Senandung keenam

316 64 3
                                    

Aku berjalan menuju ruang guru di lantai satu, sambil membawa tumpukan buku-buku tugas matematika yang diminta Bu Turi.

Ini harusnya tugas Yazdan, si ketua kelas gak tahu diri yang seenaknya melimpahkan tugas itu padaku. Dengan alasan dia ada perlu gak tau apa. Sebagai wakilnya, mau gak mau aku yang mengambil alih tugas itu.

"Elu sadar kan Yaz, kalo gue ini cewek?"

"Oh, emang kapan elu ganti kelamin?" tanya Yazdan dengan songongnya.

"Sumpah ya, gue kepengin deh ngelempar buku-buku ini ke muka lu. Kalo gak takut kena pasal penganiayaan, ini berat tahu!"

"Alyssa sayang, elu kan wakil gue. Artinya elu itu orang nomor dua terpenting di kelas ini setelah gue.
Jadi kalo gue gak bisa jalanin tugas, itu artinya kewajiban lu buat ngewakilin gue. Oke, Alyssa sayang?"

"Jijik gue denger lu manggil sayang, Yaz." Tanpa berkata apa-apa lagi aku meraih buku-buku itu. Dan sekarang sedang berjalan menuju ruang guru.

Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba seseorang mengambil buku-buku di tanganku. Aku yang hampir teriak, mengurungkan niatku saat melihat ternyata Hangga yang mengambil buku-buku itu.

"Ini berat loh, Al. Ndak ada anak laki-laki yang bisa bantuin kamu?"

"Ini sebenarnya tugas Yazdan. Tapi katanya dia lagi ada perlu. Jadi gue sebagai wakilnya yang ambil alih tugas."

"Oh, kamu wakil ketua kelas?"

"Iya, kenapa?" Aku melihat tatapan heran Hangga.

"Ndak apa-apa. Tapi masa wakil ketua kelas, kamu itu mau ngebolos sekolah? Bukannya kamu harus jadi contoh teman-temanmu yang lain?"

"Apa hubungannya jadi wakil ketua kelas sama gue yang kemarin mau bolos? Gue kan gak minta dipilih. Lagian, banyak kok pejabat yang dipilih rakyat kelakuannya juga gak bener. Kebanyakan pada korupsi atau terkena skandal!"

Hangga hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya mendengar sanggahanku.

"Elu mau ngapain? Sengaja bantun gue bawa buku-buku ini?"

"Aku mau ketemu Pak Zammy."

"Oh, kirain..."

"Kenapa? Memang ndak mau aku bantuin?"

"Siapa bilang? Sering-sering aja, gue gak keberatan kok."

"Kamu ini..." Lagi-lagi Hangga hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. Saat dia tertawa, ternyata ada lesung pipi dikedua pipinya. Menambah daya tarik di wajahnya. Aku sempat tertegun melihatnya. Hangga...kenapa manis sekali?

"Al, Alyssa." Suara Hangga yang memanggil namaku cukup keras menyadarkanku yang sejak tadi seperti orang bego, terpana oleh senyum dan tawanya. Sialan Alyssa, bikin malu aja lu! Aku merutuki diri sendiri dalam hati.

"Eh, iya. Ada apa, ngga?"

"Nanti, mau pulang bareng aku lagi?"

"Kenapa? Gue gak mau ngerepotin elu ah. Rumah gue kan lebih jauh dari rumah lu. Daerah macet lagi! Deket pasar, panas, di gang sempit pula."

"Aku ndak merasa direpotin kok, Al. Kamu ndak mau ya aku sering-sering main ke rumahmu? Di apartemen aku sendirian, ndak ada siapa-siapa. Daerah rumah kamu enak, rame. Aku senang banyak tukang jualan makanan."

"Ya, iyalah ngga. Banyak tukang jualan makanan. Kan dekat mall sama pasar. Tapi emang elu gak risih main ke rumah gue yang...yah, begitu deh."

"Memang rumah kamu kenapa sampai aku harus risih? Kamu ada-ada saja, Al."

"Rumah gue kan jelek, ngga. Lu gak malu main ke rumah gue? Gue bukan orang kaya kayak elu."

"Kata-kata kamu lucu, Al. Apa hubungannya mau nganter pulang sama status kaya miskin? Sudah, jangan kebanyakan mikir. Pusing nanti."

Aku sebenarnya tidak keberatan kok diantar Hangga pulang. Atau nebeng mobilnya setiap hari, cuma...kenapa aku merasa tidak nyaman ya?

Apa karena aku tahu Hangga anak orang kaya? Karena statusku yang orang miskin? Atau karena setiap berada di dekatnya aku merasakan sesuatu yang ganjil?

Perasaan yang aku tidak tahu apa namanya.

******

Aku yang sedang membereskan alat-alat sekolahku menoleh ke arah Rere yang baru saja menyenggol betisku. Dengan dagunya, ia memberi isyarat agar aku melihat ke arah pintu kelas.

Di sana, di ambang pintu. Aku melihat Hangga sedang berdiri dengan santainya. Tangan kanannya dimasukan ke saku celananya. Sedangkan tangan kirinya mencangklong tas sekolah di punggungnya.

Dia seriusan nungguin aku di depan pintu kelas?

"Hangga gak lagi nungguin elu kan, Al?" tanya Rere curiga. Aku tidak menjawab, hanya meliriknya sekilas lalu menyambar tasku dan beranjak dari kursiku.

"Al, elu berhutang penjelasan sama gue!!" Seru Rere tanpa aku gubris.

"Elu nungguin gue?" tanyaku setelah berdiri di depan Hangga. Tidak menghiraukan tatapan kepo dan menggoda teman-temanku yang sedang memperhatikan kami berdua. Mungkin heran, Alyssa Sawitri yang terkenal tomboy dan cuek sama cowok, sekarang malah ditungguin pulang cowok.

Cowoknya Hangga pula! Yang terkenal dingin dan cuek juga sama cewek. Mungkin mereka heran, dua makhluk aneh dari ras alien Mars bisa berkumpul bersama.

Karena risih, aku menarik tangan Hangga agar berjalan mengikutiku. Anehnya, dia sama sekali gak melawan. Omong-omong, Hangga tinggi juga ya. Mungkin sekitar 180 cm. Aku yang tingginya cuma 158 cm, sampai mendongak melihatnya.

Apa dia bakal bisa tumbuh lebih tinggi lagi? Apa sih makannya? Galah apa tiang listrik?

"Iya. Aku nungguin kamu. Tadi kan janji mau pulang bareng." Hangga melihat tangannya yang kini sudah kulepaskan karena sudah jauh dari kelas dan teman-temanku.

Suasana sekolah agak ramai. Maklum jamnya pulang sekolah.

Tatapannya agak aneh melihat telapak tangannya yang barusan saja kugandeng dan kulepaskan. Kenapa sih dengan dia?

"Ya, udah. Ayo pulang. Lumayan nebeng mobil lu, ngga. Irit ongkos."

"Al." Panggil Hangga saat aku mau melangkah ke parkiran mobil, tempat Hangga kemarin memarkirkan mobilnya.

"Apa?"

"Boleh aku gandeng tangan kamu lagi? Atau ndak, kamu yang menggandeng tangan aku seperti tadi? Kamu ndak keberatan kan jalan gandengan tangan sama aku?"

Hangga...kenapa jadi aneh begini?

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang