Pertemuan Pertama

257 8 2
                                    

Anggap saja aku sudah gila. Ya, gila karena dengan mudahnya menyetujui untuk bertemu lelaki yang baru aku kenal dari media sosial. Padahal kemarin kita hanya berbincang sebentar. Tentang tempat tinggal dan berakhir aku di sini.

Di atas motor yang dikendarai abang ojol menuju tempat yang sudah dipilih oleh lelaki itu. Jheriel, namanya.

Awalnya dia menyerahkan kepadaku untuk mencari tempat nyaman yang akan dijadikan sebagai tempat pertemuan pertama kami, namun aku tak ingin ribet dan membuang waktuku untuk sekedar mencari-cari sebuah kafe ataupun restoran. Meskipun itu dilakukan secara online. Jadi, aku serahkan kembali tugasnya pada dia. Untungnya Jheriel tidak keberatan.

Setelah menerobos panas matahari yang sangat menyengat, akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Sebuah kafe yang terlihat seperti kafe pada umumnya dengan warna putih menjadi warna dominan. Ditambah adanya beberapa tanaman di luar dan yang menjuntai di sebagian dinding terlihat segar di mataku. Well, pilihannya tidak terlalu buruk.

Begitu aku buka pintu kafe, terdengar suara bel dan disusul oleh sapaan ramah dari karyawan membuat aku ikut tersenyum ke arahnya.

"Sebelumnya sudah ada janji, Mbak?"

"Sudah, Mas. Atas nama Jheriel." Aku menjawab sesuai arahan Jheriel kemarin di direct message.

"Oh, baik. Mari saya antar. Di sebelah sini, Mbak." Aku mengikuti langkah pegawai laki-laki yang perawakannya lebih tinggi dariku. Melewati orang-orang yang tengah menyantap makan siangnya, membuat perutku meronta ingin diisi juga.

Aku suka dengan atmosfer di kafe ini. Rasanya sejuk, tenang, damai sekali. Interiornya pun minimalis kekinian dan sangat cocok diajak foto untuk dimasukkan ke media sosial.

"Pak, tamunya sudah datang."

Kita berhenti di salah satu meja yang terletak cukup di pojok dan sudah terdapat satu sosok yang duduk di salah satu kursinya. "Hai."

"Makasih, Di. Nanti saya panggil lagi." Setelah menyapaku, Jheriel berbicara pada pegawai yang berdiri di sampingku.

"Siap, Pak."

"Ayo duduk."

Aku tersenyum dan duduk di kursi yang telah digeser sedikit ke belakang oleh Jheriel. "Terima kasih."

"Sama-sama. Jadi, kamu Syahla ya?"

"Shayla." Aku membenarkan pengucapan namaku. Tidak heran, karena beberapa orang yang bertemu denganku untuk pertama kali, kebanyakan akan salah menyebutkan namaku.

"Ah ternyata Shayla." Jheriel tersenyum malu-malu karena salah menyebutkan namaku. "Mau minum apa? Atau mau sekalian makan siang?"

"Boleh." Tentu tidak akan aku tolak, apalagi sekarang memang sudah waktunya untuk makan siang.

Setelah memesan makanan, Jheriel berdeham pelan. "Kita kenalan lagi kali ya? Kayaknya gak afdal kalau cuma kenalan di Twitter kayak semalam. Soalnya kita cuma saling ngasih tau nama doang." Dan aku mengangguk untuk menyetujui sarannya.

"Di mulai dari gue, ya. Nama panjang gue Jheriel Pamungkas. Lo bisa panggil gue Jheriel tapi kalo kepanjangan panggil Je aja, gapapa. Umur gue tahun ini 30, soon bakal 31. Terus apa lagi ya? Gue bingung juga perkenalan yang bener kayak gimana." Dia terkekeh sebentar. "Gue tinggal sendiri di kota ini dan gue anak tunggal."

Aku mencoba mendengarkannya dengan saksama.

"Oh, ralat. Gue punya kakak kandung cewek, satu ekor. Lupa."

Mendengar itu aku tersenyum geli. Bisa-bisanya ada yang lupa dengan saudara kandungnya sendiri.

"Gue rasa perkenalan gue cukup. Buat info selanjutnya, paling seiring berjalannya waktu, lo bakal tau semua."

Aku mengangguk setuju. "Kalau umur kamu sekarang 30, harus aku panggil apa?"

Jheriel memiringkan sedikit kepalanya. "Emangnya lo umur berapa?"

"Dua puluh lima."

"Wow, masih muda ternyata."

"Gak begitu."

"Mm, apa ya. Gue juga bingung haha." Dia terkekeh lagi. "Tapi gue bebasin, deh, lo mau panggil gue apa asal jangan panggil bapak, ayah, kakek atau yang paling ngeri om. Takut dikira sugar daddy lo. Eh anyway, lo gak keberatan sama jarak umur kita?"

Dengan mantap, aku menggeleng. "Umur kan cuma angka doang." Karena aku sendiri memang tidak terlalu bermasalah dengan jarak umur kita. Apalagi hanya 5 tahun, sepertinya tidak apa-apa.

Aku bisa melihat laki-laki di depanku ini mengangguk puas. "Kalau aku panggil 'Mas', boleh?"

Tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya dia mengangguk tanda setuju. "Kedengerannya seru. Soalnya sama keluarga, gue selalu dipanggil 'adek' terus."

Perbincangan kitapun perlahan mengalir, namun di sela-sela perbincangan, harus terpotong sejenak karena kedatangan seorang pegawai yang membawa pesanan kita berdua.

"Terima kasih, Mbak," ucap aku pada pegawai tadi yang sudah beres menata makanan di atas meja. Begitu pula dengan Mas Jheriel yang ikut mengucapkan terima kasih juga.

"Kita ngobrolnya sambil makan ya?"

"Iya, soalnya aku juga gak bisa terlalu lama di luar."

"Kenapa?"

"Jam satu aku udah harus balik ke kantor."

Mas Jheriel langsung menatapku. Padahal sebelumnya tengah fokus mengaduk makanan miliknya. "Oh, lo kerja?"

Aku membalas menatap Mas Jheriel. "Iya. Dan aku mau nanya kalau seandainya nanti kita jadi bareng, aku boleh tetep kerja?"

Raut kebingungan terlihat sangat jelas di wajah Mas Jheriel. "Why not? Nikah sama gue gak akan jadi penghalang kebebasan lo. Gue bakal bebasin apa yang pengen lo lakuin, asal lo masih tau batas wajarnya. Tapi gue juga pengen nanya. Kalau gue tiap hari diem di rumah, lo gapapa?"

Aku semakin menatap dalam Mas Jheriel. Setelah menikah, apakah kehidupan kami ini akan seperti warga Ciraos yang ada di sinetron salah satu stasiun televisi?

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang