28. Pulang

94 14 6
                                    

Selamat membaca dan semoga suka 💙

.

"Zira itu, santri kami yang sangat rajin. Dia juga begitu perhatian dengan guru-gurunya dan baik kepada teman-temannya. Zira juga pernah mendapat juara umum di perlombaan hafalan al-Quran dan tajwid se-kabupaten mewakili pesantren kami."

Ning Wardah, seorang wanita berkerudung panjang dengan mata teduhnya terlihat begitu bangga ketika membicarakan sang murid. Gadis desa yang sederhana, cantik paras dan hatinya. Maka, siapa yang tidak akan kagum padanya. Jika saja memungkinkan, Ning Wardah ingin Zira kembali belajar di pesantren.

Gadis itu, sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.

Sehingga ketika mendengar kabar bahwa Zira dan tantenya yaitu Safrina kecelakaan. Tidak ada lagi yang bisa Ning Wardah serta dewan pesantren lakukan selain segera menjenguk gadis itu. Memastikan bagaimana keadaannya, dan dengan siapa dia akan tinggal jika ternyata tante yang merupakan keluarga satu-satunya pun meninggal.

Tadinya, mereka ingin membawa Zira kembali. Tinggal dan belajar di pesantren. Namun, ternyata ketika bertemu dengan gadis itu. Ia sudah bertemu dengan keluarga kandung ayahnya. Syukurlah, dilihat dari bagaimana pemuda di hadapannya ini. Mereka terlihat seperti keluarga baik-baik. Ning Wardah memang tidak begitu tahu, tetapi Ghazi bilang keluarga ayahnya Zira ini sangat terpandang.

"Syukurlah ...."

Rafanza tersenyum, bangga mendengar adiknya tumbuh di lingkungan yang baik. Meskipun masih menyimpan kemarahan, Rafanza tak memungkiri bahwa Kaira telah membesarkan putrinya dengan sangat baik.

"Terima kasih sudah menjaga dan membimbing adik kami. Kami sangat bersyukur karena itu," ujar Rafanza tulus.

Beberapa waktu lalu, ia sengaja menyempatkan mengobrol dengan guru adiknya ini. Di luar rawat inap sembari menunggu Ghazi yang sedang pergi sekedar mengangkat panggilan telepon.

Mendengar itu Ning Wardah mengangguk. "Sudah menjadi tugas kami, tidak perlu berterima kasih, Pak," balas Ning Wardah tersenyum. "Hanya kami berharap, sesekali Zira bisa menyempatkan waktu berkunjung ke pesantren kami. Karena bagaimana pun Zira pasti sangat merindukan teman-temannya. Terlebih dia bisa berziarah ke makam ibunya."

Seketika pemuda bermata hitam legam itu menghela. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia paham, apa maksud tersembunyi dari permintaan itu. Ning Wardah yang menyadari perubahan gestur itu pun jadi merasa tak enak hati.

"Maaf, tapi saya hanya membantu Zira menyampaikan ini kepada Anda. Karena saya mengerti betul perasaannya. Melihat bagaimana dulu, Zira sangat terpuruk ketika ibunya meninggal."

Seperti ada yang mencubit hatinya, Rafanza meneguk ludah pahit. Sudah pasti kalau terpuruk, tetapi masalahnya saat itu Zira pasti menganggap bahwa ia sebatang kara tanpa tahu ada keluarganya yang masih menunggunya di sini. Kasihan, entah kenapa Rafanza merasa sangat bersalah. Andai saja lebih cepat menemukan adiknya, mungkin Zira tidak akan terlalu sengsara. Mungkin ....

"Dan pasti Zira sangat merindukan ibunya. Jadi--"

"Akan saya pertimbangkan," sela Rafanza dengan suara berat. Ah, ia terlalu keras kepala ketika hatinya masih terusik oleh perbuatan Kaira. Rupanya, Rafanza masih belum bisa memaafkan. Namun, apa boleh buat jika memang Zira menginginkannya. Ini hanya hal kecil, seharusnya Rafanza bisa mengenyampingkan egonya.

Ning Wardah diam sejenak dengan bibir sedikit menganga. Tidak mau berlanjut-lanjut, ia pun segera menangguk. Karena semenjak membicarakan perihal ibunya Zira. Raut wajah pemuda di hadapannya ini tampak berubah masam. Ning Wardah mengira mungkin terjadi sesuatu tetapi ia tahu itu bukan ranah urusannya.

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang