Chapter 2 - Lost for Found

10 1 0
                                    


- ENJOY -

Guyuran hujan membasahi kota-kota besar di jawa barat. Daerah perkotaan maupun pesisi, semua habis di lahapnya basah. Menyisakan tempat berteduh yang jika beruntung, tempat itu bisa saja cukup nyaman atau mungkin hangat.

Namun, keberuntungan itu mungkin tak berlaku untuk masyarakat pesisir kota. Pemukiman yang kumuh, jalan di penuhi lumpur dan sampah, serta parit yang menghitam sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Belum lagi jika banjir terjadi.

Tanah ini telah gembur. Lubang galian telah di persiapkan dengan baik. Hanya butuh beberapa saat sampai jasad seorang ibu beranak satu itu di kebumikan dengan layak. Melekat dan terikat dengan tanah merah basah gempuran hujan.

Surai Perak sebahu yang gadis itu miliki begitu mencolok di antara pakaian hitam-hitam yang di kenakan para tamu pemakaman. Bola matanya menatap sendu ke arah batu nisan yang tertancap di atas tanah, atas nama ibunda tersayang.

Tak ada air mata di sana. Hanya tatapan duka dan kosong. Entah, apa yang sedang di pikirkannya. Ia baru saja kehilangan satu-satunya orang yang paling ia sayang. Ibu yang selalu satu atap dengannya. Yang selalu mengusap surainya di kala ia ingin pergi tidur.

Kini mama telah berpulang.

Walaupun begitu, ia tetap memiliki sedikit rasa syukur terhadap insiden mengerikan ini. Mamanya takkan pernah merasakan sakit lagi. Mama telah bebas dari penderitaan. Setidaknya hikmah dari seluruh kejadian ini tetap masih bisa ia petik.

"Mama udah ga sakit lagi kan? Mama udah bahagia di sana. Ocean sayang sama mama sampai kapanpun"

Hati gadis itu berkata demikian. Namun, mendapatkan penderitaan secara bersamaan. Rasanya seperti di sayat, di remuk, juga di hancurkan.

Sampai ia mencapai kesendirian. Para tamu pemakaman pulang satu persatu. Ia tetap berdiri di sana, tanpa payung hitamnya lagi. Membiarkan sekujur tubuhnya basah di terjang jatuhnya air hujan. Tak peduli hari esok ia akan demam, tak peduli bahwa orang-orang sekitarnya telah pulang satu-persatu. Bahkan, si penjaga makampun terus memperhatikannya khawatir.

Anak gadis yang malang, ia di tinggalkan oleh orang yang satu-satunya ia miliki. Tidak baik menyendiri seperti itu di pemakaman. Gadis muda itu bisa sakit. Kira-kira seperti itulah si penjaga makam membatin. Namun, kakinya enggan untuk sekedar melangkah dan menegur gadis itu. Ia lebih tak tega untuk menyuruh pergi orang yang sedang kehilangan.

Bapak tua penjaga makam itu paham rasa sakit itu.

Ocean berlutut ke tanah merah yang sudah menjadi lumpur. Tidak menghiraukan celana hitam yang ia kenakan terkena noda kecoklatan. Mengelus batu nisan ibunya yang masih baru. Ia menatap tajam, datar dan kosong. Tak terlukis ekspresi di wajahnya. Seakan, Ocean ikut mati.

Gadis bersurai perak itu terus berada di sana selama beberapa jam kedepan.

Tanpa siapapun sadari, seseorang -selain bapak penjaga makam- terus memperhatikannya dari kejauhan. Seseorang yang ternyata juga ikut bertamu ke acara pemakaman dan belum berkehendak untuk pulang atau sekedar masuk ke dalam mobil mewahnya.

Payung hitam yang bertengger beberapa Centi di atas kepalanya di sanggah oleh seorang pria muda berkepala dua yang bertugas untuk selalu mendampinginya.

"Pak, anak itu sudah sekitar 3 jam berada di sana dan tak bergerak sama sekali. Haruskah kita mengambil tindakan? Gadis itu bisa sakit malam ini dan beberapa hari kedepan" ucap pria muda itu memperingatkan.

Blue OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang