VAA Bab 17

3.3K 493 60
                                    

"Makin lama sekolah kita serem, ya. Ini udah murid ke sekian yang mati. Satu tahun ada kali ya sepuluh orang."

"Tepatnya ada lima belas orang, di gabung sama tahun kemarin."

"Mendadak rambut tangan gue merinding asli. Gak bisa bayangin kalau selanjutnya itu kita."

"Hush! Jaga omongan lo, dikabulin baru tau rasa."

"Ya lagian pihak sekolah nggak pernah tegas ngurusin kasus beginian. Dua tahun woy! Kita di teror pembunuhan berantai kayak gini, tapi kepala sekolah sama guru-guru pada diem. Malah ngancem murid-muridnya tutup mulut."

"Mungkin mereka nunggu semua muridnya mati satu-persatu dulu, baru deh ada pergerakkan."

Obrolan itu bisa Mazaya dengar dari dalam bilik kamar mandi. Setelah perkumpulan tiba-tiba di lapangan tadi, gadis itu pergi ke toilet, biasalah panggilan alam. 

Ketika ia hendak berteriak meminta bantuan orang lain guna membantunya membukakan pintu kamar mandi yang tidak bisa terbuka, suara perempuan-perempuan di atas terdengar. 

Mazaya yang merasa tertarik akan pembicaraan tersebut, mengurungkan niatnya, tetap di tempat dan menguping. 

Ia tau seharusnya dirinya ini tidak boleh menguping pembicaraan orang lain. Namun bagaiamana lagi, topik yang mereka bahas itu menarik minatnya.

Mendengar hasil pergupingannya Mazaya jadi ikut berpikir. 

Total kematian murid-murid Harapan Bangsa ada lima balas selama dua tahun, waktunya pun berdekatan. Kematian menimpa Gista, Tasya dan korban lainnya, tidak lah semudah itu. 

Namun yang di katakan dua perempuan tadi ada benarnya, kenapa pihak sekolah diam saja? Padahal sudah dua tahun teror berjalan. Ada yang tidak beres, pikir gadis itu sambil mencoba lagi keberuntungannya yang keempat kalinya, tangannya memegang gagang pintu, memutar ke arah kanan.

Dan betapa terkejutnya Mazaya melihat David berdiri di hadapannya ketika gadis itu berhasil membuka pintu kamar mandi.

"Lo---lo ngapain di kamar mandi cewek?!" 

David menaikkan alisnya dengan mimik muka datar. Kepalanya menoleh ke belakang dan ke samping. 

"Kenapa? Cuma ada lo sama gue."

"Iya sekarang, emang cuma ada lo sama gue doang. Tapi nanti kalo ada siswi lain yang masuk ke sini mereka bakal mikir aneh-aneh," cerocos Mazaya khawatir. 

"Biarin aja, itu kan pikiran mereka," balas David enteng, senteng sehelai rambut.

"Gue nggak mau digosipin yang enggak-enggak sama lo," ucap Mazaya. 

Gadis itu tau seberapa terkenalnya David di sekolah ini, ia tidak mau namanya di sandingkan bersama laki-laki semacam David. Cukup Ankara saja yang pernah membuatnya pusing dengan gosip-gosip enol fakta tidak berdasar.

"Lo pikir gue mau?"

"Terus ngapain lo masuk ke sini!?"

"Emangnya gak boleh?"

Mazaya menarik napas sebentar. Kesabarannya itu hanya setipis tisu. Setelah menghembuskan bebannya Mazaya menjawab,"Vid, lo bisa liat gambar yang nempel di depan pintu, kan? Gambarnya aja pakek rok berarti ini tuh toilet cewek bukan cowok."

"Siapa bilang cowok nggak bisa pakek rok?"

"Taulah, capek ngomong sama lo." Mazaya berjalan keluar, meninggalkan David yang bernapas lega sambil melirik gadis berambut panjang, tanpa kaki yang sedang menatapnya genit. 

"Itu tadi ulah lo kan," tuduh David, menatap tajam gadis yang tengah tersipu. 

Sewaktu kumpul di lapangan tadi David tak sengaja melihat gadis itu menatap Mazaya, tatapan tersebut penuh hawa negatif. Firasatnya ini terbukti benar saat Mazaya pergi ke toilet sosok ini mulai mengikutinya. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah berurusan. Aneh sekali jika tiba-tiba gadis ini mengikuti Mazaya.

Voice and ActingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang