PROLOGUE

167 12 0
                                    

“Dipta!” panggilku pada anak sulungku.

“Iya, Ma?” ucapnya lalu datang menghampiriku, wajahnya tampan, persis dengan papanya.

“Udah sarapannya?”

“Udah, Ma.” Putra sulungku itu menjawab, kebiasaan Dipta memang sarapan di depan televisi.

“Gimana sama bekalnya? Udah dimasukkan ke dalam tas?”

“Udah juga, Ma. Semua beres,” jawabnya.

“Adik gimana?”

“Adik belum bangun,” jawabnya.

Hari ini seperti biasa aku menyiapkan makanan untuk suamiku diatas meja, menyiapkan secangkir kopi, segelas air putih dan sepiring cemilan diatas meja, agar nantinya ketika ia bangun, ia bisa langsung meminum air putih yang sudah aku siapkan. Aku tulus dalam melayaninya, karena aku mencintainya. Tak terasa pernikahan kami sudah 7 tahun, kami memilih dua buah hati yang cantik dan tampan, anak pertama kami adalah laki-laki yang kami beri nama Dipta Pangeran, usianya sudah 6 tahun, dan anak kedua kami, kami beri nama Asya Cahaya usianya baru 4 tahun.

Selama 7 tahun menikah dengannya, aku cukup bahagia, meskipun suamiku terkenal cuek dan dingin, namun aku bisa memahaminya, karena sikapnya dari dulu memang seperti itu, dingin dan cuek, juga tak banyak bicara.

Jenuh? Tidak. Aku tak pernah jenuh pada pernikahan kami, 7 tahun adalah 7 tahun yang baik-baik saja, 7 tahun yang cukup sempurna, yang menjadikanku dan menjadikan suamiku sebagai Ibu dan Ayah yang baik buat anak-anak kami.

Aku melihat jam yang melilit dipergelangan tanganku, aku harus mengantarkan Dipta ke sekolah. Suara ponselku terdengar, ada notif pesan whatsaap yang masuk, namun aku mengabaikan, karena aku harus menyelesaikan semua ini sebelum berangkat ke sekolah Dipta.

“Yui,” panggilku.

Oh iya, Yui adalah babysiter Asya. Dia bekerja untuk membantuku mengurus Asya, karena aku harus sibuk mengurus semua hal didalam rumah.

“Iya, Bu?” tanya Yui.

“Saya sama Dipta berangkat, kalau Asya bangun langsung dimandiin, diganti bajunya ya, karena saya harus menemani Dipta di sekolah, ada lomba di sekolahnya. Jangan lupa juga beritahu bapak kalau saya pergi mengantar Dipta. Semua udah siap, kamu kalau mau sarapan udah saya siapin di meja juga, tapi ada baiknya tunggu bapak bangun ya. Bentar lagi bapak bangun itu,” pesanku pada Yui.

Pagi-pagi aku memang akan sangat sibuk, karena harus mengurus Dipta, mengurus rumah dan terakhir menyiapkan sarapan, bahkan aku tak pandai lagi merawat diri seperti dulu, yang menjadi kepandaianku selama menikah adalah … mengurus suami dan anak-anak. Pekerjaan yang mulia, bukan? Aku sangat senang melakukannya.

Aku naik ke atas motor dan menyalakan mesin motor, lalu ku gunakan helm begitupun dengan Dipta, lalu Dipta menyusul naik ke atas motor, kami pun pergi.

Sekolah Dipta tak jauh dari rumah, jadi aku bisa pulang dulu, lalu datang lagi menjemputnya, hanya saja hari ini, Dipta ada lomba di sekolahnya. Dipta butuh aku seperti ibu temannya yang lain.

Semua ini ku jalani dengan ikhlas, aku tak pernah jenuh karena Ibu dan bapak di kampung pernah bilang kalau menjadi seorang istri, mengurus suami dan anak-anak adalah pekerjaan yang mulia yang pahalanya berlipat ganda, apalagi jika menjadi istri yang baik dan yang selalu mengurus suaminya sendiri, pahalanya berlipat ganda.

Kami tiba di sekolah, lalu Dipta di persilahkan masuk oleh gurunya, setelah itu aku duduk di salah satu kursi tunggu. Oh iya aku lupa mengecek ponselku, sejak tadi banyak notif whatsaap terdengar.

Pesan pertama dari Ibu di kampung. Lalu pesan kedua dari Ibu mertuaku yang menanyakan Dipta. Lalu pesan ketiga membuat mataku membulat penuh, aku gemetar, lututku solah-olah tidak bisa lagi menumpuh berat badanku, apa yang aku lihat didepanku seolah-olah seperti bayangan semata, dan bergerak begitu cepat.

(Kak, sebelumnya mohon maaf sekali jika aku mengirim pesan ini, namun aku udah capek disalahin sama keluarga, jadi aku mohon banget untuk menanyakan langsung pada suami kakak, tentang hubungan kami yang udah lama ini. Aku nggak mau disalahkan sendiri, karena yang berbuat adalah kami berdua. Tapi kenapa hanya aku yang di sebut pelakor dan semua kata-kata buruk itu.)

Pesan itu seolah-olah memporak-porandakkan hati dan jiwaku, semua hal yang sudah aku bangun runtuh seketika.

Resti namanya—sepupu suamiku yang baru mengirimkan pesan ini.

Aku menelpon nomor Resti, namun Resti sudah tak aktif, apa ia berusaha mempermainkanku?

“Mama Dipta, ada apa? Mama Dipta kelihatannya pucat sekali,” kata Ibu dari teman Dipta yang sekolahnya sama.

“Iya? Saya tidak apa-apa bu,” jawabku. “Bu, saya titip Dipta ya, saya harus pulang. Karena ada yang saya lupa di rumah.”

“Tentu saja saya bisa mengantarkan Dipta pulang, kan kita tetangga bu, saling bantu juga,” kata Bu Jenab—salah satu orangtua murid.

Aku mengangguk dan tersenyum, meskipun senyumku sudah tak sempurna, pagi ini aku menganggap pagi yang sama seperti biasanya, namun nyatanya aku dihancurkan oleh diriku sendiri dengan keterlenaanku selama ini. Aku harus menahan gejolak rasa sedih dan hancur didalam sana, harus ku tanyakan dan ku tuangkan pada Mas Wisnu, mengapa ada chat dari Resti seperti ini yang aku tahu adalah sepupu suamiku, hubungan mereka sangat dekat sebagai keluarga.

Aku naik ke atas motor, tangan dan bibirku gemetar, ucapan istigfar selalu keluar dari bibirku yang gemetar, aku harus kuat dan aku harus tiba di rumah dengan kondisi baik-baik saja. Aku harus menanyakan langsung pada Mas Wisnu.

Tak ada salahnya bertanya. Selama ini aku percaya pada suamiku, meskipun kepercayaanku akhirnya hancur. Ku pasang tembok tinggi agar tak ada yang masuk dalam pernikahan kami, nyatanya semua tak berjalan sesuai dengan keinginanku.

Airmataku luruh di terpa angin, satu tanganku menyeka airmataku, sementara satu tangan masih memegang gas. Aku harus kuat bukan? Demi anak-anakku. Meskipun pada akhirnya pernikahan 7 tahun yang ku anggap baik-baik saja, saat ini mendapatkan rintangan.

Aku tidak akan pernah menyerah.

Setibanya aku di rumah, ku lihat Mas Wisnu sudah berada di teras rumah. Ia sedang berbicara dengan seseorang, aku memandanginya, ini kah suamiku yang aku kenal? Bukankah dia sangat mencintaiku?

Meskipun kami menikah karena sebuah perjodohan keluarga, namun aku yakin aku bisa bahagia bersamanya. Kami juga sudah punya anak, kami sudah punya kehidupan yang layak. Ku temani dia dari 0, dari dia yang tak punya apa-apa kini berubah menjadi lebih baik. Bukankah tak masalah jika aku menuntutnya untuk mencintaiku?

Mas Wisnu melihatku dan langsung mengakhiri teleponnya. Siapa yang ia telepon?

"Dipta mana?" tanya Mas Wisnu dengan wajah tak bersalah.

Aku masuk ke dalam rumah, Mas Wisnu menyusulku dan aku langsung masuk ke kamar, aku menangis sesenggukan dan aku harus dengar sendiri darinya.

SELIMUT TETANGGA (ON-GO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang