Hinata terbangun dan menatap langit-langit kamar yang nampak asing. Warnanya putih tanpa noda kusam dan juga sarang laba-laba yang menghiasi. Mengedarkan pandangan. Hinata bisa melihat adanya punggung kokoh yang sedang berbaring miring membelakanginya.
"Begitu ya..." gumamnya.
Ia baru mengingatnya. Semalam saat dirinya sedang bekerja. Tanpa sengaja ia melihat ada pria asing yang sedang berdiri dalam keadaan aneh di depan pintu presidential suite room tempatnya mengais uang.
Nafasnya terengah, wajahnya memerah dengan keadaan tubuh bergetar seolah sedang menahan sakit.
Karena khawatir. Hinata akhirnya memutuskan untuk mendekat dengan satu niat yaitu ingin membantu pria tersebut yang terlihat kesusahan utuk membuka akses masuk ke kamar huniannya.
Awalnya semua masih baik-baik saja. Pintu sudah berhasil dibuka dan pria asing itu sudah berhasil ia papah hingga terbaring diatas ranjang mewahnya. Namun saat dirinya hendak menggapai daun pintu kamar yang masih dalam keadaan sedikit terbuka.
Lengan berbalut jas hitam terjulur melewati wajah Hinata yang terkejut. Dan keterkejutannya semakin menjadi saat pintu yang seharusnya ia buka malah ditutup dan di kunci.
Semua terjadi begitu cepat hingga otak dan tubuhnya tak bisa memproses apapun. Bagaimana pria asing itu menarik tangannya. Bagaimana pria asing itu memaksa merobek seragamnya. Bagaimana pria asing itu mengangkat dan melempar tubuhnya keatas ranjang dan...
Bagaimana pria asing yang sudah ditolongnya itu memaksa untuk merobek selaput darahnya.
Tangisnya percuma. Jeritnya tak berdaya. Semua teredam dan tertelan kembali dalam tenggorokan ketika tubuh kokoh itu terus menghentak memaksa masuk dengan ritme yang kacau.
Ya, dirinya diperkosa.
Hinata tak memiliki waktu untuk menangisi apa yang sudah terjadi. Bukannya ia tak sayang dengan tubuh dan harta yang sudah dijaganya. Namun apa yang bisa ia lakukan?
Apa dengan menangis dan berteriak bisa membuatnya kembali ke detik dimana kejadian tersebut belum terjadi?
Jawabannya tentu saja tidak.
Hinata hidup di dunia dimana hal-hal seperti magic dan tahayul hanya eksis di film dan novel. Tidak untuk di dunia nyata dan menyesal pun percuma. Semua sudah terjadi dan dirinya hanya bisa menerima tanpa harus meratapi nasib buruknya.
"Kau sudah bangun?" suara bariton yang terdengar serak itu menarik Hinata dari lamunannya. Dapat Hinata rasakan jika pria yang tadi sempat berbaring miring memunggunginya kini tengah merubah posisi entah menghadapnya atau malah terlentang sama seperti dirinya.
"Maaf..." sesal pria asing tersebut. "Aku tidak ingin mebuat pembelaan atas apa yang sudah ku lakukan padamu. Itu murni salahku." lanjutnya.
Hinata hanya menghela napas tak berniat untuk merespon lebih. Toh semua sudah terjadi pikirnya. "Aku mengerti."
Pria asing itu melirik Hinata melalui ekor matanya. Sepasang jelaganya bisa menatap wajah cantik tanpa ekspresi yang membuatnya bingung dan frustasi. "Kau tidak menangis? Aku akan menerima jika kau berteriak dan memakiku saat ini juga." ucapnya.
Hinata menggeleng. Dengan sedikit meringis ia mencoba untuk bangun dari posisi terlentangnya hingga kini posisinya sudah berganti menjadi duduk. Tak sadar jika gerakannya membuat selimut yang semenjak tadi menutup area dadanya merosot dan memperlihatkan tubuh bagian atasnya.
Pria asing itu menelan ludah dengan susah payah. Meski ia terpesona dengan tubuh indah gadis asing yang sudah dirubahnya menjadi wanita itu namun jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa bersalah dan berdosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Meaning Of Us
Fanfiction"Anda hamil." Hinata mencoba meyakinkan diri jika apa yang baru saja di dengarnya adalah sebuah kesalahan. "Hei..." "Diamlah!" butuh waktu bagi Hinata untuk memproses informasi yang baru saja masuk melalui pendengarannya lalu merasuk kedalam otaknya...