Aku pernah baca tulisan seseorang.
"Kematian sebenarnya adalah saat kita dilupakan.
Kematian sebenarnya adalah saat kita tak lagi dikenang."Aku mengenal seseorang itu sejak awal tahun 2021, kalau tidak salah. Ia seorang yang pekerja keras, bahkan saat masih di bangku sekolah. Pendidikannya ia biayai sendiri hingga ke perguruan tinggi. "Tak mau menyulitkan Ayah yang sedang kekurangan ekonomi," katanya. Sungguh, aku ingin meneladan sifat tak putus asanya saat itu juga.
Usia kami memang terpaut jauh. Ia sudah benar-benar dewasa, sedangkan aku hanya seorang remaja yang beranjak dewasa. Aku belajar banyak darinya; tentang makna hidup, tentang pahit dan kejamnya dunia, tentang siapa orang-orang yang pantas kita kenang dan tangisi kepergiannya.
Tahun itu, ia sedang gila-gilanya dihujani pekerjaan. Tak sempat tidur, tak sempat makan. Malam mengeluh sakit, paginya sudah bangkit. Tak acuh pada rehat. Tetap kembali lagi dengan penuh semangat.
29 Maret 2022, lewat postingan, ia mengeluh badannya pegal-pegal. Teman-teman mengingatkan untuk menjauhkan diri sejenak dari beban pekerjaan.
30 Maret 2022, lewat pesan singkat grup, ia kembali mengeluh pegal. Ia memang cukup sering mengeluh sakit. Entah karena benar-benar terbebani pekerjaan, atau karena 'ke sana-kemari' melakukan hal-hal melelahkan yang tidak semua manusia biasa bisa lakukan. Ia lakukan semata-mata untuk membantu orang. Aku dan teman-teman kembali mengingatkannya untuk tidak lupa beristirahat walaupun sejenak, sekaligus memberi doa dan semangat agar cepat kembali pulih. Malam itu ia masih sempat menghibur kami lewat postingan dengan nada 'jokes bapak-bapak'. Aku menanggapinya dengan tawa, berharap ia segera baik-baik saja.
Esoknya, tak ada kabar tentangnya. Mungkin ia sudah kalah dengan sifat keras kepalanya, menyerah lalu pergi beristirahat. Di dalam hati aku berucap, "Syukurlah, ia mau beristirahat. Setidaknya untuk kebaikannya sendiri."
Esoknya lagi tidak ada kabar.
Satu minggu berlalu, belum ada kabar. Pesan WhatsApp tak dibalas. Aku dan teman-teman berpikir mungkin ia sedang benar-benar memulihkan diri.
Ramadhan tiba, masih belum ada kabar. Hingga Ramadhan berakhir, kami mulai khawatir. Satu bulan lebih tidak mengabari, sebenarnya apa yang sedang terjadi. Tak ada pesan dan postingan baru. Bertanya ke sana-kemari pun tetap tak ada hasil.
Dua bulan tidak ada kabar, kami semakin khawatir. Aku selalu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi; mungkin sedang benar-benar butuh istirahat total, mungkin sedang sibuk-sibuknya bekerja, mungkin ponselnya rusak.
Dari kemungkinan-kemungkinan itu ada hal-hal yang tidak bisa aku terima. Isi kepalaku selalu riuh. "Kalau memang sedang memulihkan diri, dari waktu dua bulan itu memangnya tidak ada waktu sebentar saja untuk mengabari?"
"Kalau memang sedang sibuk bekerja, dari dua bulan itu memangnya tidak ada waktu sebentar saja untuk mengabari?"
"Kalau memang ponselnya rusak, dari dua bulan itu memangnya tidak ada waktu sebentar saja mengabari lewat warnet?"
Kesal.
Aku hanya meminta waktunya 'sebentar' saja untuk mengabariku, mengabari orang-orang yang mengkhawatirkannya.
Aku sempat menyerah, tak mau lagi mengacuhkannya. Marah, berpikir mungkin ia sudah tak peduli lagi dengan kami.
Selasa malam, 7 Juni 2022 pukul 20.09. Seseorang yang sering kupanggil Kak San, tiba-tiba mengirim pesan grup.
"Bang Bima:("
"Udah nggak ada ternyata."Respons pertamaku saat membacanya adalah terdiam. Tanganku lemas hingga ponsel pun terjatuh di atas kasur. Perlahan kelopak mataku menutup, memaksa diri segera tertidur, berusaha tetap tenang, berharap agar ketika bangun, kejadian tadi hanyalah sebuah mimpi.
Tapi mataku rasanya perlahan memanas. Air mata diam-diam menetes membasahi pipi. Aku terbangun, mengecek pesan di ponsel, pesan itu masih ada. Sesak. Aku tidak percaya. "Bohong." Kubalas pesan itu dengan perasaan tak keruan.
Semakin malam semakin kacau ketika informasi datang dari teman sepekerjaannya, membenarkan bahwa ia sudah tak lagi bernyawa.
"Serius."
"Betul, beliau wes seperti sodara saya. Selalu support di kerjaan juga."
"Meninggalnya tanggal 31 Maret."31 Maret?
Aku kembali mengecek akunnya. Postingan terakhirnya masih sama. Postingan yang sempat saya tanggapi tawa pada 30 Maret lalu.
Hanya satu hari sebelum kepergiannya. Jika tau itu adalah postingan terakhirnya, aku tidak akan menertawainya. Jika tau malam itu adalah pesan terakhirnya, aku tidak akan senang ketika esoknya ia tidak lagi mengirim pesan. Aku hanya tidak menyangka hari itu ia benar-benar beristirahat, bukan untuk sementara, tetapi selama-lamanya.
Innalillahi wa innailaihi rajiun.
Tahun ini, sudah hampir satu tahun ia meninggalkan kami. Walaupun kami mengenalnya lewat media sosial, tidak pernah bertemu secara nyata, tapi kami selalu melangitkan doa-doa untuknya pada Allah subhanahu wa taala.
Dua tahun mungkin tidak lama, tidak banyak kenangan bersama. Namun, sedikit kenangan bermakna lebih berharga bagiku.
Seperti katanya, kematian bukanlah akhir. Kita bisa hidup di dalam kenangan setiap orang, di dalam kehidupan seseorang. Kematian sebenarnya adalah saat kita dilupakan. Kematian sebenarnya adalah saat kita tak lagi dikenang.
Seseorang itu tidak pernah aku lupakan, selalu terkenang. Dalam hidupku, dalam hidup setiap orang yang mencintainya. Di dalam suatu tempat yang spesial, di hati kami.
Seseorang itu adalah Bang Bima.
--
Majalengka, 12 Januari 2023
Zahraa
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Berjudul
Short StoryHanya beberapa hal tak jelas yang saya tulis ketika ingin