8A

6 1 0
                                    

05.30

Seseorang sedang berjalan mendekati gudang. Dean menyadarinya dengan cepat begitu mendengar suara gesekan pelan rumput di sekitar tempat itu, kemudian yang dinanti-nantinya sudah tiba. Seseorang mengetuk pintu gudang dengan pelan. Dean menghitung jumlah ketukannya dalam diam. Tiga ketukan. Irine.

Dengan sedikit tergesa-gesa, Dean berjalan mendekati pintu. Di belakang Nikki memberikan anggukan singkat sebagai isyarat. Kemudian Dean memantapkan diri sebelum menggeser pintu gudang hingga terbuka dan ia menyaksikan wajah Irine muncul di depan pintu. Wanita itu menatap ke sekitar sebelum melambaikan tangannya di udara, meminta Dean dan Nikki untuk keluar dari sana.

Mereka menurutinya dengan cepat. Nikki dengan cepat mengimbangi langkah hingga sampai di sampingnya, sementara Irine memimpin di depan, Dean terus mengawasi wanita itu dari belakang. Irine membawa sebuah ember kosong berisi tali, entah apa yang direncanakan wanita itu dengan alat itu. Rambutnya yang terjuntai memanjang di belakang bahu bergerak kala tertiup angin. Hutan tampak hening seperti biasanya, kecuali karena suara gesekan daun yang sesekali tertiup angin. Permukaan tanah yang dilalui mereka tampak basah, embun belum sepenuhnya mencair, dan cahaya matahari masih mengumpat di ufuk langit.

Dean berjalan menyusuri hutan dengan tenang, bertanya-tanya apa senjata yang dikumpulkan Nikki di dalam tas hitamnya itu saja cukup. Kemudian ia berusaha mengingat-ingat percakapannya dengan Nikki semalam. Dean sudah mengulangnya selama beberapa jam, memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapan saja selagi Nikki tertidur di atas sofa. Kedua matanya tertutup rapat, nafasnya berembus dengan teratur. Wanita itu tidur dengan pulas, Dean sampai tidak tega membangunkannya, tapi waktu mereka hanya sedikit dan kalau mau selamat mereka harus memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin. Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Setidaknya otot-ototnya dapat mengendur dengan tenang.

Dean menatap Nikki sesekali, melihat ketegangan dalam raut wajah wanita itu dengan jelas. Di atasnya dua ekor burung mangpie saling berkejaran. Hewan itu sesekali mengeluarkan suara kicauan yang terdengar memekakan. Sementara itu, di depan mereka, kabut putih tebal menyelimuti danau. Meskipun begitu, samar-samar Dean masih melihat permukaan airnya yang menggenang tenang. Ada dua perahu rakit yang ditautkan di tepian. Satu di antaranya adalah perahu yang sama seperti yang dilihat Dean kemarin. Sementara satu yang lain tampak asing. Seorang wanita berkulit hitam dengan kain coklat tua yang membalut tubuhnya secara asal, dan juga topi yang menutupi kepalanya, terlihat sedang menunggu di tepi danau. Wanita itu masih muda, usianya mungkin masih belasan. Tingginya tidak lebih dari setarus lima puluh lima senti, tubuhnya kurus, sepasang matanya yang besar menatap kosong ke arah mereka sedangkan mulutnya tertutup rapat. Dean kemudian langsung mengingat kalau wanita itu adalah penduduk pribumi yang kali pertama diajaknya berbicara. Ia juga wanita yang membantu Dean mengobati lukanya. Menilai dari gesturnya yang tampak canggung, gadis itu kelihatannya bekerja untuk melayani Irine.

"Jangan khawatir," bisik Irine pelan ketika mereka mendekati danau. "Dia Nintiar, pelayanku. Dia tidak akan mengatakan apapun pada siapapun."

Nintiar. Dean mengulangi nama itu dalam benaknya, berusaha mengingatnya ketika berjalan mendekati danau. Begitu sampai disana, Irine mengatakan sesuatu dalam bahasa pribumi yang membuat si gadis berkulit hitam mengangguk-angguk pelan. Kemudian si gadis berjalan mendekati perahu untuk melepas tali yang menautkannya pada batang kayu. Ia melakukannya dengan cepat, seolah-olah itu adalah pekerjaan mudah. Di atas dek-nya sebuah kayuh telah disiapkan. Dean melirik Nikki untuk menyadari kalau wanita itu juga sedang menatap ke arah yang sama. Kedua matanya disipitkan - sebuah pertanda persetujuan.

Irine kemudian menarik jangkar yang menahan kapal tetap di tempat. Langsung saja Dean bergerak untuk membantunya. Sebuah jaring di bawah perahu telah menghitam. Dean mengentakkan kaki di atas dek-nya. Rangka perahu itu masih cukup kuat untuk menopang dua sampai tiga orang. Tapi ada dua perahu, itu artinya mereka akan berpisah.

Begitu tali yang menambatkan perahu sudah dilepas, Dean membantu Nikki naik ke atas perahu. Tas hitam yang dibawa Nikki masih menggantung di pundaknya. Begitu Nikki sudah duduk di atas perahu, Dean turun untuk membantu Irine mengangkat satu jangkar lainnya sementara Nintiar naik ke atas perahu yang sama yang ditumpangi Nikki.

Irine kembali mengatakan sesuatu yang membuat gadis berkulit hitam itu menganggukkan kepalanya. Kemudian menggunakan kayuh yang sudah di siapkan di atas dek, Nintiar mengayunkannya di atas air, membawa perahu itu bergerak menjauhi danau.

Dari tempatnya berdiri, Dean menyaksikan bagaimana Nikki menatapnya lekat-lekat seolah-olah wanita itu hendak mengatakan: aku percaya padamu, melalui tatapannya. Dean mengangguk pelan, berusaha menghindari kontak mata dengan Irine, kemudian melanjutkan pekerjaannya untuk mengangkat jangkar dari permukaan danau. Ketika ia berusaha menarik jangkar itu keluar, salah satu kailnya tersangkut di bawah permukaan air. Dean mengamati air keruh danau itu dengan heran, kemudian mencoba mengangkat jangkarnya sekali lagi. Hasilnya tidak cukup memuaskan. Jangkar masih tersangkut di bawah dan ia bisa merasakan sesuatu yang keras telah menahan jangkar itu untuk tetap berada di permukaan air.

Sementara perahu yang membawa Nikki terus menjauh, Dean memandangi wanita itu di kejauhan. Nikki tampak cemas, dan dengan tergesa-gesa, Dean berlutut di atas dek, menggulung keliman jaketnya kemudian memasukkan tangannya ke dalam permukaan air untuk mengetahui dimana jangkar itu tersangkut.

Hampir satu menit ia berusaha menemukan sumbernya, tapi kelihatannya ada sesuatu di dasar danau yang menahan jangkar itu tetap di tempatnya.

Mustahil!

Dean mencoba menariknya sekali lagi, kali ini lebih kuat. Jika jangkar itu tersangkut pada sulur-sulur tanaman liar di bawah danau, maka seharusnya ia tidak menemukan kesulitan untuk menarik jangkar itu keluar. Kelihatannya ada rantai di bawah sana yang mengunci jangkar tetap pada tempatnya. Dean cukup yakin karena ia dapat merasakan gesekan besi di bawha permukaan airnya yang keruh.

"Ini macet!" seru Dean dengan frustrasi.

Irine sedang menyiapkan kayuh dan melilitkan tali pada batang kayu yang ada disana ketika mendengarnya. Wanita itu langsung bergerak untuk membantu Dean menarik jangkar keluar. Hasilnya sudah dapat ditebak: sia-sia saja.

"Ada peralatan di dalam kabin. Mesin hitam di lemari kayu. Bisa tolong ambilkan? Aku akan menahan jangkar ini supaya tidak lepas."

Dean mengernyitkan dahi dengan curiga, langsung saja ia berkata. "kau bisa mengambil mesinnya, aku akan menahan jangkar ini."

"Tidak bisa. Sangat sulit mencabut alat itu dari penutupnya."

Perahu yang ditumpangi Nikki kian bergerak menjauh dan menghilang begitu perahu di arahkan berbelok mengikuti jalur danau. Dean harus bergerak cepat jika ia tidak mau kehilangan jejak wanita itu, jadi ia berjalan menuju kabin di dekat sana untuk menemukan alat yang dimaksud Irine.

Mesin hitam yang menyerupai bor itu diletakkan di sekat dinding. Irine tidak berbohong saat mengatakan mesin itu sulit dilepaskan dari penutupnya, seakan-akan ada sesuatu yang menahan mesin itu tetap berada disana.

Dean mencoba menarik mesin itu, tapi kemudian tanpa sengaja lengannya menyentuh wadah berisi cairan hitam yang tercium seperti oli hingga cairan itu tumpah mengenai lengan jaketnya. Sembari mendesis kesal, Dean dengan cepat menanggalkan jaket dan menggantungnya di dinding.

Kini perhatiannya terpusat kembali pada mesin di dinding. Pasti ada sesuatu yang mengganjalnya dan begitu Dean mendundukkan kepala untuk menemukan sumber masalah itu, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki seseorang yang bergerak mendekat. Belum sempat berbalik, sebuah benda keras yang padat telah diayunkan ke belakang kepalanya dengan keras hingga Dean ambruk di atas lantai kayu. Bagian samping wajahnya menyentuh lantai kayu yang dingin itu, rasa sakit yang tak keruan berdenyut-denyut di kepalanya dan ketika ia hendak bangkit untuk melawan, pukulan telak berikutnya dilayangkan. Pada detik itu juga kesadarannya ditarik menjauh dan ia ambruk di atas lantai.


FORBIDDEN PLACE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang