Ruangan putih dengan bau obat-obatan yang menyengat terasa asing untuk di hirup. Arland pikir pulang akan mendapatkan caci-mai, rupanya hal ini lebih menyakitkan. Sorot matanya memandang nanar pria tua yang terbaring dengan wajah pucat di atas ranjang rumah sakit. Kata Abdi, kejadiannya pagi tadi. Arland tau penyebabnya adalah dirinya. Pria itu hanya bisa duduk meratapi kumpulan benang-benang yang di tarik hingga semakin kuat mengikat satu sama yang lain. Arland sudah pasrah dengan apa yang terjadi saat ini. Menyerahkan semua urusan ini kepada Allah adalah jalan terakhir Arland setelah di rasanya sudah melakukan hal yang tepat dengan mengakui keberadaan putranya menjelang hari pernikahannya.
"Ameera."
"Iya Mas?"
"Maafkan Mas."
"Ameera yang salah sudah meminta Mas pulang. Mau kemana Ameera kalau Baba meninggal? Mas cuma pikirkan diri Mas. Abi sama Ummi juga pasti kecewa lihat Mas."
Di depan lutut dengan balutan gamis itu Arland bersimpuh sujud. Badannya bergetar menahan tangis yang demikian tercekat. "Maafkan Mas, Ameera," lirihnya. Rasanya Arland sudah terlalu gagal.
"Ameera."
Mendengar suara serak itu membuat Arland maupun Ameera beranjak mendekati ranjang. Mata sayu Kiai Husen menatap Ameera sambil mengangkat tangannya meminta agar sang cucu memegangnya.
"Usir laki-laki itu dari penglihatanku, nak. Aku tidak sudi mati dengan melihat wajahnya."
"Baba, Maafkan Arland."
Sekali lagi pria itu bersujud meminta ampun. Berkali-kali ia meraih tangan ringkih itu namun di tepisnya. Arland bahkan tidak bisa menatap matanya yang memutih. Sebagai seorang Kiai, pengasuh pesantresn sekaligus pendiri pesantren yang di mana ia menghabiskan masa mudanya untuk mengabdi, rasanya ini tidak adil untuk Kiai Husen. Dari sekian banyak santri-santrinya, rupanya cucunya sendiri tidak bisa ia didik. Mendengar Arland yang tiba-tiba mengakui seorang anak sebagai putranya tentu membuat Kiai Husen malu pada calon besannya. Berita pernikahan Arland dan Safiyyah ini juga sudah di ketahui orang-orang. Duhai betapa malunya keluarganya yang kini menjadi buah bibir.
****
"Terimah kasih, Abdi."
"Sama-sama, gus."
Aroma kopi kapten dan pisang goreng masuk begitu saja di hidung Arland bagai penghibur. Saat ini suasana pesantrent tidak kondusif untuk Arland sehingga pria itu memutuskan untuk sekedar memisahkan diri di rumah kediaman Abdi. Rupanya ia masih bisa meminum kopi kesukaannya setelah semua hal yang terjadi.
Tentang Musa, Arland cukup tau diri dengan memberikan ruang untuk putranya menerima Hanif. Arland tidak akan pernah bisa membayar kewarasan dan ketenangan yang masih ada di hatinya saat ini. Arland sudah pasrahkan semuanya, tentang apapun setelah ini, ia hanya berharap semua orang-orang yang di cintainya bisa kembali melanjutkan hidup seperti sebelumnya. Rupanya inilah takdir yang Allah beri, dan Arland ikhlas dengan semua yang telah terjadi.
"Apa rencana gus kedepannya?"
"Saya akan pulang di tempat saya yang seharusna, Abdi."
"Turki?"
Arland menganguk yakin. Ada Nicholas dengan segala keraguannya tentang Allah di sana. Arland selalu berharap ia akan seiman dengan pria itu.
"Saya sudah cukup mengambil pelajaran berharga di sini, Abdi. Sudah waktunya saya kembali di rutinitas saya."
"Putra gus?"
"Hanif saudaraku, lambat laun putraku pasti akan menerimanya."
"Seng sabar ya gus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Gus (TAMAT 🕊️)
عاطفيةGus Arland adalah seorang cucu kiyai, penerus pesantren yang sangat di hormati. Namun, di balik itu ia memiliki masa lalu yang cukup kelam. Masa lalu Gus Arland ini membuatnya tidak bisa menjalani hidup. Sekitar 10 tahun yang lalu, ia menjalin hubun...