O3. Ta dan Barcode

632 88 4
                                    

“Tuan Tinnasit.” akhirnya setelah menunggu sekitar 6 atau 7 menit nama Barcode dipanggil.

Ta yang mengendong Tuan Tinnasit bergegas ke ruangan yang suster itu tunjukkan sedangkan Jeff malah sibuk duduk tidak berniat untuk mengekori Ta sebagai kakak tertua.

Dasar.

Ta menghela nafasnya kasar, Jeff ini memang minta dipukul kepalanya jika bukan kakak tirinya sudah Ta geplak kepala itu daritadi kemarin. Barcode sakit kan gara-gara dia. Cih menyebalkan.

Pria yang akan Ta sebut Dok itu mempersilahkan wali dan pasiennya untuk duduk, sembari melihat Barcode yang semakin mengeratkan genggamannya pada kemeja milik Ta.

“Sore.” sapa dokter itu.

Ta tersenyum ramah sebelum menyapa kembali sang dokter, “Sore Dok.”

Selama Ta berkonsultasi dengan dokter anak tersebut Barcode terus saja menenggelamkan wajahnya di dada yang lebih tua, merasa takut melihat orang berjas putih itu akan menyuntikkan obat aneh yang bisa merubahnya menjadi zombie seperti di kartun yang sering dia tonton.

Saat dokter mengeluarkan stetoskop yang akan ditaruh di dadanya dan Ta hendak membaringkan tubuh kecil Barcode, dia memberontak.

“Barcode, ngga boleh gitu lho. Ga malu diliatin sama pak dokter, tuh liat.”

“Ndaa mauuuu!!!”

Haduh. Mulai lagi.

Dokter tampan itu bisa-bisanya malah tertawa dan bertanya, “Istrinya di mana kak?”

ISTRI? ISTRI DIA BILANG?

“Aku kakaknya dok.”

****

Ta keluar dari ruang pemeriksaan, puluhan mata tertuju padanya, Ta rasa ruang tunggu beberapa menit yang lalu tidak seramai ini. Dia benar-benar malu dilihat oleh puluhan orang tua dengan anak-anak mereka dari berbagai kalangan umur. Jeff yang hari ini kerjaannya hanya menunggu dan menunggu akhirnya dia malah melihat Barcode yang menangis sesenggukan didalam gendongan Ta, lagi.

Kenapa Barcode suka sekali menangis sih? jujur Jeff heran.

Ta mengelus-elus punggung kecil adiknya, “Kak, kita nunggu sebentar lagi gapapa? obatnya lagi disiapin.”

Jeff membuat gestur tubuh bahwa dia menyetujui hal tersebut.

Ta duduk disamping Jeff, remaja itu terus saja berusaha menenangkan Barcode.

“Kenapa dia nangis?” tanya Jeff.

“Tadi mau dicek sama dokter pake stetoskop, dianya malah nangis,” jelas Ta, mengecup jari-jari mungil Barcode, “udah ah 'Code, jangan nangis terus. Ga capek?”

Cup, cup, cup. Ta kembali mengecup pipi gembul Barcode.

Barcode yang awalnya menangis menjadi terkikik-kikik geli dengan semua kecupan dadakan yang Ta berikan.

“Tuan Tinnasit.”

Ta hendak berdiri mengambil obat Barcode, tetapi Jeff menahannya. Menarik lengannya kembali duduk. Menepuk pelan kakinya dan berkata, “Biar aku yang ambil, diem di sini.” oke, Ta mengangguk.

Selesai menerima obat dan membayar admistrasi, Jeff dan Ta kembali ke mobil.

“Habis sudah uang jajan bulananku.” Jeff mengeluh. Meskipun, dari keluarga berada uang jajannya tidak yang seperti orang-orang kira.

Satu kejadian membuat uang jajan bulanannya dipotong hampir setengah dari yang seharusnya karena Jeff terus-menerus membeli barang yang tidak berguna, membuat sang ayah marah.

𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑𝐇𝐎𝐎𝐃, 𝗃𝖾𝖿𝖿𝗍𝖺Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang