Bibi Sinta bersenandung kecil sambil mencuci piring dan gelas di wastafel, sedangkan Mara menidurkan kepalanya di meja pantry tepat di belakang beliau sambil mengunyah kebab. Mara menghela napas lelah, seperti introvert yang selesai berinteraksi dengan banyak orang.
"Bibi suka loh lihat kalian ngobrol tadi." Bibi Sinta membuka topik pembicaraan.
"Aku yang nggak suka." jawab Mara masih tetap di posisinya sambil melahap kebab.
Bibi Sinta tertawa, "kenapa? enakkan punya teman?"
"Nggak enak."
"Mara.." nada tersebut menandakan Bibi Sinta ingin membicarakan hal serius, sehingga mau nggak mau Mara menegakkan tubuhnya. "Sudah cukup bibi lihat kamu dewasa belum waktunya saat kecil dulu, sekarang kamu harus menikmati masa remajamu, mengerti?" jelasnya sambil berbalik dan mengelap tangan basahnya ke apron.
Mara terdiam sejenak, setelah itu mengembangkan senyum sejuta watt-nya. "Iya bibi, akan Mara lakukan." katanya berlawanan dengan isi hati.
"Pintar cantiknya bibi.." Bibi Sinta mengusap rambut Mara dan menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.
'Aku tidak ingin bibi khawatir.'
#####
Hujan datang di waktu yang salah.
Kalimat itu cukup menggambarkan situasi yang Mara alami saat ini. Di depan pintu utama, Mara mengadahkan tangannya menerima rintik hujan yang tak kunjung reda.
'Seharusnya tadi pagi aja hujannya, biar nggak upacara.' batin Mara mengingat senin ini para murid upacara di bawah teriknya matahari.
Satu persatu para murid melewati Mara dari berbagai arah, tentunya mereka mengenakan mantel atau payung walaupun sekedar berjalan ke gerbang depan. Mara menajamkan penglihatannya berharap Xander sudah di depan gerbang dekat jajaran mobil yang menjemput siswa lainnya.
"Waduh, deras juga ya."
Suara yang sangat Mara hindari, kini masuk ke gendang telinganya. Sekarang orang tersebut berada di samping Mara sembari ikut menatap hujan, Mara pun berusaha untuk tidak mengenalnya.
Daran menggesekkan alas sepatu ke lantai dan berkata, "Hahhh... nggak enak banget pulang naik mobil sendirian." Desahan napasnya ketara jelas, bahwa lelaki itu ingin mencari perhatian.
Udara sedang dingin, tetapi ubun-ubun Mara terasa panas sebab amarah yang meluap. 'Ini orang ngapain sih anjing.' Sekarang apapun Mara mengabaikannya, telinganya masih sehat sentosa untuk menerima celotehan Daran.
"Gimana dong..." Daran memejamkan mata dan menggaruk pelipisnya seolah sedang pusing tujuh keliling. "AHA! Gimana kalau--"
BUAGH!
Mara menendang punggung Daran dengan keras menggunakan telapak kaki sehingga jejaknya menempel disana. "YA TINGGAL PULANG ANJIR!" Daran hampir tersukur paving kalau kakinya tidak menapak dengan benar di tangga. Beberapa orang disana terkejut melihat betapa brutalnya cewek bernama Mara Nerezza.
Di bawah guyur hujan, Daran kembali menegakkan tubuhnya dihadapan Mara sambil menyungging senyum. "Ada apa ya kak? Kita kan nggak kenal."
"Cepat pergi atau aku dorong kau ke selokan." ancam Mara
Seperti biasa, semakin Mara bereaksi, semakin pula Daran tertawa. "Huu.. takutnya.. yaudah deh, bye kak!" ia berlari kecil ke parkiran mobil.
Bohong kalau Mara tidak memperhatikannya sampai hilang dari pandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Knife
Teen FictionDibalik wajah ramahnya, ia menyimpan kepedihan. Dibalik punggungnya, ia menyimpan pisau kebencian. Berawal dari pertemuan dua insan yang cukup unik hingga menaruh hati diantara mereka. Mara tidak bisa mengelak rasa sukanya pada lelaki beraroma min...