Kilau 1

27 2 0
                                    

"Ayo kita pulang, sayang!" wanita berumur 52 tahun itu mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut.

"Aku masih ingin di sini, Ma. Mama pulanglah duluan sama Papa dan Danish," 

"Nggak bisa gitu, sayang. Kami semua nggak mungkin ninggalin kamu di sini sendirian," pria berumur 54 tahun itu ikut menimpali.

"Tapi bagaimana dengan Mas Evan, Ma? Aku nggak mau ninggalin Mas Evan sendirian, Ma." 

"Sayang, Evan nggak sendirian. Sekarang dia ada dalam penjagaan paling aman di semesta, dia ada dalam pelukan paling hangat yang pernah ada. Dia sudah kembali bersama pemiliknya yang sesungguhnya, sayang. Kamu nggak perlu khawatirkan apapun lagi," wanita yang disebut 'Mama' itu berujar lembut menenangkan.

"Mas Evan nggak akan sedih, Ma, kalau aku tinggalin sendirian?"

"Nggak, sayang. Evan justru akan bersedih kalau melihat kamu terus-terusan seperti ini. Dia pasti ingin kamu bahagia," perempuan muda itu mengangguk.

"Mas, aku pulang dulu, ya? Maafin aku nggak bisa temani kamu di sini, besok aku pasti datang lagi bawa bunga seruni kuning kesukaan kita. Aku pamit ya, Mas? Assalamualaikum." akhirnya perempuan yang baru saja kehilangan suaminya itu bangkit dari samping nisan kayu yang baru ditancapkan di pemakaman itu sore tadi. 

Dia adalah Oktarani Diratama, seorang perempuan berusia 25 tahun yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah dasar di ibu kota. Okta, begitu perempuan itu kerap disapa-- dia baru saja kehilangan suami yang telah menikahinya satu tahun belakangan ini karena sebuah kecelakaan tunggal. 

Okta hancur saat mengetahui kalau nyawa suaminya tidak tertolong. Malam itu, setelah acara tahlil malam pertama Evan. Okta, Mama, Papa, dan Danish-- adiknya berkumpul di ruang tengah. Dalam pelukan mamanya, Okta bertekad untuk bangkit dan melanjutkan hidup. 

Evan dan dirinya punya satu impian besar, yaitu mengabdikan seluruh hidupnya untuk pendidikan di Indonesia. Okta akan mewujudkan itu, meski kini dia berdiri sendirian. 

... 

"Bu Guru, Pak Guru, mobil cuma bisa sampai di sini, di depan nanti ada ojek motor yang akan antar kalian ke Desa Pugano." Pak Sopir yang membawa guru-guru itu dari terminal bus terakhir dari Bandara Yuvai Semaring memberi tahu kalau perjalanan mereka dengan mobil jeep ini harus berhenti di sini. 

Ya, setelah 40 hari meninggalnya Evan, Okta memutuskan untuk mengikuti program Mengajar Perbatasan* yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek. Kini Okta bersama tiga rekannya yang lain, Haris, Dewi, dan Lisna turun dari jeep hijau yang nampak kotor itu dengan menenteng koper masing-masing. 

Mereka berempat adalah guru-guru yang telah lolos seleksi dalam program Mengajar Perbatasan dan ditempatkan di Desa Pugano, Kalimantan Utara. Program tersebut memiliki masa percobaan selama 3 bulan, jika dalam 3 bulan itu mereka menyerah maka mereka bisa mengajukan surat pengunduran diri dan akan dipulangkan ke daerah masing-masing. Tentu saja tanpa mendapatkan sertifikat dari dinas pendidikan, tapi jika mereka memilih untuk tetap bertahan setelah 3 bulan pertama maka mereka akan mengabdi di sana selama 2 tahun. 

Kembali ke topik.

"Ojeknya yang mana, ya? kayaknya dari tadi saya nggak lihat ada ojek di sini," 

"Mungkin kita harus jalan sedikit lagi, Bu Lisna." timpal Haris. 

Mereka berjalan menyusuri tanah yang becek itu dengan rasa lelah, ditambah cuaca gerimis, dan mereka menenteng koper yang cukup berat.

"Bapak Ibu ini guru yang datang dari Jakarta mau ke Desa Pugano, bukan?" tanya seorang pria yang berusia sekitar 45 tahun. 

Kemilau Asa di Ujung DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang