EPILOG

21 4 4
                                    

"Aku tahu aku membuat keputusan yang tepat. Jika tidak mungkin semuanya akan berbeda. Maksudku, putraku Jonathan, dia mungkin akan tersiksa."

Nikki menggeser tubuhnya di atas kursi. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang duduk di seberangnya. Wanita itu tanpak kelelahan. Nikki dapat melihat jelas dari kedua matanya yang tampak sendu. Jari-jarinya saling ditautkan, rahangnya sesekali berkedut dan kedua matanya terus berkedip. Ekspresinya mengatakan lebih keras dari pada ucapannya. Nikki tidak perlu menebak untuk tahu kalau wanita itu masih berusaha keras untuk menyembunyikan kesedihannya. Sesekali, dalam masa-masa yang terasa begitu sulit, wanita itu akan menghubunginya di tengah malam untuk berbicara. Nikki sama sekali tidak merasa keberatan, bahkan terkadang hal itu membuatnya senang. Ia suka membantu pasiennya yang kesulitan kapanpun dibutuhkan. Dean suka mengeluhkan kebiasaan Nikki mendahului pasiennya dijam-jam yang tidak wajar seperti tengah malam atau pagi buta. Bagaimanapun membantu seseorang melewati masalah mereka sudah menjadi kebiasaannya sebagai terapis.

Wanita yang duduk di hadapannya bukanlah sebuah pengecualian. Mereka sudah melalui puluhan sesi terapi bersama-sama. Tahun-tahun yang sulit berlalu di belakang mereka. Kali pertama wanita itu datang ke ruangannya, ia memperkenalkan diri sebagai Amber – seorang ibu rumah tangga dengan pernikahan yang hancur dan seorang pecandu alkohol. Emosi Amber sulit untuk dikendalikan pada tahun-tahun pertama itu. Amber bahkan tidak mau mengungkapkan bahwa gagasan untuk datang ke terapis bukanlah idenya melainkan ide kedua orangtuanya yang ingin melihat Amber bahagia. Namun setelah menjalani dua sampai tiga kali sesi terapi bersama Nikki, entah bagaimana mereka sudah menemukan kecocokan itu dengan cepat. Dua tahun berlalu dan Amber akhirnya berhasil pulih dari perceraian dan alkohol. Satu tahun berikutnya mereka tidak pernah bertemu, sampai suatu malam Nikki mendapat panggilan dari nomor yang tidak dikenal dan ketika ia memutuskan untuk menerima panggilan itu, suara serak Amber yang familier muncul disana.

"Nikki apa itu kau? Ini Amber, kau masih mengingatku?"

"Amber.. Ya tentu saja. Aku menunggu kabar darimu selama ini. Bagaimana keadaanmu?"

"Aku kacau sekali, Nik.." Nikki mendengar suara isak tangis di seberang telepon kemudian suara keramik yang menghantam lantai dan makian kasar. "Oh sial! Dia akan bangun."

"Hei, ada apa?"

"Aku mabuk. Maaf aku menganggumu."

"Tidak, tidak apa-apa. Katakan saja apa yang bisa kubantu?"

"Bisakah aku menemuimu minggu ini? Kuharap secepatnya."

"Oke aku akan melihat jadwalku yang kosong dan kita bisa bertemu. Berikan aku nomor teleponmu, aku akan mengabarimu nanti."

Percakapan itu akhirnya berlanjut dalam pertemuan-pertemuan mereka berikutnya. Sekarang sudah hampir tiga tahun setelah percakapan di telepon itu dan mereka masih bersama-sama. Amber telah menikah dengan dua laki-laki berbeda sejak kali pertama mereka bertemu, namun tidak satupun dari pernikahan itu yang berlangsung lama. Dan selama itu juga Nikki menjadi saksi hidupnya. Seorang terapis sekaligus teman yang baik untuk Amber.

Pagi itu mereka sudah duduk di atas sofa selama berjam-jam dalam sesi terapis lainnya. Amber menceritakan semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir dan Nikki lebih seringnya hanya mendengar, dua jam terkahir tidak jauh berbeda.

Kini mata Amber yang kelelahan menatap kosong ke arah cangkir kopinya yang masih terisi penuh. Wanita itu melamun sampai ketika Nikki menyentuh bahunya, Amber tersentak kaget.

"Maaf," katanya.

"Tidak apa-apa. Kau butuh istirahat."

"Kau benar." Wanita itu menarik nafas panjang selagi menegakkan punggungnya. Kemudian setelah mengusap wajahnya Amber bangkit berdiri untuk meraih jaket dan tas yang ditinggalkannya di atas meja. Wanita itu sudah mencapai pintu ketika Nikki menghampirinya. Kemudian Amber berbalik begitu teringat sesuatu.

FORBIDDEN PLACE (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang