pagi ini hujan

13 2 0
                                    

|Jeongguk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

|Jeongguk

. . .


Pagi ini hujan.
Lagi.

Desember kali ini berbeda. Yang sama hanyalah rasa malas untuk memulai aktifitas. Biasanya kamu akan mengomel jika aku tak segera beranjak dari tempat tidur. Tapi biasanya juga, kamu akan menurut saja saat ku dekap hangatmu menjerat.

Kamu itu cerewet.

"Katanya dingin, tapi kok, pakai celana pendek?" Katamu saat aku pergi bergegas untuk mencuci muka.

"Kan, baru bangun. Malas ganti," jawabku jujur dengan pasta gigi belepotan di bibir.

Kamu itu cerewet.

Pernah sekali aku baru akan mencoba merokok —karena penasaran apakah benar bisa menghilangkan stres?— hingga kamu datang merebut satu batang lalu menyodorkan permen rasa mangga matang.

"Ngapain, kamu? Sudah bosan hidup?" Kamu bertanya dengan muka yang memerah marah.

Tapi kulihat matamu berair. Jelas, jelas sekali sampai rasanya ingin kupeluk lalu kubenamkan wajahmu pada dada agar aku tak melihat air mata itu luruh ke pipimu.

"Kalau kamu aja gak menyayangi tubuhmu, gimana bisa kamu menyayangi aku?"

Suaramu bergetar. Tanganmu yang terkepal erat perlahan terbuka lalu kamu gunakan itu untuk menutupi wajahmu. Saat itu aku tahu, yang harus kulakukan hanyalah meminta maaf lalu menarikmu dalam dekap. Tak perlu memberimu penjelasan bertele-tele yang menjengkelkan dan hanya membuat rasa kesalmu menjadi lengkap.

"I'm sorry, Jim ..."

Kamu itu cerewet.

Berhari hari aku habiskan waktu dengan memakan permen mangga. Saat membaca ulang series Ther Melian, saat menonton ulang serial Harry Potter, bahkan saat aku buang air besar pun, permen itu tak luput kubawa.

Seakan permen itu mengandung magnet tak kasat mata. Terlalu sayang jika ditinggal. Atau karena takut sang semut merebut. Karena semua pemberianmu berhak aku labeli barang berharga.

Hingga pada suatu hari aku mengeluh sakit gigi. Tidak banyak bicara dan mogok makan.

"Kamu, sih. Kenapa banyak sekali cangkang permen di kamarmu? Jadi sakit, kan, gigimu itu. Nanti aku buang saja permennya."

Saat itu aku menggeleng cepat, mungkin  terlalu cepat hingga kamu tidak sadar jika aku buru-buru menarik tubuhmu untuk kupeluk dari belakang —mencegahmu pergi. Padahal, kamu sendiri yang memberikan saran lebih baik mengemil permen saja daripada menyedot rokok.

"Gguk, maaf."

Pada akhirnya, kamu selalu meminta maaf. Bahkan pada sesuatu yang bukan ranahmu untuk meminta maaf. Kamu hanya tidak tahu, seberapa besar efek makanan manis berbentuk bulat itu, yang membuatku tanpa sadar menjadi lebih bersemangat untuk melakukan kegiatan di pagi hari.

Cukup mengagetkan untukku yang bahkan aku sendiri tahu jika aku tak pernah menyukai makanan manis. Kecuali yang satu ini.

Aku bangkit dari tempat tidur. Memperhatikan rinai hujan yang turun seperti berirama. Lalu aku ingat saat kita berdua melihat ke luar jendela, dengan selimut melilit tubuh kita. Mungkin saat itu sangat dingin hingga kita tak beranjak sampai beberapa jam setelahnya. Mungkin juga, dinginnya sama seperti saat ini. Karena bulan Desember selalu dingin.

Tapi menurutku, Desember kali ini terasa lebih dingin. Karena hadirmu adalah salah satu hangat yang paling kugemari.

"Kalau bisa memilih dari dua situasi, lebih memilih kepanasan atau kedinginan?" Tanyamu random. Pertanyaanmu selalu menggelikan perut, agak lucu nyerempet konyol. Tapi aku selalu suka, selalu suka jika itu kamu.

"Aku lebih pilih dingin. Dan aku harap kamu juga bakalan memilih hal sama denganku."

"Kenapa dingin? Kamu bukannya alergi dingin, ya? Kemarin saja baru aku obati gatal gatal yang ada di lengan dan dadamu itu." Seperti biasa, kamu selalu bicara banyak dengan tangan yang menunjuk-nunjuk bekas gatalku, lucu sekali.

"Walaupun begitu, aku lebih tidak suka panas. Kalau dingin, kan, bisa pakai jaket, selimut, dan penghangat lain. Rasanya nyaman kalau hangat. Tanpa dingin, kita gak bakal bisa ngerasain kehangatan."

"Terus, kenapa kamu ngajak ngajak aku? Kalau panas juga, kan, bisa pakai kipas angin, atau berendam di air dingin. Kan? Kan?" Wajahmu selalu tampak antusias, dan aku tak akan pernah bosan untuk melihatnya.

"Kalau tidak ada air? Tidak ada kipas? Kamu mau telanjang, begitu?" Aku berniat menjahili.

"Heh!" Tinjumu pelan. "Kamu juga, kalau tidak ada jaket sama selimut, mau bagaimana? Menggigil kedinginan saja, begitu?" Kamu tidak mau kalah.

"Oleh karena itu aku minta kamu pilih hal yang sama. Agar aku bisa meminta kehangatan itu darimu. Bisa saja aku gak perlu jaket sama selimut, cukup dipeluk kamu saja," aku menaik turunkan alis bercanda, walaupun aku menjawab dengan sepenuh hati.

Tinjuan kembali kamu layangkan pada dadaku. Mungkin lama-lama posisi jantungku akan menggeserkan lambung, mengingat betapa seringnya kamu melakukan itu.

"Tapi serius, aku selalu gak enak kalau panas. Walau sudah pakai kipas, rasanya tetap tidak puas. Mau pakai angin seberapa kencang pun rasanya aku tetap tidak akan tahan jika kepanasan," aku mencoba menatap matamu saat itu, "tapi jika dingin, pakai selimut yang kurang hangat pun rasanya tetap nyaman. Apalagi jika berbagi selimutnya denganmu," aku tertawa kecil. Lebih tepatnya, mentertawakanmu. Wajahmu lucu jika memerah karena malu.

"Jeongguk, cukup."

Sehabis itu, kita lanjut bercerita tentang dingin, hujan dan bulan Desember. Bulan di pengujung tahun itu memang banyak menyimpan memori. Apalagi jika bulan-bulan sebelumnya kita disibukkan oleh pekerjaan, maka di bulan Desemberlah momen kita banyak tercipta.

Pintu depan tiba-tiba terketuk. Siapa kiranya orang yang berani keluar rumah dan tidak malas menembus hujan sederas rasa rindu malam pada sang bulan. Kulangkahkan kakiku enggan. Selimut masih kulilitkan pada tubuh. Tidak berniat melepasnya, bahkan saat mengetahui ada seorang tamu berkunjung pada kediaman.

Aku melihat sosokmu berdiri dengan jas hujan, dan senyuman secerah matahari pagi. Tanganmu menyodorkan sebuah undangan ulang tahun.

Ah, bagaimana aku bisa lupa ada seseorang yang berulang tahun hari ini.

"Nanti sore, jangan lupa datang, ya."

"Mendadak sekali tahu, kenapa tidak dari kemarin kemarin? Aku belum sempat mencari hadiah."

"Eh, tidak perlu hadiah. Kehadiranmu saja sudah cukup."

Kamu mengatakan itu seolah tidak ada beban, dan kamu masih saja manis. Kamu mungkin juga tidak menyadari di balik wajahku yang terlihat pahit —karena belum sempat mencuci muka sama sekali —aku masih menyimpan ribuan kagum pada sosokmu.

Kamu akhirnya pamit untuk pergi lebih awal —dan menolak untuk tinggal sebentar. Kamu bilang masih ada keperluan yang harus diurus, dan aku paham. Bukan hanya sebatas paham jika kamu sibuk. Tapi lebih paham dari itu, sangat paham.

Aku bukan lagi prioritas.



To be continued

Sweet regard, Ablue.
31 Des, 2022.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

hujan di penghujung tahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang