Dua Puluh Satu

143 24 0
                                    

Seungcheol mengantar Jeonghan dengan selamat sampai depan rumah. Volvo tua Yoongi terparkir di halaman depan. Jeonghan sengaja berlama-lama melepas sabuk. Seungcheol sudah keluar lebih dulu dari dalam mobil. Dia membantu membukakan pintu penumpang dan tampak gemas melihat cara Jeonghan melepas sabuk.

Yoongi membuka pintu depan. Satu alisnya terangkat dan satu tangannya menahan daun pintu. "Hannie?! Apa yang terjadi?! Terjatuh lagi?!" Cara Yoongi mengucapkannya terdengar seperti Jeonghan membuat dirinya celaka lebih sering dari tukang sampah mengangkut sampah di rumah mereka.

Seungcheol berjalan tepat di belakang Jeonghan. Keduanya menaiki undakan depan. Jeonghan bisa mencium aroma karat dan alkohol dari Ayahnya seperti biasa. Ia sudah terbiasa dengan aroma rumah sakit.

"Tidak ada yang terjadi, Mr. Yoon." Seungcheol tersenyum simpul. "Aku hanya mengantar Jeonghan."

"Kau bisa mengirim pesan padaku kalau kelasmu sudah berakhir. Aku bisa menjemputmu." Yoongi berdecak tapi tetap bergeser dari pintu depan. Dia mempersilahkan Seungcheol masuk dan menawarinya secangkir americano. Yoongi memang pecinta americano.

Jeonghan masih bungkam, hanya memperhatikan Seungcheol dan Yoongi bicara. Mereka duduk berhadapan di sofa, menatap TV yang menyala. Sore itu memang jadwal pertandingan bulu tangkis dan team favorit Yoongi yang akan bertanding. Dia tidak bisa melewatkan itu.

"Berapa skornya Mr. Yoon?!"

"Lima-satu!" Yoongi tersenyum bangga. Dia meraih mangkuk berisi pop corn asin. Dia pasti membuatnya sendiri. Yoongi pecinta pop corn asin.

Mereka terus berada di depan TV hingga menjelang pukul tujuh malam. Team favorit Yoongi meraih kemenangan telak. Moodnya sangat baik karena hal itu. Dia melambai penuh semangat, menuruni undakan depan dan bergegas masuk ke dalam mobil. Dia memiliki jadwal jaga IGD malam ini dan dia akan kembali besok malam---atau lusa, jika tidak ada yang menahannya. Jeonghan yakin dia pasti akan membanggakan hasil pertandingan di rumah sakit nanti.

Jeonghan mengantar Seungcheol sampai halaman depan, berdiri di sebelah mobilnya. "Kau masih ingin diam? Tidak mau memberitahuku apa yang terjadi?!"

Jeonghan belum pernah memiliki pengalaman apapun dengan seorang laki-laki yang bisa ia sebut sebagai kekasih. Dengan Wonwoo atau Minghao dulu, dia tidak pernah merasa cemas atau sakit hati jika salah satu dari mereka bicara dengan cewek lain di sekolah. Jadi, apa ini yang disebut cemburu?! Rasanya aneh dan menyakitkan.

"Han...?!" Seungcheol masih menunggu. Dia meraih tangan Jeonghan, tersenyum miring seperti biasa meskipun raut wajahnya terlihat sangat frustasi.

Jeonghan menghela napas, menyerah. "Park Jihyo mendatangiku siang tadi." Seungcheol ikut menghela napas. Dia memejamkan mata tapi tidak mengatakan apapun. "Dan dia bilang dia menyukaimu."

Seungcheol mengerang. "Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya, dan jawabanku tetap sama..."

Seungcheol jelas tidak berbohong karena tatapannya terlihat sangat tulus. Satu ide terlintas di pikiran Jeonghan "Xu Minghao..."

"Maaf?!"

"Xu Minghao..."

Seungcheol terlihat semakin kebingungan. "Kalau aku tidak salah ingat, sampai lima menit yang lalu, namaku Seungcheol. Ada panggilan lain yang ingin kau berikan untukku?"

Jeonghan menggeleng dan mengabaikannya. "Xu Minghao tidak pernah membuatku tersudut seperti ini sebelumnya. Dia bahkan tidak pernah membuat orang lain melabrakku di sekolah."

Jeonghan tahu kalimatnya tadi keterlaluan tapi dia tidak peduli. Ia tidak bisa menahannya lagi, dan mencoba mengutarakan apa yang saat itu mengganggu pikirannya adalah satu-satunya hal yang baik untuk dilakukan. Itu membuatnya merasa tenang meskipun terdengar egois.

Seungcheol tidak menanggapi. Dia masih berdiri dengan tangannya masih memegang lengan Jeonghan.

Jeonghan tidak berani menatap kedua mata Seungcheol. Kedua matanya sangat mengintimidasi.

Selang beberapa saat, Seungcheol menarik napas dalam. Jeonghan mengangkat wajah hanya untuk membaca raut wajahnya tapi Seungcheol benar-benar sulit untuk dibaca. Alih-alih marah atau sakit hati karena ucapannya tadi, Seungcheol justru tersenyum---senyuman miring yang biasa.

"Aku tahu... Aku minta maaf kalau sudah membuatmu sedih hari ini. Meskipun dengan cara tidak langsung." Jeonghan baru akan membuka mulut tapi Seungcheol menggeleng, "bagaimana kalau kita lupakan tentang hari ini?! Sebentar lagi liburan musim dingin. Bagaimana kalau kita pergi memancing saat liburan nanti? Sepertinya Dad bisa meminjamkan tenda dan peralatan berkemah yang lainnya. Kita bisa berkemah di tempat yang hangat."

Malam itu Jeonghan berhasil membuat kesimpulan. Bahwa Choi Seungcheol benar-benar sangat dewasa dan hanya dirinya yang kekanak-kanakan. Pikiran Seungcheol bekerja dengan baik sementara pikirannya sebaliknya. Jeonghan menunggu hingga SUV Seungcheol menghilang ditelan kegelapan malam sebelum masuk ke dalam rumah yang hangat. Aroma kayu dan daging asap tercium dari dapur. Sebelum pergi tadi Yoongi memang sempat memanggang beberapa daging asap dan membuat minuman dari kayu manis. Seperti bir yang terbuat dari kayu manis.

Jeonghan memasang rantai pengaman pada pintu kamar. Aroma kayu dan pepohonan membelai hidung. Tirai sedikit berkibar karena angin yang berhembus. Tangannya menggapai rantai pengaman pada jendela dan memasangnya. Merebahkan tubuh di atas kasur, dua kalimat Seungcheol sebelum dia masuk ke dalam mobil tadi membuatnya jungkir balik.

"Aku akan menjemputmu besok. Jangan lupa tutup dan kunci jendelanya karena malam ini sangat dingin." Seungcheol mengucapkannya sambil memainkan jemarinya di rambut Jeonghan.

Itu membuat Jeonghan sangat tersentuh, dan tanpa sadar ia ikut memainkan jemarinya di wajah dan rambut Seungcheol.

Itu kali pertama Jeonghan menyentuh rambut Seungcheol. Dia memiliki rambut yang hitam dan lebat. Jemari Jeonghan bermain di rambutnya dan Seungcheol memejamkan mata. Sepertinya dia menyukai sensasi yang Jeonghan timbulkan.

Kedua kaki Jeonghan maju satu langkah, tubuh mereka sangat dekat. Jeonghan tidak tahu, tidak sadar apa yang ia lakukan setelahnya, ia mencoba menarik wajah Seungcheol mendekat dan mencoba menciumnya. Celakanya, perbedaan tinggi tubuh mereka benar-benar sangat jauh. Jeonghan bahkan tidak mencapai leher Seungcheol jika Seungcheol tidak menundukkan kepalanya.

"Kau tidak bisa mencapai wajahku?! Kau butuh tangga?" Dan Seungcheol kembali merusak mood dalam waktu singkat.

HEAVEN'S CLOUD | JEONGCHEOL (END)Where stories live. Discover now