"Adel lagi sedih terus aku coba hibur dia makanya aku peluk dia." Marsha mengusap bahu Azizi. "Apa yang aku lakuin sama kaya yang kamu lakuin ke Ashel, gak masalah kan, hon?"
"Ngga, honey." Azizi tersenyum sambil melirik ke arah sahabatnya yang terlihat sangat panik. "Tenang aja gue gak akan pukul lo kok, gue ngerti kesedihan lo, nanti gue bilang ke Ashel ya." Azizi menunduk, memutarkan arah mobilnya. "Ayo Maca pulang, liat mobil aku keren." Azizi melangkah lebih dulu karena ia harus menggerakan mobilnya.
Marsha mengembuskan napas lega sebelum berjalan menyusul Azizi. Marsha beruntung memiliki kekasih yang selalu berpikir baik kepadanya. Marsha menoleh ketika merasakan sebuah tangan menggenggamnya, genggaman itu dari Adel, ia menggeleng berusaha melepaskan tangan Adel. Detik berikutnya, jantung Marsha nyaris saja meloncat dari tempatnya saat tiba-tiba saja Azizi menoleh, untung genggaman itu dengan cepat dilepaskan.
"Jangan berjalan di belakang aku, nanti aku gak tau apa yang kamu lakuin di belakang aku." Azizi menarik tangan Marsha untuk berjalan beriringan dengannya. Setelah itu, ia kembali fokus pada mobil kerennya. "Maca, aku dinas malam, kamu hati-hati ya di rumah."
"Iya, hon." Marsha masih berusaha mengendalikan detak jantungnya. Adel memang bodoh, baru saja memberitahunya untuk bermain cantik, tetapi gadis itu malah bermain tepat di belakang Azizi.
Azizi tidak menjawab, ia terus melajukan mobil kontrolnya sampai mobil itu berhenti tepat di teras rumah. Azizi menyimpan mobil itu di atas meja karena ia merasa mobilnya terlalu kotor untuk disimpan di dalam rumah. Azizi berbalik, memandang ke sekeliling, udara malam ini sangat dingin. Pandangan Azizi tertuju pada Ara dan Chika yang berjalan menuju rumahnya.
"Mau masak?" tanya Azizi. Ini baru pukul delapan, ia masih punya banyak waktu untuk menunggu mereka masak.
"Najis ah capek, bukan babu gue yang tiap hari masak buat kalian, dibayar kaga ngebatin iya," jawab Chika berjalan melewati Azizi begitu saja. Niatnya ke sini hanya ingin mengambil makanan karena rencananya ia ingin begadang menonton fim.
"Lagi mau makan apa emang?" Respons Ara jauh berbeda dengan Chika. "Boleh dimasakin tapi cuci piring sendiri ya gapapa?"
"Iya nanti dicuci sendiri, mau nasi goreng boleh?" Azizi menunjukan senyumannya dan bersorak riang ketika Ara mengangguk. Ara memang sahabat terbaiknya. Azizi mempersilahkan Ara masuk, diikuti oleh Marsha. Namun, Azizi menahan tangan Adel. "Temenin ngerokok."
Adel mengangguk, langsung duduk di kursi yang berada di teras rumah tanpa mengatakan apapun. Adel merasakan ada hawa yang berbeda dari kalimat Azizi, ia yakin ada sesuatu yang ingin Azizi bicarakan. Entah kenapa dadanya langsung bergemuruh.
"Gue mau nanya sesuatu boleh?" Azizi melemparkan bungkus rokok pada Adel setelah mengambilnya satu batang. Azizi membakar sudut rokoknya sambil melirik ke arah Adel.
"Kenapa?" Adel berusaha bersikap biasa saja. Adel menyimpan bungkus rokok itu di meja karena ia sedang tidak ingin merokok.
"Masalah lo sama Ashel itu apa sebenernya? Gue tadi ke kamar dia dan dia masih nangis." Ternyata Azizi hanya menanyakan tentang hal itu, cukup bisa membuat Adel lega mendengarnya.
"Entahlah, gue salah karna gak ngabarin." Adel masih tidak menatap Azizi. Adel diam selama beberapa detik sebelum menatap Azizi curiga. "Kok lo sekhawatir ini? Lo beneran gak ada hubungan apapun kan sama dia?"
"Gue bisa nyakitin siapapun tapi gue gak mungkin bisa nyakitin sahabat gue sendiri, gue gak mungkin khianatin lo." Azizi menggeleng tidak habis pikir kenapa Adel bisa menyimpulkan hal sekeji itu. Azizi menghisap rokoknya lalu melepaskan asapnya ke udara.
"Semua orang punya kemungkinan untuk jadi pengkhianat, semua orang punya kotoran di hatinya yang memungkinkan dia berbuat jahat pada orang terdekatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
INTRICATE [END]
FanficBagaimana jika enam Dokter muda ditugaskan ke daerah terpencil? Dituntut untuk dewasa dan mandiri, memegang tanggungjawab besar di tengah banyaknya masalah. Apakah mereka bisa melewatinya dengan baik?