Sehabis Zuhur Sofia berangkat ke rumah Ningsih. Sebelumnya ia sudah membereskan rumah dan memasak buat makan siang dan makan malam. Sebelum berangkat, Sofia ke rumah Yu Rahmi untuk menitipkan ibu.
Sofia berjalan kaki menuju rumah Ningsih. Menyusuri jalanan yang dulu sering dilewati bagaikan menguak kenangan lama bersama sahabatnya. Tiba-tiba sebuah klakson motor mengejutkan Sofia.
"Mbak kalau jalan yang benar jangan ke tengah jalanan." Akibat berjalan sambil melamun Sofia tidak menyadari kalau kakinya melangkah hampir ke tengah jalan. Lebih terkejut lagi kala ia hafal suara orang yang menegurnya. Ia segera menoleh ke arah pengendara motor itu.
"Ningsih!"
Pengendara itu segera melepas helmnya. "Sofia!" Ia segera turun dari motor dan menstandarkannya. Ia bergegas menuju Sofia dan memeluknya.
"Sofia, kapan pulang aku hampir tidak mengenalmu kalau kamu tidak memanggilku terlebih dulu." Ningsih melepas pelukannya.
"Kemarin. Aku mau ke tempatmu nih."
"Yuk aku bonceng." Biarpun rumah Ningsih tinggal satu rumah lagi, tetapi Sofia tidak menolak untuk diboncengkan perempuan berdaster panjang motif batik itu.
Sesampainya di rumah, Ningsih mengucap salam sembari membuka pintu depan yang tidak terkunci. Dari dalam rumah keluar ibu Ningsih.
"Bu, ini Sofia tadi ketemu di jalan katanya memang mau main ke sini."
"Nak Sofi to? Duh ayune, Ibu sampai pangling."
Sofia menyalami ibu Ningsih. Penampilan Sofia tidak berubah seperti kesehariannya ketika masih di Jakarta. Hingga terlihat perbedaan yang mencolok antara Ningsih dan Sofia. Apalagi setelah melahirkan, tubuh Ningsih bertambah lebar.
Mereka mengobrol di ruang tamu. Sesekali Sofia mengedarkan pandangannya ke ruangan itu. Ruang tamu yang dulu sering ia singgahi, tempat mereka belajar. Tatanan ruang itu sudah berubah. Di dinding sebelah kanan tergantung foto pengantin Ningsih, sedangkan di tembok yang mengarah ke pintu masih terdapat jam dinding, tetapi jam tersebut sudah berganti. Kursi yang ia duduki kini juga sudah berganti dengan sofa beludru merah tua.
"Aku buatkan teh dulu, ya." Ningsih beranjak dari duduknya kemudian masuk ke dalam.
"Anakmu berapa sekarang, Ningsih?" tanya Sofia ketika Ningsih kembali sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.
"Sudah dua, yang besar sekolah TK yang kecil baru tiga tahun. Begitulah masih repot-repotnya. Kamu sendiri berapa anakmu?"
"Aku belum menikah." Sofia menunduk. Tiba-tiba ia teringat Abim. Raut wajahnya menyiratkan kesedihan.
"Oh, maaf." Ningsih merasa bersalah begitu melihat perubahan raut wajah teman SMA nya itu.
"Tidak apa-apa Ningsih, tidak ada yang perlu di maafkan." Sofia berusaha menutupi kepedihan hati. Ia berusaha bersikap ceria kembali.
"Diminum tehnya." Buru-buru Ningsih menawari minum untuk mengurai kecanggungan di antara mereka.
"Oh, ya, Ningsih, kira-kira kamu punya saudara atau kenalan yang belum menikah. Aku cari orang untuk kerja di kios, rencananya aku mau buka agen bis."
Kemudia Sofia menceritkan rencana usahanya serta rencana tempat untuk membuka kios. Sebenarnya ia ingin menawari Ningsih, tetapi mengingat kesibukannya merawat kedua anaknya hal itu tidak jadi diutarakan.
"Nanti deh kalau ada aku kabari, memang benar-benar mau menetap di sini?"
"Iya, kasihan ibu tidak ada yang merawat."
Di rasa cukup melepas rindu, Sofia berpamitan. Ia tidak bisa meninggalkan ibu lama-lama.
"Aku antar ya?" Ningsih mengambil kunci motor yang terletak di atas lemari kecil.
"Tidak usah aku jalan kaki saja."
"Sudah sini aku antar, nanti hitam kulitmu, pasti kamu sekarang tidak ingin menghitamkan kulit kayak dulu kan?"
Mereka tertawa bersama mengingat kenangan semasa sekolah dulu. Akhirnya, Sofia mengalah, ia bersedia diantar sahabatnya itu. Sinar matahari sudah tidak sepanas tadi ketika Sofia berangkat.
Malam harinya, usai menikmati makan malam, Sofia mengutarakan rencananya untuk pergi ke kota besok pagi.
"Bu, besok aku mau ke Salatiga mencari tempat buat buka kios agen bis, ibu tidak apa-apa aku tinggal seharian?"
"Pergi saja, nanti biar Yu Rahmi menemani ibu, atau ibu yang ke rumahnya."
Sofia berpikir untuk meminta Yu Rahmi menemani ibu dan membantu pekerjaan rumah kalau nanti usahanya sudah berjalan. Ia akan menggaji Yu Rahmi.
Keesokan harinya dengan menumpang kendaraan umum Sofia pergi ke kota tepatnya ke terminal. Walaupun motor yang ia paketkan dari Jakarta sudah sampai, dirinya memilih menggunakan kendaraan umum. Jalanan yang berkelok serta naik turun membuat Sofia belum berani mengendarai motor.
Sesampainya di terminal Salatiga, Sofia berkeliling mencari kios yang kosong dan bisa disewa. Di terminal bagian depan ada tiga kios agen bis antar kota yang letaknya berderet. Selain itu ada juga kios yang menjual makanan kecil maupun warung makan seperti terminal di kota lain pada umumnya.
Suasana terminal tidak begitu ramai. Ada tiga bus antar kota berhenti sesuai dengan tulisan kota yang dituju. Setelah berkeliling di kios bagian depan yang ternyata penuh semua, Sofia mengarahkan langkah di kios bagian belakang yang merupakan tempat pemberhentian angkutan kecil.
Ada beberapa kios kosong dan bertuliskan disewakan atau dijual serta nomor handphone yang bisa dihubungi. Akan tetapi, kios yang kosong itu terletak di belakang atau di tempat yang kurang strategis. Bahkan ada satu kios yang terletak di sudut terminal terlihat tidak terawat, mungkin sudah lama tidak dikunjungi pemiliknya.
Merasa tidak ada yang cocok, Sofia berjalan keluar terminal menuju ruko yang letaknya tak jauh dengan terminal. Ada satu ruko kosong yang letaknya di pinggir dan berada di pintu masuk ruko. Ia segera menghubungi nomor telepon yang tertera di tulisan pintu ruko.
"Datang ke rumah saya saja Mbak, tidak jauh dari ruko nanti bisa kita bicarakan." Pemilik ruko menyebutkan sebuah alamat yang gampang diingat.
Sofia memanggil tukang becak yang sedang mangkal di pinggir jalan. Ia memilih naik becak sekalian untuk menikmati suasana kota. Dirinya menyebutkan alamat yang akan dituju. Tukang becak itu mengangguk paham akan alamat yang dicari.
Laki-laki paruh baya itu mulai mengayuh becaknya perlahan. Semilir angin yang berembus mengurangi hawa panas akibat sang mentari yang beranjak naik.
"Ke rumahnya Pak Bambang pemilik ruko itu, Mbak?" tanya penarik becak itu di sela napasnya yang memburu.
"Bapak kenal Pak Bambang?"
"Iya, dulu waktu Pak Bambang masih jualan di ruko saya sering mengantar istrinya pulang."
Mengalirlah cerita tentang pemilik ruko dari laki-laki berbibir hitam karena nikotin itu. Tak terasa setelah hampir dua puluh menit mereka sampai ke rumah bergaya mediterania.
"Itu rumahnya Mbak, pencetnya bel-nya di situ." Lelaki berkulit hitam itu menunjuk sebuah bel yang terpasang di balik pintu pagar, tapi masih bisa terjangkau dari luar.
Sofia membayar ongkos becak dan melebihkan pembayarannya. Lekaki berkaus putih dengan gambar caleg itu menerima dengan senang hati.
"Matur nuwun, Mbak, semoga lancar urusannya."
"Sama-sama, Pak."
Tukang becak itu tidak langsung pergi setelah menerima upah. Ia masih menunggui Sofia sampai dibukakan pintu dan dipersilakan masuk.
*bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Nista, Meraih Asa
RomanceSofia, seorang wanita karier yang sedang berada di puncak kariernya harus kandas kisah cintanya karena orang ketiga yang menghalanginya. Siapa sangka gadis yang meniti kariernya dari bawah dan mengadu nasib di Jakarta usai SMA ini dulunya akan "diju...