Waktu belajar sudah berakhir satu jam yang lalu. Sepi. Hanya suara hembusan angin yang berkali-kali menampar pelan ke wajah Aqeela yang berbalut jilbab merah muda. Aqeela mengusap lengan, mengusir dingin yang semakin menyengat. Sesekali tangannya juga memukul-mukul di udara, mengusir nyamuk yang berebutan menghisap darah darah yang mengalir di kulit-kulitnya yang putih. Sangat putih. Bahkan nyamuk mungkin kesusahan menemukan darah di tubuhnya.
Aqeela memeluk lutut. Sejenak membiarkan beberapa ekor nyamuk membuat bentolan-bentolan merah di kakinya. Ia menatap sebuah aula yang berada di seberang kamarnya. Ada sebuah jam besar menggantung di dinding. Pukul 12.00 sudah. Tapi matanya masih belum juga ingin terpejam.
Hawa dingin semakin menusuk. Bunyi hembusan angin menggoyang dedaunan terdengar semakin jelas. Aqeela memutuskan untuk beranjak dari teras kamarnya. Mungkin berjalan sedikit menyusuri asrama bisa membantunya menemukan kantuk.
Aqeela melewati beberapa kamar yang sudah gelap dan tertutup rapat. Tak heran. Ini memang sudah tengah malam. Pikirnya. Kakinya terus melangkah. Tiba-tiba ia mendengar suara yang ternyata berasal dari dalam Aula. Beberapa santri masih masih terjaga. Mereka memang sedang berjaga malam. Petugas piket yang akan membangunkan para santri setiap paginya untuk sholat tahajud
Aqeela terus melangkah. Melewati beberapa santri itu. Salah seorang dari mereka menegur. Menyuruhnya segera kembali ke kamar dan tidur. Tapi, Aqeela hanya menyeringai. Ia berjanji hanya akan berjalan sebentar saja.
Tanpa terasa Aqeela sudah melangkah sampai pintu gerbang. Ia mengelus lengannya. Membiarkan dingin menembus ke piyamanya. Matanya menatap langit. Sungguh indah langit malam ini. Gemintang tampak sangat bercahaya di atas sana. Dari dulu ia memang sangat menyukai bintang. Sejak kecil ia suka menatap bintang berdua, dengan ayah. Ayah. Tiba-tiba ia teringat ayah. Hatinya serasa di tusuk jarum. Sakit. Rindu.
Andai ayah masih ada dan tahu dimana Aqeela saat ini. entah seperti apa raut wajah yang akan diberikan untuk mengekspresikan rasa paling bahagianya. Mata Aqeela berkaca-kaca. Kenapa ayah pergi secepat ini. Bunda. Tiba-tiba ia juga merindukan bunda.
Pikiran Aqeela melayang-layang. Ingin sekali ia pergi dari sini. Tapi itu tidak mungkin. Karena pergi dari tempat ini berarti telah mengingkari janji. Ia sudah sering membuat ayah kecewa semasa hidupnya. Ia tidak ingin mengecewakan ayah lagi. Apalagi bunda.
Air mata Aqeela akhirnya tumpah. Ia teringat wajah bening bunda, teringat kecupan ayah di keningnya.
"Kenapa belum tidur?" Sebuah suara muncul dari belakang.
Aqeela terkejut. Buru-buru ia mengusap bekas linangan air matanya. Ia menoleh. Seseorang sudah berdiri tegak di belakang saat ia membalik badan. Senyumnya merekah. Wajahnya terkena pantulan lampu jalan yang menembus cela-cela gerbang. Anggun sekali. Matanya sangat damai.
"Kaget ya? Maaf. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Aku hanya sedang bertugas jaga malam." Ungkap gadis itu masih berdiri dengan tangan kanan menenteng sebuah termos air.
Aqeela mengulum senyum. Menusap hidung. Gara-gara ia menangis tadi, ingusnya jadi keluar.
"Kamu santri baru? Tsanawiyah?" ujarnya berusaha menebak. Sambil mencari tempat duduk yang nyaman dan melangkah menuju ruang tamu yang berjarak lima kaki dari tempatnya berdiri.
YOU ARE READING
AQEELA
RomanceKepergian ayah membuat Aqeela benar-benar terpukul. Tidak ada yang bisa ia perbuat lagi selain menuntaskan keinginan ayahnya. Walaupun itu sangat bertentangan dengan keinginannya selama ini, ia tetap harus melakukannya. Setiap kali ia memandang lang...