Keesokan harinya Sofia dan Sania mengantar Utari melakukan berbagai pemeriksaan untuk persiapan operasi.
"Kadar Hemoglobin-nya rendah, jadi ibu harus tranfusi dulu sebeluam operasi, paling tidak empat kantong." Dokter menjelaskan hasil laboratorium Utari.
"Pemeriksaan yang lain bagaimana, Dok?" tanya Sofia mewakili ibunya.
"Rotgen dada dan rekam jantung, bagus. Jadi nanti Ibu saya kasih pengantar untuk pengambilan darah transfusi dan daftar untuk rawat inap."
"Harus sekarang ya, Dok?" terdengar nada cemas dari ucapan Utari.
"Secepatnya lebih bagus Bu, biar Ibu segera mendapat penanganan."
Sofia menggenggam tangan ibunya untuk membantu mengurai kecemasan.
"Baik terima kasih, Dokter," jawab Sofia sambil mempererat genggaman tangannya.
Mereka bertiga meninggalkan ruang praktik dokter menuju bagian administrasi rawat inap. Setelah selesai mengurus rawat inap dan mendapat kamar, Sania dan Sofia menuju PMI yang tak jauh dari rumah sakit.
"Stok darah golongan B sesuai permintaan hanya ada dua kantong, masih kurang dua kalau ada yang mau donor bisa diproses sekarang biar bisa diambil sekalian," jelas petugas PMI.
Sofia dan Sania saling berpandangan. Ada rasa sedih menyelubung di hati Sofia. Bagaimana kalau darahnya tidak ada lagi kemungkinan operasinya bisa tertunda, batinnya.
"Sofi, bukannya golongan darah kita sama seperti ibu." Sania mengingatkan.
"Oh, iya, ya."
"Pak, kalau kami donor bisa? Kebetulangan golongan darah kami sama," kata Sofia. Sedari tadi mereka belum beranjak dari depan loket permohonan darah.
"Bisa saja kalau hasil pemeriksaan memenuhi syarat. Mbak bisa ke ruangan sebelah agar dicek dulu kondisinya."
"Baik, Pak, terima kasih."
Sofia dan Sania berjalan menuju ruangan sebelah loket. Sofia menyampaikan maksud mereka untuk donor.
"Tolong diisi formulir ini dulu nanti masuk bergantian untuk diambil sampel darahnya." Petugas berseragam putih dengan logo Palang Merah Indonesia itu menyodorkan dua lembar formulir yang harus diisi.
Sofia dan Sania menerimanya dan menuju meja tulis yang berada di pojok ruangan itu. Selesai mengisi formulir Sania masuk terlebih dulu kemudian bergantian dengan Sofia.
Kurang lebih satu jam mereka menunggu akhirnya nama mereka dipanggil kembali. Sania dipanggil terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil pemeriksaan.
"Maaf Mbak. Mbak Sania tidak bisa donor darah karena dari hasil pemeriksaan anti HIV hasilnya positif."
"Maksudnya?" Sania tidak percaya dengan penjelasan petugas.
"Mbak Sania sudah tertular HIV jadi tidak bisa donor."
Bagai disambar petir Sania terkejut mendengar hasil pemeriksaannya. Tiba-tiba air mata keluar tanpa bisa dibendung lagi. Ia terlihat syok dengan penjelasan petugas tadi.
"Jadi saya harus bagaimana, Pak?"
"Sebaiknya Mbak Sania melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ini hasilnya nanti bisa ke dokter umum dulu untuk diarahkan pemeriksaan selanjutnya."
"Baik, Pak, terima kasih," jawab Sania lirih. Ia keluar ruangan itu dengan kesedihan dan penyesalan yang mendalam.
"Bagaimana, Mbak?" tanya Sofia begitu keluar dari ruangan. Belum juga mendengar jawaban dari Sania, Sofia sudah dipanggil petugas.
"Mbak bisa donor, diambil darahnya sekarang sudah siap?"
"Iya, Pak."
Kemudaina petugas itu mengarahkan Sofia menuju ruang pengambilan darah. Kurang lebih setengah jam proses pengambilan darah selesai. Sofia diberi susu cair kotak dan roti manis dua buah.
"Makan saja ya Mbak, biar tidak pusing sambil menunggu darahnya diproses biar bisa dibawa sekalian."
"Baik, Pak." Rasa pusing sedikit Sofia rasakan. Ia segera menuju tempat duduk ruang tunggu sambil menemui Mbaknya."Mbak Sania jadi donor?" Sofia merasa heran tadi Sania cepat keluar tidak seperti dirinya. Sania terkejut mendengar pertanyaan adiknya. Sedari tadi ia melamun memikirkan keadaan dirinya.
"Eng ... Mbak tidak bisa donor." Sofia melihat perubahan raut wajah Sania, matanya terlihat merah seolah habis menangis.
"Ya sudah tidak apa-apa, Mbak, tadi aku sudah diambil darahnya. Mudah-mudahan segera ada lagi darah yang dibutuhkan ibu." Sofia berusaha menenangkan Sania. Ia mengira Mbaknya itu bersedih karena tidak bisa donor untuk ibu.
Sania lebih banyak berdiam diri sambil menunggu pemrosesan darah. Setelah darah yang dibutuhkan selesai diproses mereka kembali ke rumah sakit sambil menjinjing tas khusus berisi tiga kantong darah yang akan ditranfusikan ke Utari.
"Ini Suster darahnya." Sofia menyerahkan tas darah ke Suster jaga.
"Baik, nanti kita hangatkan dulu, baru ditranfusikan ke Bu Utari."
"Terima kasih Suster, saya permisi."
Sofia dan Sania meninggalkan ruan jaga perawat menuju kamar Utari. Ruangan dengan nuansa putih itu berisi tiga tempat tidur. Semuanya terisi pasien. Tempat tidur Utari berada di pinggir dekat tembok yang berbatasan dengan kamar mandi.
"Bu," sapa Sofia sambil memegang telapak tangan kanan Utari. Utari terlihat memejamkan mata. Namun, begitu menyadari kedatanagn kedua anaknya ia langsung membuka mata. Sania dan Sofia duduk di kursi yang bersebelahan dengan tempat tidur.
"Darahnya sudah ada?" tanya Utari.
"Sudah ada, Bu. Kata suster masih dihangatkan baru nanti ditransfusikan ke Ibu," jelas Sofia.
Pandangan Utari menerawang ke langit-langit putih polos. Tanpa terasa butiran air mata menetes di pipi. Perhatian Sofia mengingatkan ia pada masa lalunya tentang anak keduanya itu.
Masa lalu yang kelam tetap ia jalani. Hingga suatu saat ia lupa menggunakan pengaman kala melayani seorang tamu dari Jakarta. Tamu tersebut langganan Utari ketika tamu itu ada urursan bisnis di beberapa kota sekitar Salatiga.
Hal yang tidak diharapkan terjadi pada diri Utari. Ia terlambat haid. Setelah diperiksa ke Bidan ia posituf hamil. Kala itu usia Sania dua tahun kurang tiga bulan. Ia berusaha untuk menggugurkan kandungannya. Segala cara sudah dicoba mulai minum jamu sampai dipijit. Namun, rupanya janin tersebut kuat dan ditakdirkan untuk lahir dan hidup.
Kebutuhan hidup yang makin bertambah dengan hadirnya anggota keluarga baru membuat Utari harus giat bekerja dengan pekerjaan haramnya itu. Lama kelamaan ia merasa nyaman dengan pekerjaan yang ia lakoni.
Sebuah rumah berhasil ia beli yang ditempati hingga kini. Ia tidak memperdulikan cibiran tetangga tentang pekerjaannya itu. Ia berprinsip selagi tidak menganggu tetangga ia tetap menjalani pekerjaannya.
"Bu, pelacur itu apa?' tanya Sofia kala itu saat dirinya kelas satu Sekolah Dasar.
Utari terkejut mendapat pertanyaan dari Sofia yang terlihat cerdas sejak kecil itu. Ia terdiam beberapa saat. Ingin rasanya menjelaskan pertanyaan Sofia , tetapi ia merasa belum waktunya Sofia mengetahui hal-hal semacam itu.
"Dari siapa Sofia tahu hal itu?" tanyanya lembut sambil mengusap kepala Sofia.
"Kata teman-teman aku anak pelacur." Sofia kecil terlihat mulai menangis. Utari meraih tubuh mungil yang masih mengenakan seragam sekolah itu. Dipeluk erat tubuh itu sambil diusap kepalanya.
"Sofia tidak usah mendengar omongan teman-teman. Diam saja. Balas ejekan teman-temanmu dengan prestasi. Belajar yang rajin kalahkan teman-teman yang mengejekmu dengan nilai pelajaran yang bagus."
Dalam hati Utari merasa kasihan dengan Sofia. Namun, bagaimana lagi, tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan.
*bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Nista, Meraih Asa
Roman d'amourSofia, seorang wanita karier yang sedang berada di puncak kariernya harus kandas kisah cintanya karena orang ketiga yang menghalanginya. Siapa sangka gadis yang meniti kariernya dari bawah dan mengadu nasib di Jakarta usai SMA ini dulunya akan "diju...