Senandung kesepuluh

299 57 2
                                    

Aku sedang berjalan menuju ruang guru, seperti biasa untuk mengantar buku tugas teman-teman saat melewati ruang kesenian.

Ruang kesenian di sekolahku ini merupakan ruang serba guna. Dan karena tempatnya cukup luas, di ruang itu juga bisa digunakan untuk ekskul melukis dan juga paduan suara.

Tapi saat ini, ketika aku melewati ruang kesenian aku mendengar sayup-sayup suara gamelan, yang sedang dimainkan sekelompok orang.

Kebetulan pintu ruang kesenian tidak tertutup. Iseng aku melongok ke dalam dan langsung tertegun.

Di dalam, ada Hangga yang sepertinya sedang melatih sekelompok orang berlatih gamelan. Tapi bukan murid yang sedang ia latih, melainkan sekelompok guru yang sebagian besar aku kenal.

Ada yang memainkan saron, slenthem, ada juga yang memainkan peking dan kethuk. Aku lihat Hangga memegang alat musik gamelan bernama Bonang.

Ia terlihat serius sambil memberi aba-aba. Entah lagu apa yang mereka mainkan. Tapi iramanya begitu selaras dan indah terdengar di telinga. Suara musik gamelan Jawa yang begitu syahdu.

Sangat berbeda dengan lagu-lagu k pop maupun musik pop yang biasa aku dengar. Tapi entah kenapa, musik gamelan ini terasa menenangkan jiwa.

Di sekolahku memang ada ekskul gamelan. Tapi setahuku, tidak ada peminatnya. Buat apa capek-capek berlatih gamelan kalau jadi anggota cheer leader jauh lebih keren. Atau masuk tim basket yang bisa menaikkan popularitas sebagai siswa idola? Atau kalau ingin terlihat pintar dan intelek, masuk saja tim debat bahasa Inggris.

Itu semua jauh lebih keren dan cepat menjadikan kita populer daripada ekskul gamelan, yang bahkan tidak pernah dilombakan! Hanya proyek ambisius ketua yayasan Sekolah yang dengar-dengar masih berdarah biru kraton Yogya! Hingga ekskul itu diadakan. Lengkap dengan satu set gamelan untuk murid-murid berlatih.

Tapi apa lacur, sejak ekskul ini diadakan sama sekali tidak ada peminatnya. Tidak ada murid-murid yang mau masuk ekskul gamelan. Semua peralatan itu sia-sia.

Dan sekarang, hari ini. Untuk pertama kalinya aku melihat musik gamelan itu mengalun. Dipimpin Hangga sebagai leader, dan para guru sebagai murid.

Hangga, pemuda keturunan Tionghoa yang mengaku orang Solo asli. Yang sering kuledek sebagai Cina Jawa, ternyata lebih pandai bermain gamelan dibandingkan aku yang mengaku orang Indonesia asli.

Hangga, berapa banyak pesonamu yang kamu sembunyikan dariku?

*****

"Al, elu pacaran ya sama Hangga?" tanya Rere waktu kami sedang istirahat di kantin. "Beberapa hari ini gue liat elu selalu pulang bareng Hangga. Anak-anak di kelas udah kasak kusuk dari kemaren nanyain gue. Kata mereka emang bener elu pacaran sama Hangga?"

"Kepo." Aku mendengus sambil memasukkan sepotong siomay berbumbu kacang ke dalam mulut. Ah, kalau saja Rere tahu bila sekarang Hangga sudah resmi jadi tetanggaku. Dia pasti tambah heboh bin rame.

Yups, benar. Hangga memang sudah resmi pindah mengontrak di samping rumahku. Hari itu juga tanpa membuang waktu, Hangga langsung mengajakku menemui pemilik rumah.

Dan detik itu juga membayar uang kontrakan buat satu tahun, cash dua puluh juta! Bayangkan cash!

Tidak menyangka anak SMA seperti Hangga memiliki uang tunai dua puluh juta. Meski ditarik dari dua atm yang berbeda Bank. Karena ada limit penarikan uang tunai via atm.

Haji Hasan yang girang malah bersedia menyediakan ranjang spring bed untuk Hangga dan sebuah karpet untuk digelar di ruang tamu. Karena sebelumnya Hangga menyewa apartemen yang lengkap dengan furnitur dan perabotannya. Jadi saat pindahan, Hangga cuma membawa tas koper berisi baju-baju dia dan sepatu. Juga laptop.

Sedangkan untuk mobil, Hangga hanya membawa yang Honda accord. Nissan march dia tinggal yang katanya akan menghubungi supirnya untuk diambil dan ditaruh di rumahnya di Kertanegara.

Mendengar pertanyaan Rere soal aku jadian sama Hangga atau nggak. Aku jadi ingat Dirga. Anak itu juga sempat bertanya padaku waktu tempo hari Hangga main ke rumah dan kami berdua makan Solaria di rumah.

Tentu saja dia datang setelah Hangga pergi. Aku jadi curiga dia itu memang sengaja memata-matai kami. Menunggu kapan Hangga pergi dari rumahku.

"Al, elu beneran pacaran sama cowok Cina itu?"

"Terus, urusannya sama elu apa?"

"Elu kan tau, Al. Gue tuh suka sama elu."

"Tapi itu bukan berarti gue juga harus suka sama elu kan?"

"Elu kok jahat banget sih, Al. Gue tahu dia lebih kaya dari gue. Kendaraannya aja mobil sedan. Makannya di restoran. Uangnya pasti juga lebih banyak."

Pasti! Kataku dalam hati. Hangga baru aja ngasih duit kontrakan dua puluh juta ke Haji Hasan! Sudah pasti duitnya banyak!

"Tapi gue kan juga gak miskin-miskin amat, Al. Bokap gue punya kontrakan lima pintu. Punya tanah luas juga di Bogor. Gue anak tunggal, pasti semua harta bokap gue bakal jatuh ke tangan gue. Kalo lu jadi bini gue, gue jamin lu gak bakal sengsara. Bisa beli kalung emas tiap bulan."

Kepengin rasanya ngegetok kepala Dirga pakai batako atau batu bata yang keras sekalian. Umur masih bau kencur udah ngomongin soal kawin? Siapa juga yang mau jadi bininya?

Bukan berarti aku juga bakal girang banget kalo Hangga ngajak kawin. Ya kali, ijazah SMA aja belum dapet. Udah ngomongin soal kawin! Apa dia pikir orang rumah tangga itu gampang?

Apa tagihan listrik dan air bisa dibayar pakai cinta? Terus kalau punya anak popok dan susu bayi dibeli pakai daun?

Hadeh si Dirga ini. Entah berapa IQ nya. Dikasih otak sama Tuhan bukan dipakai buat mikir. Malah dianggurin begitu saja.

Memang pantas kok kepalanya diketok batako.

"Emang apa urusannya sih gue mau pacaran sama Hangga atau nggak. Lah gue aja gak pernah usil tuh lu randang rendeng sama si Mira. Anaknya Bu Erna. Kenapa sekarang elu jadi usil sama gue?"

"Tapi gue sama Mira gak pacaran, Al. Dia aja tuh yang ngedeketin gue melulu. Elu jangan cemburu ya, Al."

"Siapa juga yang cemburu! Terserah elu mau pacaran sama siapa juga. Gak ada urusan sama gue!"

"Tapi gue kan maunya pacaran sama elu, Al. Gue cemburu loh elu jadian sama cowok Cina itu."

"Namanya Hangga, Dirgo! Bisa gak elu gak manggil dia Cina? Rasis lu ya?"

"Nama gue Dirga, Al. Bukan Dirgo. Kenapa elu jadi belain cowok itu? Ternyata beneran elu pacaran sama dia?"

"Bukan urusan lu!"

"Kalo lu pacaran sama dia. Terus gue gimana, Al?"

????

Senandung cinta untuk Alyssa(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang