Namanya Safira, bocah berusia delapan tahun yang periang. Dia sering dipanggil Fira dan oleh teman-temannya di sekolah. Fira juga termasuk murid yang disukai guru karena dia cukup pintar.
Fira adalah anak tunggal yang sering merasa kesepian saat di rumah. Gadis kecil ini cepat bosan.
Untuk mengobati kejenuhan di rumah, dia suka jalan-jalan sekitar kompleks, membantu ibunya memasak dan mencicipi resep baru, juga menemani ayahnya praktik di klinik hewan, bertemu pasien-pasien yang lucu dan berbulu.
Suatu pagi di hari Minggu, Fira mendapati ibunya sedang bersiap pergi ke pasar. Gadis mungil yang tadinya sibuk bermain dengan kucing peliharaan keluarga ini pun memekik.
"Fira mau ikut, Bu!"
Anak itu berlari menghampiri ibunya. Dia meninggalkan Mimi, kucing anggora berbulu putih yang tampak lega setelah ditinggal Fira. Mimi menguap lalu melanjutkan tidur.
"Boleh," balas Ibu.
Sesampainya di pasar, Fira ikut ibunya membeli telur, tahu, tempe, dan sayur-mayur. Saat mereka hendak menuju pedagang daging ayam, Fira merengut. Dia tidak suka bau daging yang amis.
"Bu, Fira nggak mau ke sana!" rengeknya.
Ibu menghela napas. "Ya sudah, kamu tunggu sini saja, jangan ke mana-mana."
Fira pun menurut. Gadis kecil itu menepi di dekat penjual kue basah.
Sepuluh menit berlalu, ibunya belum kembali.
Fira yang mulai bosan menunggu, mulai menendang-nendang kerikil kecil di dekat kakinya. Menendang kerikil terlalu jauh, benda yang menjadi satu-satunya hiburan itu terlontar ke bawah meja pedagang sayur.
"Sialan!" Sebuah umpatan menggema.
Fira terlonjak, seketika menoleh ke sekeliling untuk mencari sumber suara tersebut. Apakah kerikilnya tadi mengenai seseorang? Waduh!
Anak itu masih celingukan saat tiba-tiba seekor kucing berbulu cokelat tua, berbuntut panjang, dan bermata hijau cerah berjalan keluar dari bawah meja tempat kerikilnya tertendang tadi.
Kucing itu menepi dekat kaki meja lalu menjilati bagian punggungnya yang bulunya sedikit berantakan, seperti bekas terlempar benda kecil.
Seumur hidup, baru kali ini Fira melihat kucing berwarna cokelat. Anak itu menjadi penasaran dan ingin sekali mengelus bulu cokelat kucing itu.
Sambil berhati-hati, Fira pun berjalan mendekati kucing tadi.
Karena banyak orang berlalu lalang, si kucing cokelat tampaknya tidak sadar jika sedang diperhatikan oleh Fira.
Salah satu orang yang lewat melemparkan sebuah kepala ikan pindang ke arah kucing tadi.
Si kucing mengendus sekilas lalu menjauhkan hidungnya.
"Cih! Mentang-mentang aku kucing, dipikirnya aku mau makan sampah? Huh!"
Kucing Cokelat kembali mengomel. Fira bisa menangkap dengan jelas suara kucing itu di pikirannya. Mereka seakan bertelepati.
"Hey, Pus!" Fira memanggil sambil menjulurkan telunjuk.
"Apa-apaan ini?! Heh, kamu ngapain?" Kucing Cokelat terkejut dan marah.
Fira menarik kembali tangannya. "Maaf. Kata ayahku, kalau mau kenalan sama kucing, sebaiknya ngasih jari untuk diendus, biar tahu bau kita."
"Kenalan? Huh, tidak mau!" Kucing Cokelat memalingkan muka.
Fira terkejut karena ternyata sifat Kucing Cokelat sangatlah angkuh. Sebelum Fira bisa berkata apa-apa, Kucing Cokelat sudah berjalan pergi.
"Tunggu, Pus!" panggil Fira, tetapi tidak ditanggapi.
YOU ARE READING
Safira dan Pohon Kucing (𝘌𝘕𝘋)
Short StorySuatu hari saat ikut ibunya ke pasar, Fira bertemu kucing bulu cokelat yang bisa bicara! Tidak hanya itu, Kucing Cokelat juga menuntun Fira ke satu tempat misterius di balik pagar kayu yang tinggi. Wah, dunia macam apa ya yang dihuni kucing-kucing...