"Manusia memang sangat sulit untuk membumi dan akan selalu merasa lebih baik dari orang lain, namun pada satu keadaan ia merasa bahwa dirinya lebih rendah dari orang lain", merasa lemah dan tak berdaya dalam segala hal, merasa tidak ada perubahan dalam hidupnya. Sementara itu, ketika mereka melihat orang lain yang selalu sibuk dengan segala rutinitasnya dari hari ke hari, lalu ketika berkaca pada dirinya sendiri, ia merasa bahwa tidak ada satu hal pun yang ia lakukan. Perkembangan orang lain membuatnya merasa lebih rendah dari siapapun dan pada posisi itulah terkadang manusia dapat membumi dan merasa bahwa dirinya tidak lebih baik dari orang lain.
Satu keadaan itu membuat apa yang ia lihat menjadi pemicu dari pikiran-pikiran atau kekhawatirannya mengenai apa yang ia lakukan atau akan seperti apa masa depannya. Ia merasa dirinya tak berguna, diri yang selama ini sudah menemaninya dikala senang, duka, luka ataupun segala rasa yang pernah ada, terkadang ingin rasanya acuh terhadap satu keadaan yang diciptakan oleh pikiran itu, akan tetapi semua itu nyata.
Overthinking
"Entalah, pikiran kita saja yang terlalu berlebihan, atau memang hal itu nyata untuk kita pikirkan"
Bagaimana kita seharusnya melalui hal seperti itu? hampa, kecewa, duka dan lain sebagian, semua rasa berkecamuk mengganggu pikiran, patutkah kita abaikan begitu saja, namun bukan hal itu memang akan terjadi jika kita tidak terlalu peduli tentang hal yang akan terjadi. Atau mungkin kita harus membiarkannya tetap mengalir secara natural, tidak terlalu dipikirkan namun tidak diabaikan, kita terima semua pikiran itu dan biarkan menjadi sebuah proses yang nyata, menguatkan diri adalah hal yang terbaik untuk menerimanya.
Untuk semua hal yang akan datang, tetaplah berjalan dengan spontan, menerima semuanya dengan apa adanya, menyebalkan memang ketika kita harus kehilangan hanya untuk mendapatkan, sebuah pilihan yang mencoba menyudutkan kita pada sebuah keputusan yang sangat-sangat menyulitkan. Namun untuk sebuah pilihan bukankah kita yang menciptakannya, ya dari banyaknya sebuah keinginan dan kebutuhan, kita menciptakan sebuah pilihan dari pilihan yang kita pilih sebelumnya, dan ketika kita mengambil sebuah keputusan bukan berarti semuanya telah usai, namun
"Keputusan yang kita pilih, itulah yang menjadi awal dari semuanya".
Awal dari sebuah keputusan, mungkinkah kita akan tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi keputusan kita dan tetap mempertahankannya, ataukah kita harus menyerah pada apa yang sebelumnya telah kita pilih. Seperti kita yang akan memulai liburan, dari sekian banyaknya tempat wisata, kita hanya memilih dua pilihan, yaitu pantai dan gunung, lalu dari kedua pilihan tersebut kita memilih pantai agar dapat melihat senja di tepian, namun ketika sudah sampai disana lalu menunggu berjam-jam, hingga gelap tiba, senja yang kita nanti tidak ada, lantas apa yang kita rasakan?.
Menyerah memang bukan suatu alasan yang berarti atau tidak pernah diperhitungkan oleh semua pejuang, seolah kata itu tabu bagi mereka yang selalu mengedepankan mimpi, namun bagiku kadang kala menyerah itu adalah hal yang pasti, bukan untuk berhenti dan bukan juga untuk tetap lanjut, hal yang lain dalam sebuah kata menyerah adalah sebagai waktu untuk kita melakukan sebuah loncatan besar yang berarti dalam hal yang kita anggap menyerah, menjadi sebuah hal untuk kita mengevaluasi semuanya, titik dimana yang menjadi penyebab kita selama ini merasa sulit atau pun lelah dalam sebuah keputusan, perbaiki dan pelajari agar semuanya kembali baik-baik saja.
"Berada pada titik mana kita akan merasa puas dengan uang? Dan pada titik mana hidup kita dapat dikatakan sukses?" Jangan katakan kita tidak pernah tahu akan semua hal itu, lantas jika memang tidak tahu selama ini apa yang kita kejar, berapa banyak uang yang kita inginkan dan kesuksesan seperti apa yang akan dicapai. Semua tidak terasa cukup, kekhawatiran mengenai hari ini, esok atau lusa akan selalu menerpa. Terlintas dalam benakku bahwa ketika seseorang itu memiliki uang yang cukup banyak dan masih merasa khawatir tentang esok atau nanti, dapatkah ia dikatakan sukses, ketika kekhawatiran untuk mendapatkan itu sudah hilang, maka ada kekhawatiran lain menerpa, yaitu tentang bagaimana apa yang kita dapatkan itu tetap bertahan.
Berkaca pada realita yang menggelikan, memiliki sebuah harapan bahwa uang bukanlah segalanya dan apa yang selama ini kita yakini atau percayai mengenai uang itu salah, namun sangat menyakitkan ketika semuanya bertolak belakang dan banyak orang yang mengamini bahwa uang memanglah segalanya, bahkan dapat membeli isi hati seseorang, sehingga bukan tidak mungkin untuk seseorang mengambil keuntungan dari ketidaktahuan orang lain.
Sudut pandang yang tak pernah kita perhitungkan
Mungking kita pernah bertemu dengan momen saling beradu nasib dengan orang lain, saling memuji satu sama lain, saling menganggap satu sama lain beruntung dan sering sekali merasa kehidupannya paling hancur dan menyakitkan. Namun kita tidak dapat menerimanya dan terus saja berdebat tentang hal itu, karena lupa bahwa ada sudut pandang yang seringkali tidak kita perhitungkan, yaitu semua orang memiliki pandangannya masing-masing, terkait luka dan duka yang tidak kita ketahui. Karena kita sudah hanya terpaku pada pencapaian dan kebahagiaannya saja, sehingga kita tidak memperhitungkan bagaimana proses yang ia lalui untuk hal itu.
"Aku melihatmu dari bawah dan kau melihatku dari atas sehingga membuatku merasa lemah, kupikir seperti itu awalnya, tapi kenyataannya kita semua melihat orang lain sama-sama dari bawah, sehingga selalu saja merasa kalah"
Pikiran atau sudut pandang, apakah kita sudah memilikinya sendiri atau hanya menggunakan tolak ukur untuk apa yang selama ini digunakan orang lain. Standarisasi tentang kekayaan atau kesuksesan yang kita gunakan lebih tepatnya adalah milik orang lain. Dimana yang menjadi patokan kekayaan atau kesuksesan seseorang adalah penilaian atau eksistensial yang diberikan oleh orang lain, bukan dari perkara apakah kita bahagia atau tenang memilikinya. Kita mengejar kesuksesan namun kita tidak pernah tau seperti apa kesuksesan itu menurut sudut pandang diri kita sendiri, kita terus berusaha berlomba dengan orang lain tanpa pernah mencoba untuk menciptakan tolak ukur atau sudut pandang kita sendiri.
"Kita berlomba akan tujuan yang berbeda, aturan serta garis finish yang berbeda, sehingga kita sulit untuk menuntukan juaranya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Berusaha Menjadi Manusia
Non-FictionBeberapa dari kita menyusun dan memilih rencana untuk mimpi dan harapannya. Namun, bagaimana jika mimpi dan harapan itu lenyap? Kenyataan yang berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan, lalu terbentur dengan berbagai penilaian orang lain...