7G

6 1 0
                                    

03.11

Dean mengikuti jalur setapak yang mengarahkannya menuju danau. Di ujung sana, sosok wanita dengan dress hijau tua sedang berdiri di atas dek kapal rakitan yang ditautkan ke tiang kayu. Dean tidak mungkin salah mengenali tubuh kurus jangkung dan rambut merah lurusnya. Wanita itu adalah Irine. Ia sedang menunduk dan memasukkan tangannya ke dalam permukaan air seperti biasa. Cahaya matahari menyinari kulit wajahnya. Sementara tatapannya yang kosong menelunsuri permukaan air di danau yang tenang. Hingga detik itu Dean masih bertanya-tanya apa yang begitu menarik tentang air danau, kenapa Irine begitu gemar menatapnya? Dan kemana pikiran wanita itu pergi ketika sedang menatap permukaan danau? Dean akan mencaritahunya nanti. Sekarang yang terpenting adalah memikirkan cara untuk keluar dari tempat itu - dan sedikit makanan jika ia beruntung. Perutnya sangat kelaparan. Dean lupa kapan terakhir kali ia makan.

Sembari menatap ke sekeliling, Dean berjalan mendekati danau sembunyi-sembunyi. Meskipun langkahnya tidak bersuara, tetap saja wanita itu langsung menyadari kehadirannya bahkan ketika Dean masih beberapa meter jauhnya dari tepian danau. Irine memincingkan kedua mata saat menatapnya. Emosinya sulit untuk dibaca. Namun, gerak-geriknya mengisyaratkan kalau wanita itu ikut merasa gelisah karena sekarang Irine menatap ke sekitarnya, mungkin hendak memastikan tidak ada seseorang yang melihat mereka disana, sebelum memutuskan untuk turun dari atas dek dan mendekatinya.

"Kenapa kau kembali?"

Dean sudah dapat menebak Irine akan mengajukan pertanyaan itu, hanya saja rasanya aneh mengetahui kalau tebakannya terbukti benar.

"Aku butuh bantuanmu lagi," ucap Dean tanpa mengindahkan pertanyaan terakhir Irine. "Apakah ada cara lain untuk keluar dari tempat ini? Aku tidak bisa menempuh jalur hutan, terlalu berbahaya. Aku tidak ingin kembali kesana. Jadi, apa ada jalan lain menuju posko terdekat?"

Tatapan Irine terarah lurus melewati kedua bahu Dean. Secara naluriah, Dean memutar wajah untuk melihat apa yang sedang diamati wanita itu, tapi di belakang sana tanahnya tampak kosong. Angin yang berembus pelan menyapu dedaunan dan semak-semak liar. Suara gemerisiknya terdengar sampai ke telinga Dean. Kemudian suara itu disusul oleh ketukan pelan rangka perahu yang meyentuh permukaan danau. Dean melirik ke dalam dek untuk melihat apa yang tersembunyi disana - tidak ada apapun kecuali sepasang kayuh, ember kosong, dan jangkar yang diselimuti lumut.

"Bagaimana?" tanya Dean ketika Irine tidak kunjung menjawabnya.

"Kau membawa seseorang bersamamu," ucap Irine, pelan.

Langsung saja Dean paham apa yang tengah dipikirkan Irine saat tatapan wanita itu yang kosong bergerak melewati pundaknya. Wanita itu entah bagaimana punya intuisi yang kuat untuk mengetahuinya.

"Ya."

"Siapa wanita ini?"

Hening. Dean memincingkan kedua matanya saat menatap Irine, merasa ragu-ragu, tapi kemudian menjawab, "istriku."

"Bree tidak akan senang melihatnya."

"Bree sudah melihatnya, dan dia benar-benar akan membunuhku kali ini."

"Jadi kenapa aku? Kau pikir aku tidak akan membunuhmu?"

"Tidak," jawaban itu sudah ada di ujung lidah bahkan sebelum Dean sempat memikirkannya. "Kau membantuku keluar dari ruangan itu, kau akan membantuku kali ini. Kumohon.."

Irine berdiri diam untuk waktu yang lama sampai Dean mulai khawatir kalau ia telah mengambil tindakan yang salah dengan menemui wanita itu. Tapi kemudian Irine membalikkan tubuh dan menunduk untuk meraih peti kayu kecil yang disembunyikannya di atas dek. Hingga detik itu Dean tidak sadar kalau peti itu sudah ada disana. Kini wanita itu mengapitnya di atas lengan, kemudian berbalik untuk mengatakan, "ada tempat berlindung di seberang danau. Tidak jauh dari sana ada pintu keluar. Pintu itu biasanya ditutup bagi pengunjung asing, tapi aku tahu seseorang yang bisa membukakannya untukmu. Selama kau mau menuruti perintahku, kalian akan keluar dari tempat ini dengan selamat."

FORBIDDEN PLACE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang