Sania terkejut melihat keberadaan Sofia di kamarnya. Apalagi melihat laci meja riasnya terbuka.
"Sofia apa yang kamu lakukan di kamarku?" tanya Sania dengan nada tinggi. Ia baru saja selesai mandi.
Sofia terkejut mendengar teriakan Mbaknya hingga tubuhnya melonjak, matanya melebar seketika. Ia membalikkan badan ke arah Sania.
"Ma ... maaf, Mbak, tadi aku bermaksud pinjam sisir tapi karena tidak ada aku mencari di laci."
"Lancang ya kamu, mentang-mentang sudah sukses tidak mengharga privacy orang yang lebih tua." Sania terlihat marah, ia melempar handuk yang dipegang ke arah Sofia
"Maaf, Mbak, bukan maksudku begitu."
"Ah sudah. Sana keluar!" Sania mengusir Sofia sambil menunjuk pintu kamar. Secara perlahan Sofia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Baru kali ini Sania marah ke adiknya. Keadaan dirinya saat ini membuat emosinya labil. Ia yakin Sofia sudah melihat obat yang tersimpan di laci.
Semenjak kejadian tersebut hubungan antara Sofia dan Sania menjadi hambar. Mereka saling menghindar bila berada dalam satu tempat. Saat Sania berada di dapur, Sofia lebih baik menunggu Sania keluar dari dapur. Komunikasi mereka juga terbatas. Mereka hanya bicara saat sangat perlu itupun cuma secukupnya saja. Perubahan sikap itu dirasakan Utari.
"Sania, Sofia, ada yang ingin ibu bicarakan," ucap Utari saat mereka makan malam bersama.
"Ibu lihat kalian tidak pernah saling bertegur sapa apalagi mengobrol, ada apa?"
Sania dan Sofia diam saja. Sania mengaduk-aduk makanan yang berada dipiringnya, pandangannya mengarah ke isi piring. Sofia menghentikan makan dan mengambil segelas air putih yang berada di dekatnya kemudian meminumnya, ia menghela napas sejenak.
"Bu, maafkan kami," ujar Sofia pada akhirnya.
"Ada apa, Sofia?" Utari memandang tajam ke arah kedua putrinya secara bergantian. Sania masih membisu. Ia menghentikan aktivitas tak pentingnya itu. Dalam hati Sania merasa khawatir seandainya Sofia menceritakan tentang obatnya.
"Kami ada perbedaan pendapat sedikit tentang agen dan travel." Sofia terpaksa berbohong untuk menutupi keadaan Mbaknya. Sania mengambil napas panjang. Hatinya merasa lega dengan ucapan adiknya itu.
"Kenapa tidak kalian bicarakan secara baik-baik, toh semuanya demi kabaikan kalian berdua." Utari menghentikan pembicaraannya. Ia meneguk air putih sejenak.
"Kalian cuma dua bersaudara, kalau tidak akur suatu saat ada apa-apa, siapa yang akan menolong kalau bukan saudara sendiri?" lanjut Utari.
Utari merasakan bagaiaman sedihnya kala dibuang dari keluarga. Ketika ada masalah ia tidak mempunyai teman untuk mengadu. Rasa sesak dan pedih ia tanggung sendiri.
Makan malam itu berakhir dengan hambar. Mereka saling berdiam diri sampai Utari meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makanannya. Sofia buru-buru menghabiskan makanannya. Keadaan sulit yang dulu ia alami membuatnya tidak pernah menyisakan makanan.
Sania bangkit dari duduknya, mengambil bekas makan Utari dan membawa piring itu ke tempat cuci piring. Selera makannya mendadak hilang. Sama dengan Utari, ia tidak menghabiskan makanannya.
Keesokan harinya Sania melihat Sofia sedang memasak. Ia segera mendekati.
"Sofi, Mbak minta maaf," ujarnya lirih.
Sofia menghentikan mengaduk nasi goreng di wajan. Ia menoleh ke arah Sania. Bibirnya melengkung membentuk senyum.
"Aku yang minta maaf, Mbak. Sudah lancang."
"Mungkin kamu sudah cari info tentang sakit Mbak dari obat yang kamu lihat."
Sofia terdiam. Ia kembali mengaduk nasi goreng yang sebentar lagi matang. Setelah melihat obat Sania kala itu, Sofia segera mencari informasi tentang obat itu lewat internet. Ia terkejut mengetahui tentang obat itu. Didorong rasa penasaran Sofia terus mencari informasi tentang penyakit HIV yang diderita Sania.
Nasi goreng sudah matang. Sofia menuang nasi itu ke dalam tiga piring. Aroma lezat dari nasi berbumbu itu menguar menggoda selera. Setelah meletakkan ketiga piring nasi tersebut, Sofia membuat teh hangat tiga gelas.
Sania duduk di kursi makan. Ia berdiam diri seolah melamun, sementara adiknya sibuk menyiakan sarapan. Bukannya ia enggan membantu Sofia, tetapi dirinya merasa gundah. Ia ingin menceritakan semuanya ke Sofia. Namun, ia bimbang. Sania takut jika Sofia menceritakan keadaan dirinya ke ibu.
Dirasa sarapan sudah siap, Sofia menuju kamar Utari bermaksud mengajaknya sarapan. Sampai depan pintu yang tidak tertutup, Sofia melihat Utari masih tidur. Napasnya terlihat teratur dari pergerakan naik turun dada. Matanya terpejam seolah erat. Sofia urung membangunkan ibu. Kemudain ia berbalik ke ruang makan.
"Sarapan dulu saja yuk, Mbak, Ibu masih tidur."
Sofia menarik kursi memberi jarak dengan meja makan agar leluasa untuk duduk. Di raihnya gelas berisis teh manis hangat itu. Ia meneguk sedikit demi sedkit sambil menikmati rasa manis dan sepat khas dari teh.
"Sudah lama Mbak Sania menderita sakit itu?" Sofia memandang ke arah Sania.
Tatapan mata Sania terlihat murung, dahinya sedikit berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Belum lama. Aku tahunya saat kita mau donor darah itu."
Mendengar pengakuan Mbaknya, Sofia menerka barangkali kala itu Sania tidak jadi donor karena terdeteksi terkena virus HIV.
"Jadi itu alasan Mbak enggak bisa donor?" tanya Sofia memastikan.
Sania mengangguk. Ia menghentikan sarapannya yang masih separo.
"Tapi tolong jangan bilang ke ibu ya, aku tidak tega jika ibu tahu."
Tiba-tiba Utari muncul di ruang makan. Ia langsung memeluk Sania.
"Sania maafkan Ibu telah menjerumuskanmu dan sekarang menderita sakit seperti itu."
Dua bersaudara itu terkejut dengan kedatangan ibu mereka yang tak diduga.
"Jadi Ibu mendengar pembicaraan kami?" tanya Sofia. Kecemasan tersirat dari nada bicaranya. Sedangkan Sania hanya duduk termangu.
"Ya, Ibu sudah mendengar semuanya, tadi ... waktu Sofia ke kamar ibu tahu, tapi mata ibu rasanya masih lengket. Tapi akhirnya ibu bangun karena tidak ingin melewatkan sarapan bersama kalian, dan ibu mendengar semuanya," jelas Utari di selingi isakan kecil. Ia duduk di kursi biasanya di hadapan mereka berdua.
Sania tak dapat menahan air mata yang mendesak keluar. Menurutnya hal ini bukan murni kesalahan ibu. Waktu itu ia tergiur dengan tawaran Om Hermawan untuk menjadi foto model yang merupakan cita-citanya sejak kecil. Andai kata ia tidak menurut kata-kata ibu dan memilih jalan hidup yang lurus seperti adiknya hal ini tidak akan terjadi.
*bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Nista, Meraih Asa
RomantizmSofia, seorang wanita karier yang sedang berada di puncak kariernya harus kandas kisah cintanya karena orang ketiga yang menghalanginya. Siapa sangka gadis yang meniti kariernya dari bawah dan mengadu nasib di Jakarta usai SMA ini dulunya akan "diju...