18 || Poin Kelulusan

204 29 5
                                    

Lembaran buku berjudul Era Abu-Abu itu kembali terbentang di tengah-tengah meja. Kali ini mereka rela kehabisan menu kafetaria di jam istirahat pertama demi menelaah kembali isi buku tersebut.

Total keseluruhan kertas di buku itu sekitar 50 lembar, tapi ada beberapa halaman yang masih kosong. Uniknya, kertas buku tersebut kaku dan tebal seperti dicetak dengan bahan kartu. Warna permukaan kertas hitam dan putih yang saling bergantian kadang kala membuat pusing ketika dibaca.

Jia mulai melafalkan kalimat pada salah satu halaman yang telah ia tandai. "Ruangan empat pintu dan dua jendela. Di sana sangat menyejukkan. Ketika ingin memulai kehidupan baru seperti para burung, tapi sekelompok orang jahat menghentikanku." Dia kemudian menatap keempat orang di hadapannya.

Sammy mengusap dagu. Ragu jika ruangan seperti itu ada di SMA Noesantara karena tak pernah melihatnya.

"Coba kalian perhatikan kata-katanya," ucap Aiza. "Di sana dia bilang 'ingin memulai kehidupan baru'."

"Oh, Tuhan!" Mata Jia membulat di balik kacamata. "Maksudnya ingin bunuh di-ri?

Aiza mengangguk. "Dia juga bilang seperti para burung. Burung hewan yang bisa terbang."

"Berarti ruangannya ada di lantai atas," cetus Sammy.

Zahi mulai beringsut dari kursinya. Mengamati sekejap area perpustakaan yang begitu sepi. "Setahuku, satu-satunya gedung yang ditutupi pepohonan rindang di sekolah ini adalah gedung serbaguna. Mungkin salah satu ruangan di sana adalah tempatnya."

"Tapi ruangan-ruangan di sana hanya ada dua pintu," sanggah Fath.

"Tidak, itu benar!" tegas Aiza. "Ruangan di sana memang hanya ada dua pintu, tapi sisanya adalah dua kaca tembus pandang seukuran pintu."

ᴄᴏɴꜱᴇᴍᴀ

Gedung serbaguna nyaris seukuran aula sekolah. Di lantai dasar, ada ratusan kursi usang bertumpuk-menjulang bertebaran ke sembarang arah-karena sudah lama tak digunakan. Biasanya para siswa lebih memilih ke lantai dua atau tiga yang memiliki ruangan bersekat, sehingga lebih nyaman digunakan untuk latihan berkelompok.

Sesampainya di lantai paling atas, mereka langsung mengecek ruangan satu persatu. Mencari tahu jendela mana yang dirasa punya sudut pandang menyejukkan. Fath berasumsi bahwa jendela itu punya pemandangan luar dengan pepohonan yang lebat, tapi Jia ragu karena mereka bahkan tidak tahu pasti kapan tulisan itu ditulis, sehingga keadaan bisa saja telah berubah.

Belum sampai ke ruangan berikutnya, tiba-tiba gerombolan siswa berbaju serba hitam keluar dari salah satu ruangan. Mereka spontan menepi ke sisi dinding sebab koridor yang agak sempit. Aiza tergerak menegur seseorang yang keluar belakangan.

Hasan terhenti di ambang pintu. "Sedang apa kalian di sini?"

"Mencari ruangan bagus untuk tugas kelompok." Aiza menanggapi dengan sangat normal.

"Sejak kapan klub silat berlatih di sini?" sambung Zahi.

"Sejak hari pertama masuk sekolah," jawab Hasan. "Sebenarnya ruangan ini hanya akan kami pakai sementara sampai lantai bawah siap digunakan kembali."

"Boleh kami lihat ruangannya?" pinta Jia. "Hanya melihat-lihat. Kami janji tidak akan mengambilnya," lanjut Jia sebelum Hasan salah paham.

Hasan pun mengerti. "Tentu. Tidak masalah. Kalau kalian suka pun kalian boleh pakai ruangan ini jika kami tidak sedang latihan."

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang