Prolog

19 1 0
                                    

Ada satu laki-laki di sekolah yang begitu menarik perhatiannya, ah bahkan seluruh murid sekolah. Dia salah satu anggota team basket sekolah, sekaligus juga vokalis band sekolah yang bahkan sudah dikenal satu kota.

Sebenarnya dia adalah laki-laki yang biasa saja, seragam sekolah yang di kenakannya selalu saja rapih tanpa cela, atribut sekolah yang tidak pernah hilang satupun, rambut dengan potongan pendek yang tidak perlu lagi ditata berlebih, dan terakhir kacamata minus yang bertengger manis.

Culun, satu kata yang mencerminkan dirinya. Bahkan begitulah sebutan anak-anak kelas saat kami masih duduk dibangku kelas sepuluh.

Dia laki-laki yang cukup pendiam, tidak banyak bicara apalagi berulah. Bagiku, dia itu terlalu indah dan sempurna.

Hidung mancung, bibir sedikit tebal dengan senyuman manis yang sesekali dia perlihatkan, alis rapi dan tidak berlebih, bulu mata yang panjang dan tebal tapi tidak terlalu lentik, juga tatapannya yang selalu teduh dan berkali-kali membuatku terjatuh.

Dia yang di kelas sangat berbeda saat dia berada di lapangan atau pun di atas panggung. Seolah mereka orang yang berbeda, dari pendampilan juga caranya menatap.

Dia seolah-oleh tau bagaimana bersikap juga menempatkan dirinya dalam keadaan yang berbeda. Pesona itulah yang selalu berhasil membuatku semakin mencintainya.

Ini bukan sekedar rasa suka, aku berada di titik tertinggi dalam mencintainya. Tak masalah dia dengan gadis lain, asalkan dia bahagia dan aku selalu bisa melihat senyum indahnya.

Ini tahun ke dua kami di sekolah, dan seperti takdir yang begitu luar biasa, kami lagi-lagi dipertemukan dalam kelas yang sama. Juga lagi-lagi, dia temanku dalam berbagi meja.

Syukurah, banyak menghabiskan waktu di sebelahnya membuatku mulai terbiasa menenangkan perasaan yang selalu membuncah. Degub yang selalu saja menggila saat dia ada dalam sudut pandang bola mataku yang biasa saja.

Tidak kah dia ingin membuka lowongan untuk menjadi kekasih hatinya? Aku akan menjadi yang pertama mendaftar dan mengantri.

Tidak, pastinya aku malah tertolak lebih dulu. Jika begitu, aku akan diurutan terakhir saja.

Tapi, bagaimana jika dia lebih dulu menemukan tambatan hati sebelum giliranku? Baiklah, di urutan tengah saja.

Tidak, tidak! Ah aku tidak tahu. Aku rasa mau berada diurutan berapa pun aku, dia tetap saja akan menolakku. Sebab bukan kepadaku matanya menatap, bukan aku yang dia tuju, pun bukan aku yang hatinya mau.

Kami sangatlah jauh berbeda, aku juga termasuk murid teladan sepertinya di sekolah. Hanya saja dalam cara yang tidak sama.

Aku yang seringkali (hampir setiap hari) datang terlambat dan berakhir hormat bendera, tidak mengerjakan pr matematika hingga harus berdiri di kelas sebelah, melewatkan kelas dengan tidur pulas di ruang kesehatan sekolah, dan juga membersihkan taman belakang sekolah sebab aku seringkali mengerjai guru piket atau pun mahasiswa yang sedang magang.

Bukankah aku murid yang teladan? Jika tidak ada aku maka sekolah pasti terasa membosankan dan monoton untuk semua guru yang ada.

Jarak yang ada sudah memperlihatkan betapa tak mungkinnya aku memiliki dia.

Dia, murid teladan dengan banyak prestasi. Sedang aku, murid teladan dengan banyaknya nama yang terlulis pada buku hitam milik sekolah.

Bahkan dari peringkat kelas pun sudah terlihat jelas, dia yang berada di urutan pertama sedang aku berada di urutan terakhir.

Memang kami duduk bersebelahan dengan jarak yang tidak melebihi setengah meter. Tapi di balik itu, jarak kami terlalu jauh untuk aku tempuh sendiri.

Rasa inginku memiliki dia begitu besar, tapi tidak cukup mengalahkan rasa rendah diri juga sadar diri yang kurasa sejak awal kami berkenalan.

Aku ini tidak cantik, jauh dari kata cantik bahkan. Penampilanku seringkali berantakan dari pada rapi seperti murid teladan.

Pintar? Jangan ditanya seberapa bodohnya otakku ini.

Lalu bagaimana bisa dengan lancangnya aku medamba dia untuk jadi kekasih?

Sudahlah! Lebih baik rasa ini aku pendam saja sendiri.

Mencintai dalam diam pun tidak begitu buruk untuk aku jalani. Lagi pula kami masihlah murid sekolah menengah atas. Masih panjang jalan yang harus kami lalui.

--n.d--

NADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang