudian aku berhenti karena mati rasa itu merambat ke tanganku.

Taka bersikap heroik dengan berdiri depanku. Kami kehabisan amunisi, celaka. Namun, lebih celaka lagi ketika atap gedung tiba-tiba mulai bergetar. Aku yang tak sengaja melirik ke arah jantung di tembok mulai merinding. Jantung itu berteriak kesakitan.

Tanganku menarik ujung celana Taka, membuatnya melotot marah. Hei, aku tidak bermaksud jahat.

"Gendong aku dan ayo lari, rambut sapu!"

"Kau berat!"

Begitu perdebatan kecil itu selesai, maka dengan berpegangan erat di belakang punggung Taka, kami menyelamatkan diri. Reruntuhan mulai tampak. Kami seperti tokoh utama dengan plot armor tebal, berlari melewati langit-langit yang berjatuhan. Tempat itu gelap sekali dan baru terasa terang ketika benar-benar runtuh.

Intinya, kami selamat. Tubuhku langsung terlempar karena kaki Taka tersenggol batu. Aku pun jatuh telungkup lalu tersungkur dengan tanah di mulut. Sabarlah, Hangkasa, sabar.

Kumuntahkan kembali tanah serta pasir yang nyaris tertelan lantas membalikkan badan, mendapati Taka yang ternyata sudah berdiri di sampingku. Tangannya yang terulur kutangkap bak ikan meraup kail di pancingan. Kutepuk-tepuk seluruh bajuku, mencoba menghilangkan sisa tanah yang menempel.

"Jadi, kau benar-benar tidak ingin dibelikan krim penumbuh rambut?" adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya. "Oh dan kau tidak mati rasa lagi?"

"Mungkin karena monster itu sudah mati," balasku sambil terduduk kembali. "Lagi pula kalau kau tidak menolongku, mungkin kau akan jadi pemulung cilik sebatang kara."

"Bilang saja terima kasih."

Bibirku terangkat, tersenyum. Mungkin Taka bukan sosok termanis yang pernah kutemui, malah mungkin yang paling menyebalkan. Dia sering mengeluh sulitnya hidup di bawah sini, tetapi setidaknya dia tak pernah benar-benar meninggalkanku sendiri seperti pemulung cilik lain.

Ya. Begitulah yang kuharapkan.

Meskipun bertahun-tahun kemudian kami benar-benar berpisah karena ketamakannya dan keidealisanku.

Antologi KEB 2022Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang