Senandung ketujuh

271 59 2
                                    

Hangga...ganti mobil lagi?

Aku memandang mobil Honda accord warna silver platinum di depanku. Hangga yang baru saja membuka pintu mobil, menatapku bingung.

"Kenapa, Al?"

"Ini..mobil lu?" Pertanyaan bego. Tentu saja ini mobil dia, Alyssa. Lu kira mobil orang lewat? Rutukku dalam hati.

"Iya." Hangga masih bingung menatapku. Seakan aku ini mahluk aneh luar biasa dungu.

"Mobil lu...yang kemaren? Kemana?"

"Ada. Lagi kepengin pakai yang ini, oro po po kan? Soalnya mobil yang satu lagi agak rusak ac-nya. Kurang dingin."

"Oh.." Aku manggut-manggut. "Emang elu punya mobil berapa sih?" Pertanyaanku persis cewek matre yang lagi menyelidiki cowok gebetannya. Biar bisa diporotin.

"Yang sering aku pakai dua. Yang kemarin, sama mobil yang ini."

Hangga...ternyata elu bener-bener orang kaya ya. Jam tangan Patek Philippe. Kendaraannya mobil sedan. Ya ampun, jauh banget sama duniaku selama ini.

Paling banter ke mana-mana naik motor. Kalau mau nyobain naik mobil, pesan taksi online. Sekarang, cowok di sebelahku ini dengan santainya ngomong. Kalau dia ada dua mobil yang jadi kendaraan dia sehari-hari.

Aku jadi teringat motor matik Bang Rino yang biasa buat ngojek online. Atau motor king Bang Timo, yang knalpotnya berisiknya minta ampun. Kalau kedua motor itu dijual, kira-kira mobil kayak punya Hangga ini kebeli gak ya?

"Sabuk pengamannya dipakai, Al." Tiba-tiba saja Hangga mencondongkan tubuhnya kearahku, meraih sabuk pengaman di sampingku dan memasangkannya ke tubuhku.

Aku yang tidak fokus tidak mengira Hangga bakal mencondongkan tubuhnya sedekat ini padaku. Hingga aku gak sempat mengelak.

Aku menahan napas. Mencium wangi parfum yang dipakai Hangga. Aku bahkan bisa merasakan panas napasnya menerpa pipiku. Tubuhku mendadak kaku.

Lalu Hangga mengangkat wajahnya, dan kini wajah kami berdua saling berhadapan. Dekat sekali! Ini terlalu dekat!

"Enngg...Hangga. Ac mobilnya nyalain dong, panas nih. Gerah gue." Aku mencoba menekan kegugupanku. Sialan Hangga. Ngapain sih dekat-dekat begini? Membuat jantungku berantakan.

"Oh...oke." Hangga terbatuk kecil. Menjauhkan wajah dan tubuhnya dariku. Aku menarik napas lega, hanya Tuhan yang tahu betapa gugupnya aku tadi!

Bahkan suasana canggung ini berlanjut sampai mobil menggelinding, meninggalkan parkiran sekolah.

Ini bukan kesengajaan Alyssa, Hangga cuma mau membantumu memasang sabuk pengaman. Tidak ada maksud apa-apa. Jadi jangan geer, menganggap Hangga cari-cari kesempatan! Kataku dalam hati.

Aku melirik Hangga yang sedang serius memegang kemudi. Matanya fokus ke jalan. Wajah dan sikapnya terlihat tenang, membuatku lega dan yakin kalau tadi memang tindakan spontan. Bukan suatu kesengajaan atau hal yang sudah direncanakan oleh Hangga.

Hangga itu cowok kalem dan alim, Al. Gak baik kamu punya prasangka buruk dengannya. Dia bukan jenis cowok kurang ajar yang suka cari kesempatan colak colek cewek. Atau main peluk seenaknya. Hangga tidak seperti itu.

Melihat sikap tenang Hangga, entah kenapa membuatku merasa bersalah. Sudah punya pikiran buruk padanya.

"Hangga, tadi ngapain ketemu sama Pak Zammy?" tanyaku mencoba memecah kecanggungan di antara kami berdua.

"Diminta Pak Zammy untuk bantu membimbing adik kelas, yang mau ikut lomba olimpiade matematika dua bulan lagi."

Guru matematika kelasku dan Hangga memang beda. Kalau aku diajar Bu Turi. Guru matematika di kelas Hangga adalah Pak Zammy.

Dan aku baru ingat, tahun lalu Hangga pemenang olimpiade matematika tingkat nasional. Bahkan pernah mewakili sekolah dan negara, untuk ikut lomba olimpiade matematika di Thailand. Meski cuma menyabet juara ketiga. Tapi otak Hangga memang juara. Dengar-dengar IQ nya 140!

Tapi tampang Hangga tidak seperti tipe murid kutu buku yang culun. Meski ia mengenakan kaca mata minus, tapi itu malah tidak membuat ia terlihat cupu. Ia masih terlihat tampan.

Ia tipe cowok pintar bertampang keren. Eh, kenapa aku jadi melakukan penilaian padanya ya?

"Memangnya, siapa saja tahun ini yang bakal mewakili sekolah kita ikut olimpiade matematika?"

"Fadil, Syahir sama Diana." jawab Hangga. "Kamu kenal?"

"Nggak. Itu semua anak kelas dua ya?"

"Yups. Adik kelas kita."

Kecanggungan di antara kami berdua akhirnya menguar. Hangga memarkirkan mobilnya di tempat yang aku tunjukan. Saat aku membuka pintu mobil, ia ikut membuka pintu mobil juga dari sisinya.

"Elu mau ngapain?" tanyaku melihat ia juga bersiap-siap turun dari mobil.

"Mau mampir ke rumahmu."

"Numpang minum?"

"Sama makan kalau boleh."

"Tapi di rumah gue gak ada siapa-siapa. Abang-abang gue semuanya kerja. Di rumah gak ada yang masak. Paling yang ada cuma mie instan doang."

"Ndak apa-apa. Kita beli saja, bagaimana?"

Duh, kenapa tadi aku ngomong di rumah tidak ada orang ya? Padahal berharap setelah tahu di rumahku tidak ada siapa-siapa, Hangga bakal batal buat mampir.

Tapi ini bukannya batalin niatnya, malah mengusulkan untuk beli makanan di luar. Kalau sudah begini, gimana mau ngusirnya coba? Karena aku juga laper dan gak keberatan ditraktir makan!

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang