Keputusan yang Berat

367 9 6
                                    

Sudah hampir tengah malam. Rumah besar bercat biru muda itu terlihat sepi. Beberapa hari yang lalu, rumah itu memang tampak ramai. Setelah mendengar berita duka dari salah satu pemilik rumah, banyak orang berdatangan termasuk para tetangga, sanak saudara, relasi kerja untuk berziarah.


Aqeela. Gadis itu termenung menatap langit. Hampir dua jam lebih ia berada di balkon kamarnya. Sendiri. Hanya berteman angin malam yang mulai mendingin dan suara satu-dua kendaraan yang melintas jalan. Ia menghela nafas. Menerawang jauh ke langit malam. Apa yang sedang dihadapinya sekarang mungkin tidak semudah orang menilainya. Ia sendiri juga tak tahu, kenapa Dia mengambil seseorang yang teramat penting baginya begitu cepatnya.


"Ayah.." Gumamnya lirih. Beringsut dari kursi kayu kecil terbuat dari jati menuju pagar pinggiran balkon. matanya kembali menerawang ke langit. Tangannya menjulur hendak menggapai gemintang dari atas sana. Kerinduan nampak sangat jelas dari pancaran matanya. Semakin lama, dua bola mata itu mulai terasa panas. Tidak dapat tertahan lagi. Sampai akhirnya butiran-butiran air bening menetes lembut dari kedua matanya.


Dua pekan sudah, setelah kepergian sosok penting dari kehidupannya dan keluarganya. Dan semenjak itulah semua mulai berubah. Ia yang dulu ceria, energic dan pering kini berubah menjadi gadis pemurung. Banyak waktu dihabiskannya dengan melamum. Mungkin karena kepergian sosok penting yang begitu mendadak baginya. Terlalu cepat ayah meninggalkannya. Belum sempat ia menjadi apa yang ayah mau. Belum sempat ia membuat ayah terseyum, bangga. Belum puas ia berada di pelukan ayah. Belum..


"Ayah sedang apa disana? Aku rindu ayah." Gumamnya lagi semakin terisak. Dalam hati tak henti-hentinya ia mengutuk dirinya sendiri. Andai saja ia tahu betapa ayah sangat menyayanginya. Andai saja ia sempat. Tapi sayangnya semua itu hanya tinggal penyesalan. Ia sudah terlambat. Ya, penyesalan memang selalu datang terlambat


"Qiqi, kamu belum tidur sayang?" Suara lembut dari tangga kamar mengejutkan gadis itu. Wanita yang hampir berkepala empat itu sudah berdiri tegak dengan piyama berwarna cream kesayangannya.


Menyadari kehadiran bunda, Aqeela segera mengusap air matanya. Ia tidak ingin bunda tahu dan membuatnya menjadi semakin sedih. "Bunda, kenapa belum tidur juga?"


Bunda tidak menjawab. Malah menatapnya semakin lekat. Aqeela mulai takut. Jangan-jangan bunda tahu apa yang sedang difikirkannya saat ini. Ia takut bunda akan bersedih. Ia tidak ingin melukai orang yang sangat berarti di hidupnya untuk kedua kalinya.


"Bunda cuma ingin memastikan, kamu sudah tidur apa belum. Dan ternyata..." ucapan bunda terhenti. Mengamati sekeliling kamar. "sudah malam sayang, sebaiknya kamu cepat tidur." Ucap bunda sambil mengelus lembut rambut Aqeela yang hitam dan panjang.


"Bunda.." Aqeela beringsut. Memeluk bunda.


"Iya, kenapa sayang?" bunda manatap Aqeela. Wajahnya yang lembut tersenyum menunggu kelanjutan ucapan putrinya.


"Aku..." kata Aqeela terhenti. Aqeela tak tahu apakah ia mampu bertahan atau tidak dengan keputusan yang dibuatnya ini. Tapi, keputusannya kali ini akan ia lakukan demi ayahnya. Demi membuat ayah bangga, walaupun pria yang sangat ia cintai itu tak akan mampu lagi melihat pengorbanannya.


"Aku ingin melanjutkan sekolah ke pesantren, Bund." Lajut Aqeela terbata-bata.


AQEELAWhere stories live. Discover now