Oleh : Oktana Tirta Yaomaesa
Langit senja berubah kelabu, menggantung di atas kota yang ramai namun terasa sepi di hati Hana. Deru hujan deras memecah keheningan di dalam dirinya, namun tidak mampu membasuh luka yang menganga. Di bawah atap halte bus yang basah, Hana merapatkan jaketnya, seolah berharap dingin dari hujan bisa memadamkan panas yang membara di dadanya. Tetes air membasahi wajahnya, entah dari hujan atau air mata, ia tak lagi peduli. Rasanya sudah terlalu banyak yang tumpah hari ini.
Lima tahun berlalu sejak perpisahan itu, tapi ingatannya masih tetap hidup, seakan-akan baru kemarin. Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan, ia hanya membuat kenangan kian menyesakkan.
Di suatu malam seperti ini, dulu ia dan Rangga sering duduk berdua di sudut kota, memandang langit yang sama. Ia ingat betul bagaimana senyuman Rangga mampu menghangatkan malam terdingin sekalipun. Wajah itu, senyum itu, pernah menjadi dunia bagi Hana, tempat di mana ia merasa aman dan diterima. Namun sekarang, setiap kali ia memikirkan Rangga, hanya ada kehampaan yang menggerogoti hatinya.
Hana tahu semuanya telah berakhir ketika ia melihat pesan terakhir itu. Kata-kata singkat yang membunuh segalanya: "Kita tidak bisa bersama lagi." Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Rangga menghilang begitu saja, seperti bayang-bayang yang ditelan malam.
Hana tidak pernah mendapatkan jawaban. Mengapa cinta yang mereka bangun dengan susah payah runtuh begitu saja? Mengapa janji-janji yang mereka buat hancur dalam sekejap? Mungkin Rangga telah menemukan kebahagiaannya sendiri, atau mungkin dia takut pada cinta yang begitu dalam hingga tak sanggup ia bawa lebih jauh.
Waktu berlalu, dan Hana berusaha untuk melanjutkan hidup. Ia mencoba menemukan kebahagiaan di hal-hal kecil—membaca buku, menonton film, atau menulis puisi yang tak pernah ia kirimkan. Namun setiap kali hujan turun, kenangan tentang Rangga kembali menghantamnya, seolah-olah alam semesta ingin mengingatkan betapa dalam luka itu.
Hari ini, di tengah rinai hujan yang semakin deras, Hana berdiri di tempat yang dulu sering mereka kunjungi. Tempat di mana segala tawa dan canda pernah menggema. Ia menatap jalanan yang sepi, merasakan dingin yang menjalar hingga ke tulang. Ada perasaan yang tak pernah benar-benar hilang, perasaan yang tetap tinggal meski orangnya sudah lama pergi.
Rangga pernah bilang, “Hujan itu membawa kenangan. Tapi kadang, kenangan itu yang bikin kita sulit bergerak maju.”
Hana tertawa kecil, getir. Ironis, bukan? Kini ia terjebak dalam kenangan itu, tak pernah benar-benar bisa keluar. Di dalam dirinya, masih ada doa-doa yang tak pernah terkabul, pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Dengan langkah perlahan, Hana meninggalkan halte bus itu. Hujan masih turun, tak henti-hentinya. Namun, kali ini ia tidak mencari tempat berteduh. Hana membiarkan dirinya basah oleh kenangan yang tak bisa ia hapus, seperti tetes hujan yang terus jatuh tanpa jeda.
Mungkin, ia pikir, beberapa luka memang tidak diciptakan untuk sembuh. Mungkin beberapa cinta memang diciptakan hanya untuk berakhir. Dan mungkin, beberapa perasaan tidak pernah benar-benar bisa dilupakan, meski kita ingin.
Dan di tengah hujan yang tak kunjung reda, Hana akhirnya memahami satu hal: perpisahan tidak selalu tentang kehilangan, tapi tentang bagaimana kita berdamai dengan luka yang tak akan pernah pulih.
Ia berjalan semakin jauh, menghilang di bawah langit kelabu, meninggalkan jejak yang perlahan pudar bersama air hujan.
Namun di hatinya, kenangan itu akan tetap abadi, seperti hujan yang selalu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Naungan Renjana
Short StorySEBELUM BACA, FOLLOW, KOMEN, DAN VOTE TERLEBIH DAHULU YA!