Masa muda Utari tidak seperti layaknya anak muda seusianya. Ia hamil di luar nikah ketika kelas tiga SMU. Wajah cantik serta tubuh yang menarik di usia remaja, membuat banyak pemuda yang menyukainya. Ia merasa bangga dan tersanjung. Sudah tidak terbilang lagi mantan pacarnya yang harus patah hati karena ditinggal Utari dengan pacar baru.
Perilaku Utari membuat prihatin kedua orang tuanya. Berulang kali ia mengingatkan Utari akan sikapnya, tetapi tidak pernah ditanggapi oleh Utari.
Hingga di suatu ketika Utari ketahuan hamil dengan pacarnya. Padahal kurang dari tiga bulan lagi ia akan melaksanakan ujian SMA. Hal ini membuat murka kedua orang tuanya.
Untuk menutupi aib keduanya dinikahkan dan Utari tinggal bersama keluarga suaminya. Seno, suami Utari belum mempunyai pekerjaan tetap. Ia layaknya pemuda pengangguran yang senang nongkrong dan bekerja serabutan kalau ia mau.
Berada dalam keluarga mertua yang tidak merestui hubungan mereka membuat Utari tidak nyaman. Apalagi dalam keadaan hamil yang emosinya tidak stabil membuat Utari makin tertekan. Ia ingin kembali ke orang tuanya, tetapi mereka tidak mau menerimanya kembali. Kekerasan dalam rumah tangga terkadang ia terima.
Puncaknya adalah ketika lima bulan setelah melahirkan ia menggugat cerai dari Seno karena ayah Sania itu ketahuan berselingkuh. Gugatan cerai yang tak ditanggapi Seno maupun keluarganya membuat Utari diam-diam pergi dari rumah membawa Sania.
Ia nekat mengambil uang mertuanya dan pergi jauh dari kota kelahirannya. Entah apa yang membuatnya melangkahkan kaki menuju Salatiga.
Di tempat baru Utari mengontrak satu kamar demi berhemat. Ia bekerja sebagai buruh mencuci baju untuk menopang hidup. Beruntung ada keluarga yang kasihan melihat keadaan dirinya yang mempunyai anak kecil. Utari langsung diterima ketika mencari pekerjaan.
Karena tidak terbiasa melakukan pekerjaan berat membuat Utari sering mengeluh dalam diam. Hingga suatu hari ia berkenalan dengan Tante Nely, tetangga baru di kontrakan.
"Tante kerja di mana? Kok berangkat petang pulang menjelang pagi." Siang itu ia sedang duduk-duduk di depan kontrakan dan mengobrol dengan Tante Nely.
"Biasa Tari. Kamu mau kerja seperti saya?"
"Kerja apa, Tante?"
"Kalau mau nanti malam ikut saja, dandan yang rapi."
"Anak saya gimana?" Utari mulai tertarik dengan pekerjaan Tante Nely.
"Bawa saja, gampang nanti bisa dititipkan."
Malam itu Utari ikut ke tempat kerja Tante Nely. Mereka menumpang kendaraan umum untuk sampai ke tempat kerja. Sebuah hotel yang tidak terlalu besar menjadi tujuan mereka. Hotel itu tidak begitu ramai. Terlihat dari kendaraan yang terparlir hanya ada tiga mobil. Bisa jadi karena hari itu bukan hari libur. Biasanya di hari libur hotel itu penuh dengan tamu yang bermalam.
"Hai, Nely bawa siapa?" tanya seorang lelaki yang menyambut mereka di lobi.
"Teman Om, ia cari pekerjaan."
Lelaki berperawakan sedang yang dipanggil Om itu menatap Utari dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Boleh nih," ucap lelaki yang mengenakan setelan kemeja biru motif kotak-kotak dipadu celana panjang denim.
"Ajak ke ruang saya dulu, Nel."
"Oke, Om."
Tante Nely mengajak Utari menuju ruangan yang bersebelahan dengan meja resepsionis. Mereka masuk ke ruangan yang cukup hangat dibanding dengan suhu di luar ruangan yang mulai dingin. Ruangan itu berisi seperangkat sofa serta sebuah lemari kaca berisi berbagai pernak pernik hiasan. Mereka duduk di sofa itu. Utari memangku Sania yang masih asyik dengan boneka mainannya.
Tak berapa lama lelaki tadi masuk diikuti OB yang membawa nampan berisi tiga botol minuman bersoda berukuran kecil.
"Jadi kamu cari pekerjaan." Lelaki itu menatap lekat Utari.
"Iya, Om." Utari sungkan dengan tatapan lelaki yang duduk dihadapannya itu. Sesekali ia menundukkan kepala atau mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
"Oh ya, nama kamu siapa? Sudah tahu apa pekerjaannya?"
"Saya Utari Om. Tante Nely belum menjelaskan ke saya tentang pekerjaannya."
"Pekerjaannya tidak berat, bahkan menyenangkan dan dapat imbalan lumayan. Iya enggak Nel?" Lelaki itu mengarahkan pandangan ke Nely yang sedang membuka botol minumannya. Nely mengangguk sambil tersenyum.
Mendengar pekerjaan yang tidak berat dengan imbalan lumayan membuat Utari tertarik. Selama ini ia merasa berat menjadi buruh mencuci dengan imbalan yang tak seberapa.
"Kamu cuma melayani tamu yang membutuhkan kehangatan tubuhmu," jelas lelaki dengan sisiran rambut rapi itu. Utari terkejut mendengar penuturannya.
"Bagaimana Utari. Kalau kamu mau malam ini bisa langsung kerja. Anakmu bisa dititipkan OB," lanjutnya.
Utari terdiam sejenak. "Tak apalah dari pada harus capai mencuci tiap hari," batin Utari.
Akhirnya Utari mengiyakan penawaran Om Fendy pemilik hotel itu.
"Nely, panggilkan Ratno." OmFendy menyuruh Nely memanggil Ratno yang tadi mengantarkan minuman.
Nely beranjak dari duduknya dan keluar ruangan. Tak berapa lama ia kembali bersama Ratno.
"No, ini anak Utari tolong dijaga selama ia menerima tamu." Ratno tak kuasa menolak tugas baru yang diberika atasannya itu. Menolak berarti ia akan kehilangan pekerjaan.
"Baik, Pak."
Utari menyerahkan Sania yang sudah tertidur dengan hati-hati takut terbangun.
"Tidurkan di ruangan istirahatmu."
"Baik, Pak. Saya permisi."
Ratno keluar ruangan sambil menggendong Sania. Sebuah panggilan masuk di handphone Fendy.
"Oke siap." Hanya itu yang diucapkan Fendy selama menerima telepon.
"Nely, langgananmu mencari."
"Oke, Om." Nely bangkit dari duduknya. Ia sudah paham dengan perintah Fendy.
Sepeninggalannya Nely, Fendy pindah duduk di samping Utari.
"Sudah siap kerja malam ini?" Lengan kekar itu merangkul pundak Utari. Awalnya ia merasa risih. Namun, lama kelamaan ia merasa nyaman bahkan ada sensasi lain yang ia rasakan setelah sekian lama tidak berdekatan dengan laki-laki.
Malam itu Utari menemani dan memberikan kehangatan tubuhnya ke Fendy. Bagaikan berada di gurun yang cukup lama, Utari mereguk kenikmatan seumpama mendapat minuman segar setelah lama berpanasan.
***
Tiba-tiba Utari tersedak saat menelan rotinya. Buru-buru ia meraih gelas minum dan meminum isinya. Sofia cemas melihat keadaan ibunya. Ia bangkit dan mendekati wanita yang masih terbatuk itu.
"Ibu tidak apa-apa?" Sofia mengusap lembut punggung ibunya sekedar membantu meredakan batuk Utari.
Kenangan masa lalu awal dirinya berkecimpung di dunia kelam menimbulkan penyesalan yang berkepanjangan. Apalagi mengingat sakitnya yang saat ini ia alami seolah balasan yang ia terima.
"Ibu istirahat sebentar ya." Utari beranjak dari duduk dan berjalan menuju kamar.
"Ya, Bu. Nanti habis zuhur aku mau ke ruamh Ningsih, Ibu enggak apa-apa sendiri?"
"Enggak apa-apa. Nanti panggilkan Yu Rahmi saja biar temenin ibu."
Yu Rahmi adalah tetangga belakang rumah yang sering diminta tolong menemani Utari atau membantu pekerjaan rumah tangga.
*bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Nista, Meraih Asa
RomanceSofia, seorang wanita karier yang sedang berada di puncak kariernya harus kandas kisah cintanya karena orang ketiga yang menghalanginya. Siapa sangka gadis yang meniti kariernya dari bawah dan mengadu nasib di Jakarta usai SMA ini dulunya akan "diju...