Mandala meletakan kabel rol yang diulurnya dari kamar menuju meja di manaGenta duduk. Setelah membantu menyambungkan kabel charger laptop Genta yang tiba-tiba mati karena habis baterai, ia kembali duduk di tempat semula.
"Emangnya nggak bakal dicariin dosen lain, ya? Eh, apa sebutannya? Konsultan?"
"Konsulen," ralat Genta yang tertawa ketika melihat Dira berguling di atas kasur lipat yang digelar di tengah ruangan. "Tergantung konsulennya, sih. Ada tipe yang nggak suka diikutin dan nggak suka koasnya buang-buang waktu, jadi biasanya disuruh belajar di ruang koas. Kalo hoki ya dipulangin. Ada juga tipe yang kalo visite maunya semua koas lengkap dan dipanggil satu-satu. Nah, kebetulan hari ini nggak ada jadwal praktek konsulen yang tipe kedua."
Mandala mengangguk-angguk. "Nggak ada presensi dateng dan pulang? Kayaknya kamu pernah bilang presensi pake mesin finger print."
"Itu berlaku di beberapa stase aja atau di rumah sakit afiliasi. Kalo di stase obgyn masih manual pake tandatangan," jelas Genta seraya menyalakan kembali laptopnya. Padahal tadi dia sedang melihat-lihat list referat yang pernah diuji oleh dr. Ardi Sp.OG hasil operan teman seangkatannya pada rotasi sebelumnya. Menurut Robyn, ada baiknya mengambil penyakit atau kelainan yang berbeda dengan 2-3 rotasi sebelumnya. Menghindari dugaan plagiat yang kerap dilakukan oleh sesama koas.
Setelah berhasil membaca puluhan judul referat, laptopnya mati.
Selagi menunggu laptopnya membuka file, Genta melirik pada Mandala yang duduk di sisi kanannya. Diperhatikannya wanita itu sibuk sejak tadi dia datang untuk main.
Di atas meja ada banyak wadah plastik dan mangkuk. Tadinya berisi banyak sayuran yang dipotong dadu dan setelah itu Mandala menumisnya. Begitu selesai, wanita itu terlihat meletakannya di mangkuk besar dan kini mengaduk-aduknya.
"Mau bikin apa, Man?"
Mandala menoleh sekilas lalu tersenyum sambil terus mengaduk. "Risoles, Ta."
"Aku pengen bawain risoles buat camilan besok. Kan mau mulai beres-beresnya pagi, jadi bisa untuk ganjel perut," lanjut Mandala sambil sesekali mencicipi hasil adukannya.
"Ya, ampun, Man. Ngapain repot-repot?"
Mandala tertawa kecil sambil menggedikan bahunya. "Kepengen aja, Ta. Sekalian mau tau pendapat kamu buatanku udah enak apa belum. Rencananya aku mau bikin risol dan kutitip di warung dekat sini. Resepnya emang punya Ibu, tapi aku nggak yakin bisa bikin seenak buatan Ibu."
Perhatian Genta pun kini tertuju seutuhnya pada Mandala. Satu alisnya terangkat setelah mendengar penjelasan barusan. "Kuliah kamu gimana, Man?"
Senyuman manis Mandala berubah jadi senyuman segan. Wanita itu menggeleng pelan.
"Nggak kuterusin, Ta," jawabnya dengan suara pelan. "Kuliah perfilman itu lebih banyak kegiatan outdoor-nya. Belum lagi kalo ada tugas bikin film pendek yang ngeharusin aku nginep biar bisa selesai tepat waktu."
Mata Mandala menatap lurus pada Mandira. "Seharusnya dari awal saya dengar kata Ibu. Kalo udah punya anak, mimpi sendiri udah otomatis harus dikesampingkan." Ia menghelakan napasnya. "Setelah mulai bisa fokus ke Dira, aku jadi sadar banyak hal yang nggak aku pahami."
Mandala berdiri, masuk ke kamar, dan kembali sambil membawa buku berwarna pink. Beberapa kali ia sibak halaman buku KIA. "Nih, Ta. Baru-baru ini aku iseng baca buku ini dan di sini tertulis usia 4-12 bulan perlu tidur selama 12-16 jam per hari. Itu termasuk tidur siang. Kamu tau? aku pernah khawatir Dira kurang makan jadi lemas dan tidur terus, tapi ternyata itu normal."
"Terus nih, ya. Selama ini aku khawatir Dira kurang gizi karena aku nggak tau harus ngolah apa dan gimana. Liat ini, Ta. Di buku ini ada resep MPASI sampai usia 23 bulan. Aku terbantu banget dan agak menyesal baru sekarang kubaca. Pantesan bidan di puskesmas suka nyuruh untuk baca dan pelajari buku—k, kenapa, Ta? Kok kamu ngeliatin kayak gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
Чиклит[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...