Sebenarnya kehidupanku setelah resmi menjadi istri dari seorang Jheriel Pamungkas tidak jauh berbeda dengan kehidupan seorang Shayla yang dulu. Bedanya mungkin, jika dulu aku tinggal di sebuah indekos berukuran kecil, maka sekarang, aku tinggal di rumah sederhana dengan 2 lantai. Ah tidak. Rumah Mas Je ini tidak bisa dikatakan sederhana juga.
Kemudian, perbedaan lainnya adalah jika dulu aku terbiasa melakukan pekerjaan rumah seorang diri, maka kini aku merasa mempunyai pasukan baru.
Seperti sekarang, setelah kita berdua beres menyelesaikan sarapan, Mas Je akan langsung membawa piring-piring kotor yang ada di meja ke wastafel untuk dia cuci. Sekaligus dengan semua perabotan yang tadi aku gunakan untuk memasak.
Setiap hari Mas Je akan begini karena di malam saat hari pernikahan kita, Mas Je berkata aku tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah, biar dirinya saja yang melakukan semua mulai dari mencuci piring, mencuci baju, menjemur pakaian, menyapu, dan menyiram tanaman di depan rumah akan dikerjakan seorang diri. Awalnya aku menolak, aku juga sudah mengusulkan untuk membagi tugas sama rata saja.
Tapi Mas Je berkata, "Dari pagi sampe sore kan kamu udah capek kerja di kantor, Shay, masa aku harus diem aja ngebiarin kamu capek ngerjain kerjaan rumah juga?" Dan Mas Je juga berkata dirinya sendiri tidak keberatan karena dia sudah terbiasa melakukan itu semua setiap hari sebelum menikah denganku. Dan tugasku di rumah ini hanya memasak dan menyetrika pakaian karena Mas Je paling tidak suka menyetrika. Alasannya panas. Setiap kali menyetrika maka tubuhnya akan berkeringat hebat membuat Mas Je harus kembali mandi.
Setelah mengambil tas, aku kembali ke dapur untuk berpamitan pergi bekerja. "Mas, aku berangkat sekarang, ya?"
Mas Je sempat menoleh sebentar. "Oh iya, Shay, hati-hati ya. Kartunya aku simpen di atas meja deket tv kalo gak salah."
Sudah seminggu menjadi istri sah Mas Je dan seminggu itu pula aku berangkat pergi ke kantor menggunakan mobil dia. Lebih tepatnya dipaksa membawa. Sampai-sampai teman sekantorku banyak yang kebingungan ketika melihat aku yang biasanya datang menggunakan ojek online kini datang membawa mobil Tesla model X yang harganya membuat perutku mulas serta kepalaku pening.
Memang, setelah menikah, aku tidak libur bekerja. Kita menikah di hari Minggu tepat tanggal 1 Januari 2023. Dan pada hari Seninnya aku tetap masuk bekerja seperti biasa, karena di tempat kerjaku tidak memberi libur tahun baru. Bahkan sepertinya kantorku tidak mengenal apa itu hari libur. Mas Je juga mengatakan tidak apa-apa jika aku tidak bisa mengambil cuti. Toh saat dia menawarkan untuk liburan (atau yang dimaksud Mas Je adalah honeymoon) aku tidak tahu tempat mana yang harus kita tuju. Begitupun dengan Mas Je, jadi ya sudah aku bekerja, sementara Mas Je diam di rumah.
Untungnya pernikahanku tidak ada resepsi yang kata orang-orang sangat melelahkan itu. Jadi pada Minggu pagi kita melangsungkan akad, lalu dilanjut dengan agenda makan siang bersama dengan keluarga dan teman-teman terdekat kami. Setelah itu saat sore harinya, Mas Je mengantarkan aku untuk mengambil barang-barang dari indekos lamaku untuk dibawa ke rumahnya. Beruntung, selama ini aku tidak mempunyai banyak barang sehingga sebelum langit gelap, kita sudah merebahkan diri di atas kasur di kamar Mas Je. Sebuah acara pernikahan yang sangat aku idamkan.
Sebab di dalam pikiranku, untuk apa melangsungkan pernikahan mewah hingga harus mengeluarkan beratus-ratus juta untuk satu hari saja. Akan lebih baik jika uangnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan selama 'perjalanan' setelah pernikahan itu, ya kan? Yang terpenting, kita sudah sah di mata agama dan hukum, orang-orang mengetahui bahwa kita sudah menjadi sepasang suami-istri dan merayakannya hanya dengan orang-orang terdekat agar terasa lebih intim.
***
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯
Jangan tanyakan mengapa Mas Je mengirim pesan kepadaku lewat aplikasi Twitter. Alasannya, tentu saja kita belum punya nomer ponsel masing-masing. Jadi selama ini cara kita berkomunikasi ya lewat Twitter tapi itu pun sangat jarang. Karena biasanya jika kita perlu berbincang, maka kita akan bertemu secara langsung. Apalagi sekarang kita sudah satu rumah jadi jika ada yang ingin aku atau Mas Je katakan, ya, kita katakan saat berada di rumah.
Namun jika sebelum menikah, Mas Je lah yang akan menghampiriku terlebih dahulu. Entah pergi ke depan indekosku yang dulu atau menjemputku saat aku selesai bekerja.
Sesuai dengan request dari Mas Je, malam ini aku memasak pasta. Dan tepat saat aku menyelesaikan kegiatan memasak, Mas Je keluar dari kamar di mana tempat kekasihnya selama ini berada. Tentu, kekasihnya itu bukan berbentuk manusia. Melainkan sebuah komputer.
Kenapa aku menyebutnya kekasih Mas Je? Karena Mas Je rela menghabiskan seluruh waktunya di dalam sana bersama komputer itu. Mungkin sebelum menikah denganku, 24 jamnya ia habiskan di depan komputer.
"Wangi banget sih," seru Mas Je yang kini sangat terlihat senang saat aku menyodorkan sepiring pasta dengan topping udang di hadapan dirinya.
"Boleh aku makan sekarang, Shay? Udah laper hehe." Mas Je menyengir ke arahku yang masih sibuk menyimpan teflon serta mengambil minum untuknya dan tentu untuk diriku sendiri.
"Boleh. Jangan lupa berdoa dulu."
Mas Je menurut, dia buru-buru berdoa dan langsung menyantap hasil masakanku.
"Wah masakan seorang Shayla emang gak pernah gagal." Setelah menelan suapan pertamanya, Mas Je berkata seperti itu sembari mengacungkan kedua jempolnya. "Not gonna lie, ini enak banget. Lebih enak dari pasta yang ada di kafeku."
Iya, dia memiliki sebuah kafe. Kafe yang menjadi tempat pertemuan pertamakku dengannya.
"Syukurlah, soalnya ini kali pertama aku bikin pasta lagi."
"Kamu belajar masak di mana sih, Shay?"
"Di rumah aja. Sama ibuku."
Mas Je hanya mengangguk tanpa memperpanjang obrolan itu karena dia tahu itu akan menjadi bahasan yang sensitif bagiku.
Dan setelahnya, dia hanya fokus memakan makanannya, begitupun dengan aku. Hingga akhirnya aku merasa terganggu oleh garukan Mas Je pada tubuhnya sendiri.
Awalnya hanya sesekali dan aku berpikir dia gatal karena gigitan nyamuk. Namun setelah tersadar kalau sedaritadi aku tidak melihat hewan itu terbang di sekeliling kita berdua, aku asumsikan dia gatal bukan karena gigitan nyamuk. Bahkan sekarang garukan Mas Je sudah mencapai leher hingga muka.
Saat aku memperhatikan lekat tubuhnya, betapa terkejutnya aku melihat badan Mas Je merah-merah disertai bentolan-bentolan kecil. Meskipun tidak banyak, tapi itu tidak bisa dibilang sedikit juga.
"Mas? Kenapa?"
Dengan senyum kalem dan tetap menyuap sesendok pasta dia berkata, "Alergiku kambuh kayaknya. Aku pikir makan satu udang gapapa, ternyata-"
"Apa-apa!" Potongku.
"Iya, ternyata kambuh tapi gapapa. Cuma makan satu." Pantas saja, udangnya dia singkirkan di pinggiran piring.
"Ya ampun, Mas." Segara aku berdiri dan berjalan untuk menghampirinya. "Apanya yang gapapa? Itu badan merah-merah."
"Aku gapapa, Shay. Cuma gatel."
CUMA KATANYA?!! ASTAGA BISA-BISANYA.
Bisa-bisanya dia masih bisa terlihat santai disaat berhasil membuatku panik dan merasa gagal menjadi istrinya. Walaupun aku baru menyandang status itu selama satu minggu lewat satu hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With Me
ChickLitPerasaan kosong, kesepian, takut, dan ingin hilang dari Bumi adalah hal yang selalu ingin aku lupakan. Tapi nyatanya, mereka selalu kembali datang. Lagi dan lagi. Kadang kala ingin menyerah, namun aku masih waras untuk tidak mengakhiri hidup dengan...