dear diary,

1 1 0
                                    

Ujung balkon lantai tiga selalu menjadi tempat terbaik untuk melihat sesosok manusia yang ia puja. Aldzar namanya. Disana, angin berhembus dengan tenang dan orang - orang di bawah pun tak akan peduli dengan kehadirannya. Lengkap sudah, Aftalia dapat memandang Aldzar sepuas - puasnya. Terlebih dengan kosongnya keadaan di sekitar Aftalia, dia tak lagi khawatir publik akan tau siapa yang ia kejar.

Si pemilik senyum matahari, cerah nan bersinar. Aldzar adalah orang yang berhasil mencairkan sisi terdalam Aftalia yang membeku. Tidak berlebihan, sungguh. Aftalia bahagia dengan caranya mencintai dengan sederhana, tak apa meskipun ia terlalu lama menetap di dalam semu.

Senja hari ini terlampay indah, Aftalia ingin menangis rasanya.

Ia membuka buku kecil yang selalu ia bawa kemana - mana. Kembali membaca ulang tulisannya dahulu. Lucu. Gadis kecil yang tergila - gila pada sosok sempurna. Pemenang segala kategori pria, si aktif lagi berprestasi kegemaran semuanya.

Aftalia jadi sedikit puitis sekarang, tak menolak hasratnya ia pun membuka pulpen yang dibawanya.

_

"Hai lagi, pangeran VIP-ku. Bagaimana bisa kamu terlihat begitu cocok dengan jaket birumu itu? Biru adalah warna kesukaanku ia begitu tenang namun juga menyedihkan. Pernah sekali aku berfikir, apa yang akan terjadi apabila seseorang seperti dirimu tau tentang perasaanku? Itu tidak mungkin, aku terlalu malu. Biar saja buku ini menjadi saksi tentang semua rasaku."
_

Sebelum Aftalia pergi, dia melihat ke bawah sekali lagi.

Aldzar disana, sedang bercanda dengan temannya secara tiba - tiba menengadahkan wajahnya. Tepat ke arah Aftalia. Reflek ia langsung menyembunyikan tubuhnya di balik tiang. Jantungnya berdebar keras dan pipinya memanas. Ia mengintip sedikit ke arah bawah.

Disana, Aldzar sedang tersenyum kepadanya.

Indah, manis dan tampan bersamaan.

'Aldzar, aku suka kamu,' sungguh batin Aftalia ingin berteriak sekarang.

Aftalia memang seperti itu. Ia tak punya keberanian besar untuk berterus terang. Bahkan tidak pada teman terdekatnya. Ia hanya bisa menahan perasaan tercubit ketika ia tau orang - orang juga tertarik pada Aldzar. Sama sepertinya. Aftalia telah terbiasa memendam, entah sampai kapan.

Dia juga tidak punya kepercayaan diri yang kuat untuk berfikir mungkin saja Aldzar punya sedikit rasa padanya. Tidak mungkin Aftalia tahu itu tidak mungkin. Dia sadar posisinya, dia tahu apa haknya. Standar Aldzar terlalu tinggi untuknya. Dia jauh dari kata cukup untuk bersanding dengan Aldzar.

Meski keinginan Aftalia untuk mendekat kian membara, Aftalia bisa dengan lamban untuk memendam rasanya.

Tak apa Aftalia sudah bersyukur ada di batas ini. Fokus untuk menahan diri, membenahi hati. Melihat punggung Aldzar dan menanti. Menanti saat dia berbalik kepadanya, kepada Aftalia.

_

Aldzar menghilang. Aftalia pusing kepayang.

Sungguh padahal Aftalia hanya demam dua pagi, tapi setelah Aftalia pulih pun Aldzar hilang seolah pergi. Kesal, bingung, rindu, semua kesemrawutan Aftalia rasakan selama dua minggu. Ditambah kabar burung bahwa sang pujaan terbaring lemah di ranjang, makin - makin membuat Aftalia stres setengah gila.

Di pojok shaf terakhir masjid, Aftalia termenung dalam-dalam. Aneh, firasatnya sangat buruk fajar ini. Dia tidak tersenyum pada bintang berjajar yang biasa dia lihat setiap pagi. Pikirannya kosong, asli. Aktivitasnya terhenti, wajahnya pucat pasi. Aftalia merasa dirinya bukan manusia melainkan zombie.

I Love You So Much, I'll Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang