DAY 8

6 1 0
                                    

02.30

"Apa kau melihat sesuatu?"

Dari dekat jendela, Dean mendegar Nikki berbisik di belakangnya. Wanita itu kemudian mendekat dan berhenti sampai di belakangnya. Satu tangan Nikki bertengger di atas pundaknya. Wanita itu kemudian berjinjit hingga Dean merasakan nafas Nikki di atas tengkuknya. Kalau Nikki berada sedekat itu, bisa-bisa Dean kehilangan fokusnya. Sementara itu cahaya lilin di kejauhan menari-nari dalam kegelapan malam. Cahaya itu datangnya dari arah pondok milik keluarga Bree. Samar-samar Dean melihat satu atau dua oang berkeliaran disana, tapi jaraknya terlalu jauh untuk dapat mengenali wajah mereka satu persatu. Yang pasti Dean mendengar suara tawa yang menggantung di tengah kegelapan dan sebuah musik yang dimainkan. Seseorang sedang berjalan di tepian danau sembari menggenggam gelas di satu tangannya. Dress biru pucatnya terjuntai memanjang. Ketika wanita itu berjalan, bagian bawah dress-nya menyapu permukaan tanah berumput. Hanya dengan mengenali bentuk lengannya yang panjang, Dean sudah dapat menebak kalau wanita itu adalah Irine.

Ia sedang menghindari kerumunan seperti biasanya. Sesekali wanita itu melongokkan wajah ke arah gudang seolah-olah wanita itu sedang mengawasi mereka dari kejauhan.

"Aku melihat Irine di seberang danau. Dia selalu melakukan itu."

"Melakukan apa?"

"Berjalan di danau pada tengah malam."

Nikki berjinjit lebih tinggi untuk mengintip keluar dari balik bahu Dean. Tubuhnya menempel semakin erat hingga Dean dapat merasakan payudara wanita itu menggesek punggungnya sedang nafas hangat Nikki menggelitik tengkuknya.

"Nik, bisa mundur sedikit, aku perlu menjaga pikiranku tetap waras untuk beberapa menit kedepan."

Nikki tertawa geli setelah mendengarnya, tanpa berbalik Dean mulai membayangkan wajah Nikki yang memerah karena malu.

"Kenapa hanya beberapa menit? Apa perbedaannya?"

"Tidak, lupakan saja! Aku merasa bodoh sejak kau datang kesini. Kau seharusnya membiarkan aku mati di tempat ini sendirian."

Alih-alih menjauh, Nikki justru mendekat sembari melingkari lengannya ke seputar pinggul Dean, dan berkata, "Tidak, kau tidak bodoh. Aku tidak menikahi laki-laki bodoh. Dan.. aku tidak akan membiarkanmu mati sendirian disini setidaknya sampai rumah itu terjual."

Dean mendengus keras. Rahangnya ditarik saat ia tersenyum lebar. "Hmmm.. terima kasih, senang mendengarnya."

Nikki tersenyum, tapi kemudian meninggalkan topik itu dengan cepat dan bertanya, "apa lagi yang kau lihat? Kau melihat orang lain?"

"Ya beberapa orang, kelihatannya mereka mengadakan pesta besar."

"Hmm.. aku bisa mencium bau wine, daging yang dipanggang.."

"Persis sekali!"

"Kutebak mereka semua berkulit putih?"

"Aku tidak yakin, tapi kurasa begitu."

"Apa yang akan kita lakukan sekarang? Apa kita hanya akan menunggu Irine?"

"Ya," sahut Dean kemudian berbalik. Menggunakan satu tangannya ia mengusap bagian belakang kepala Nikki, tiba-tiba teringat kalau dulu ia sangat suka melakukannya. Untuk sejenak, wanita itu terpaku. Reaksi Nikki mengatakan kalau wanita itu menyambutnya, tapi Dean sudah berjanji pada dirinya kalau ia akan memperlakukan wanita itu dengan hormat. Meskipun rasanya konyol untuk tetap berpikir rasional ketika kebutuhan alaminya terasa mendesak untuk dipenuhi, tetap saja Dean menuruti apa yang dikatakan akal sehatnya.

Kali ini harus berbeda, pikirnya.

Jika ia benar-benar berniat untuk memperbaiki hubungan mereka, maka seharusnya hubungan itu dilandaskan oleh elas kasih dan rasa hormat, bukannya nafsu birahi semata.

"Tidur," ucap Dean setelah lama tertegun memandangi kedua mata Nikki yang berkilat geli. "Kau membutuhkannya. Aku akan mengawasi semuanya selagi kau tidur."

"Tidak, aku tidak mau."

"Kau tidak harus mau. Kau akan tidur karena kau membutuhkannya."

"Bagaimana denganmu? Kau juga butuh tidur. Lihat dirimu! Kau kacau sekali, Dean."

Dean tersenyum lebar dan memperlihatkan sederet giginya yang rata. Entah bagaimana rasanya aneh memikirkan situasi itu. Tidak makan dalam porsi yang cukup, tidak mendapat tidur yang layak, tiga hari tanpa air sabun dan pasta gigi, baunya pasti sudah tercium seperti sampah, Dean sampai heran ketika Nikki tidak menyinggungnya.

"Tidak apa-apa," ucap Dean. "Aku masih bisa bertahan beberapa hari lagi. Sekarang tidur, waktumu tidak banyak."

Wanita itu enggan membantah. Alih-alih ia berjinjit untuk mencium wajah Dean kemudian berbalik pergi dan menghilang di balik sekat dinding. Setelah memastikan Nikki tertidur, Dean berdiri diam di dekat jendela, kedua matanya yang terjaga terus menatap keluar. Meskipun rasa kantuk kian menguasainya, ia mengingatkan dirinya untuk bertahan, setidaknya sampai mereka benar-benar aman.


FORBIDDEN PLACE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang